Tanah menurut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria atau yang sering dikenal dengan UUPA ialah permukaan bumi beserta hak-hak yang melekat di atasnya, yang dapat diberikan kepada dan dipunyai oleh orang-orang, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain serta badan-badan hukum. Dalam UUPA sendiri diatur bahwa kepemilikan hak atas tanah bukan hanya sebatas hak untuk mempergunakan permukaan bumi saja, namun juga hak yang penggunaannya meliputi permukaan bumi, air, serta ruang angkasa di atasnya. Dalam UUPA hak atas tanah dikelompokkan menjadi dua, yakni hak-hak atas tanah primer dan hak-hak atas tanah sekunder. Hak-hak atas tanah primer adalah hak-hak yang diberikan oleh negara meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), serta Hak Pakai. Adapun hak-hak atas tanah yang bersifat sekunder adalah hak atas tanah yang perolehannya diberikan oleh orang lain seperti Hak Guna Bangunan (HGB) dan Hak Pakai yang diberikan oleh pemilik tanah, Hak Usaha Bagi Hasil, Hak Menumpang, Hak Sewa dan Hak Gadai. Semua hak atas tanah tersebut dapat dimohonkan oleh setiap warga negara khusunya hak-hak yang diberikan langsung oleh negara.
Hak atas tanah memberikan wewenang untuk seseorang dalam memanfaatkan tanah sebagaimana peruntukannya. Terkait bukti kepemilikan hak atas tanah, jika merujuk kepada Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XIX/2021 bahwa sertifikat hak atas tanah adalah bukti yang menunjukkan kepemilikan yang sah atas tanah. Sertifikat hak atas tanah tersebut tentunya diperoleh melalui pendaftaran tanah, Â sehingga dapat diketahui siapa yang memang hak atas tanah yang sah, kapan hak tersebut dialihkan dan siapa pemegang hak yang baru. Termasuk, jika tanah tersebut dibebani hak tanggungan. Sebagaimana menurut Pasal 1 angka 20 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, sertifikat adalah surat tanda bukti hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c UUPA. Pasal ini mengatur bahwa hak atas tanah, hak pengelolaan, tanah wakaf, hak milik atas satuan rumah susun dan hak tanggungan masing-masing sudah dibukukan dalam buku tanah yang bersangkutan. Tujuan pemberian sertifikat hak atas tanah tidak lain sebagai bentuk perlindungan dan kepastian hukum bagi pemegang hak atas tanah yang sah.
Normalnya dalam satu bidang tanah hanya terdaftar  satu sertifikat hak atas tanah. Namun pada faktanya seringkali ditemukan sertifikat hak atas tanah yang saling tumpang tindih satu sama lain sehingga menimbulkan konflik antara pemegang sertifikat hak atas tanah yang masing-masing saling mengklaim bahwa salah satu diantara mereka lah yang dikatakan pemegang sertifikat hak atas tanah yang sah. Sertifikat hak atas tanah yang tumpang tindih menunjukan adanya sertifikat lebih terhadap tanah yang sama namun pemiliknya berbeda. Sertifikat tanah merupakan dokumen negara, tanda bukti kepemilikan hak atas tanah  yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional. Jika terdapat dua sertifikat yang saling tumpang tindih satu sama lain terhadap objek hak atas tanah yang sama maka secara langsung terdapat permasalahan hukum pada sertifikat tanah tersebut. Lalu, bagaimana jika ditemukan sertifikat hak atas tanah yang tumpang tindih?
Berdasarkan Yurisprudensi Mahkamah Agung 5/Yur/Pdt/2018, apabila ditemukan sertikat ganda atas tanah yang sama dan kedua sertifikat adalah sertifikat yang otentik atau sah, bukti yang paling kuat adalah sertifikat hak yang terbit terlebih dahulu. Dengan kata lain, apabila terdapat dua atau lebih sertifikat tanah atas tanah yang sama, sertifikat tanah yang diterbitkan lebih awal adalah sertifikat yang sah menurut hukum. Berdasarkan Yurisprudensi tersebut maka secara jelas mengatakan bahwa untuk memutuskan mengenai sahnya suatu sertifikat yang tumpang tindih yaitu dengan cara membandingkan tahun terbitnya sertifikat hak atas tanah tersebut, hanya sertifikat hak atas yang terbit terlebih dahulu yang mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sehingga pemiliknya dikatakan pemegang hak atas tanah yang sah dan sertifikatnya dapat digunakan sebagai bukti kepemilikan.
Lalu langkah hukum yang dapat diambil para pihak untuk menyelesaikan masalah sertifikat hak atas tanah yang tumpang tindih adalah dengan mendatangi kantor Badan Pertanahan Nasional untuk mengajukan keberatan. Khusus dalam konflik sertifikat hak atas tanah yang tumpang tindih, BPN akan melakukan negosiasi, mediasi, dan memberikan fasilitas dalam menangani pihak-pihak yang bersengketa. Terkait pengaduan masalah sertifikat hak atas tanah yang tumpang tindih, Pasal 1 angka 5 Permen ATR/Kepala BPN No. 21/2020 menyebutkan bahwa pengaduan sengketa dan konflik adalah keberatan yang diajukan oleh pihak yang merasa dirugikan atas suatu produk hukum Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional, Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional, Kantor Pertanahan sesuai kewenangannya atau merasa dirugikan oleh pihak lain menyangkut penguasaan dan/atau kepemilikan bidang tanah tertentu. Pasal 34 (2) Permen ATR/Kepala BPN No. 21/2020 menyebutkan bahwa dalam hal terdapat satu atau beberapa sertifikat tumpang tindih dalam satu bidang tanah baik seluruhnya maupun sebagian, dilakukan penanganan sebagaimana Pasal 6 ayat (1). Kemudian, Pasal 34 (3) Permen ATR/Kepala BPN No. 21/2020 menyebutkan bahwa pembatalan dilakukan terhadap sertifikat yang berdasarkan hasil penanganan sebagaimana ayat (2), dengan diperoleh fakta terdapat cacat administrasi dan/atau cacat yuridis.
Sumber:
- Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
- Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah
- Permen ATR/Kepala BPN No. 21/2020Â
- Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 12/PUU-XIX/2021
- Putusan Mahkamah Agung Nomor 5/Yur/Pdt/2018