Ketika sudah sampai pada tahap pemikiran itu dan bisa/berhasil mempraktekkannya, seyogyanya tidak perlu ada kecemasan tambahan terkait masalah pengadaan air. Air hujan plus air tanah hasil resapan kiranya bisa mencukupi kebutuhan terhadap air pada level kebutuhan "sederhana". Pada penerapan tehnologi pun, bisa dipakai jenis tehnologi yang cenderung sederhana namun berdaya guna. Misalnya, pompa air manual, yang mungkin biasa disebut manual hand pump (pompa air tangan) Â atau manual hand dragon pump (mungkin karena bentuknya mirip kayak naga :)). Atau pada beberapa tempat yang "kaya" akan angin, bisa dipadukan dengan menggunakan tehnologi kincir angin.Â
Lain lagi halnya bila level kebutuhannya meningkat, dimana itu bisa terjadi disebabkan karena adanya pertambahan jumlah penduduk di wilayah tersebut, dan juga aktivitas manusia lainnya yang mana membutuhkan air dalam jumlah banyak (dimana air yang ada, tidak bisa dikembalikan ke area resapan, untuk digunakan lagi pada waktu selanjutnya). Aktivitas itu bisa saja berupa proses memasak sesuatu yang menggunakan air atau menggunakan air sebagai media pembantu (mengukus), mencuci sesuatu yang mana kemudian ada limbah yang tidak bisa diproses secara alamiah, dan semacamnya. Terkait proses-proses seperti "mencuci" itu, bila ingin berhasil ... kiranya proses penataan ini perlu dibarengi dengan penggunaan tehnologi dan bahan yang ramah lingkungan.Â
Pada level kebutuhan seperti itu, mau tidak mau, perlu dipikirkan pula mengenai upaya untuk menambah jumlah "saldo" air secara keseluruhan yang ada. Pada tempat-tempat yang berdekatan dengan laut, atau sebagaimana dikemukakan sebelumnya mengenai membuat aliran irigasi dari sungai besar yang terletak "tidak seberapa jauh" dengan debet air yang memadai, kiranya beberapa tehnologi yang ada pada masa sekarang, kiranya bisa dipakai untuk memecahkan masalah yang ada.Â
Sedangkan pada wilayah dimana hal-hal tersebut tidak bisa dilakukan, juga telah dikembangkan tehnologi "pengembunan", dimana itu berupaya mengadakan air dengan cara "menangkap" uap air yang ada di sekitaran wilayah itu. Tehnologi yang serupa kiranya juga bisa menjadi tehnologi alternatif, bagi mereka yang hidup di area yang berdekatan dengan laut. Sehingga memungkinkan bagi mereka untuk tidak menggunakan tehnologi pengolahan air laut berbasis sistim penyaringan.
Namun terkait dengan tehnologi ini (tehnologi berbasis pengembunan), kiranya ada beberapa hal yang patut diperhatikan. Pertama, bahwa itu semata merupakan upaya tambahan, yang mana dipakai/diberlakukan ketika upaya sebelumnya tidak dapat menghasilkan air dalam jumlah yang dibutuhkan. Kalau upaya sebelumnya sudah berhasil, maka kiranya upaya tambahan ini tidak perlu dilakukan, karena hanya akan menambah jumlah "kerja" yang perlu dilakukan. Jangan diartikan sebagai "malas", yah. :)
Kedua, disebabkan karena tehnologi itu menangkap uap air yang terkandung di udara yang ada diseputar wilayah itu, maka akan ada beberapa vegetatif yang mungkin akan terpengaruh oleh penggunaan tehnologi tersebut. Ini terutama jenis-jenis vegetasi yang mendapatkan air dengan cara "menangkap" uap air yang ada di udara, dengan bantuan akar gantung yang dimiliki dan/atau bagian dari tumbuhan tersebut lainnya.Â
Dimana dampak dari pengaruh itu, juga akan menyebabkan terjadinya perubahan pada tumbuhan lain yang hidup di sekitar tumbuhan yang bersangkutan. Begitu pula dengan hewan yang mungkin menjadikan tumbuhan tersebut sebagai sumber makanannya, meski tidak secara langsung (pada kasus bakteri pembusuk atau beberapa serangga pemakan "bangkai" tumbuhan tertentu). Dimana itu nantinya akan membawa perubahan pada ekosistem yang ada pada wilayah tersebut secara keseluruhan.
Bersambung ...
Peeeace 4 all  Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H