Halaman 17...
Getaran dan bunyi bip panjang dari WeDe-nya membangunkan Bara dari lelapnya. Sambil ia beranjak, duduk di tepi pembaringan, ia melihat penunjuk waktu di pirantinya itu. Jam 3 dinihari ? Dengan pikiran masih belum sepenuhnya sadar, pertanyaan ada apa gerangan pun muncul di benaknya. Dihidupkan pirantinya itu untuk menganggapi panggilan tersebut. Hanya pesan singkat yang muncul di layar holo-nya. Â "Pengaman Bara Amitadhama, diharap segera datang melapor. Tidak dapat ditunda." Gambar dari simbul tempatnya bekerja menjadi penutup pesan itu.
Sambil mengucek-ngucek mata dan kepala dipenuhi pertanyaan, Bara bergegas menuju ke kamar mandi. Air dingin yang membasahi sekujur tubuh, membuang segala sisa kantuk. Seraya keluar dari kamar mandi, pertanyaan apakah gerangan yang sedang terjadi mau tak mau masih bergayut dalam pikirannya. Seraya mengenakan pakaian tugas, ia kemudian tersadar akan kemungkinan terjadinya keributan susulan di kompleks stasiun pemberangkatan. Setelah itu ia kemudian teringat bahwa ketika terjadi keributan dua bulan yang lampau, tiada hal semacam ini terjadi. "Apakah telah terjadi skala keributan yang lebih besar ?," tanyanya dalam hati.Â
Memikirkan itu, ia kemudian mengambil pisau komando kecil pemberian ayahnya dari dalam lemari, serta sebuah kartu bergambar kecil. Barang-barang yang biasa ia bawa ketika bepergian jauh, saat ia masih bertugas di keprajuritan dan juga selama bertugas di IDC. Pada kartu berbahan semacam polimer itu tergambar sebuah mutiara, dan sederet kalimat dibawahnya. "Ini memang hanya sebutir mutiara. Ketahuilah, membuatnya butuh waktu bertahun bahkan berpuluh tahun.Â
Tetapi hanya dalam waktu sekejab, kau dapat meremukkannya. Hingga tiada bersisa lagi keindahan yang kau temui sebelumnya". Ia kemudian memasukkan kartu itu pada kantung kemejanya. Â Diberi oleh seorang teman ayahnya saat ia masih remaja, sebuah pengingat akan kemampuan yang ia miliki dan apa yang terjadi bila ia salah dalam menggunakannya.
Sedangkan pisau komando kecil itu bukanlah sebuah jimat keberuntungan sebagaimana yang sering ia utarakan kepada orang yang menanyakannya, namun sebagai sebuah simbolis  akan pesan yang pernah diberikan oleh ayahnya saat memberikan pisau tersebut. "Kau adalah prajurit, dan kau adalah manusia". Pesan teramat singkat, khas dari cara ayahnya bila ingin menekankan sesuatu hal yang penting kepada dirinya. Setelah menaruh pisau beserta sarungnya itu pada bagian dalam sebelah atas tactical boots-nya, ia segera bergegas pergi.
Kontras dengan kondisi pada siang hari, keadaan di malam hari pada kompleks stasiun pemberangkatan itu terasa lenggang. Tiada antrian mengular, hanya ada beberapa orang petugas kebersihan menyapu dan mempersiapkan segala sesuatu untuk hari berikutnya. Ia segera masuk ke gedung tempat ia bermarkas, setelah sebelumnya mengakses piranti pengenalan diri.Â
Disepanjang koridor yang dijalaninya sebelum memasuki pintu yang kedua, saat melihat kilauan lensa pengintai* yang ada di pojok atas dinding, ia teringat betapa ia pernah merasakan ketidaknyamanan ketika mengetahui bahwa koridor itu juga merupakan sebuah piranti pengenalan diri sekaligus piranti pengamanan.
 Ia tidak dapat membayangkan apa yang harus diperbuatnya bila sistem yang mengatur piranti itu tiba-tiba rewel dan kemudian menyemprotkan gas bius selagi ia berada di dalam ruangan itu. Perasaan tidak nyaman itu kemudian bertambah, ketika ia mengetahui dari seseorang bahwa umur dari piranti itu telah mendekati dua abad. Mengingat semua itu, ia kemudian mempercepat langkahnya.
* Lensa pengintai, itu... tuh kamera CCTV kalau kita disini menyebutnya.
Bersambung ...