Mohon tunggu...
Hafidzotul Latifah
Hafidzotul Latifah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

seseorang yang sedang dalam proses belajar

Selanjutnya

Tutup

Catatan

[Mozaik Blog Kompetition 2014] Tulisan Tak Bertinta

10 Februari 2014   09:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:59 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Event Mozaik Blog Competition sponsored by beon.co.id.

Menulis, menempati satu ruang di mozaik hatiku.

Berawal dari paksaan satu temanku untuk mengomentari tulisannya ketika SD dulu. Jujur, aku sama sekali tak berkompeten dalam hal tulis menulis. Namun, temanku tetap saja memaksaku untuk membaca dan mengomentari tulisannya. Satu kali, dua kali, tiga kali, membuat aku mulai terbiasa dengan dunia tulis menulis. Hingga akhirnya aku memutuskan untuk mencoba menulis. Menulis buku harian.

Aku tak peduli, betapa kacaunya kalimatku. Bahkan saat aku membaca kembali tulisanku, aku sendiri tak mampu memahami maksud dari tulisanku itu. Tapi aku tetap menulis, karena aku mulai bisa memahami dan melihat lebih dalam pada apa yang aku rangkaikan dalam barisan kata.

“Aku berjanji aku akan meraih mimpi melalui menulis, dan buku harian ini akan menjadi salah satu teman perjalananku.” Kataku ketika aku mendapat hadiah buku catatan harian dari salah seorang temanku di ulang tahunku yang ketujuh belas. Menulis, satu hal kecil dan sederhana yang bisa membuat kita menjadi besar. Besar karena ketekunan dan ketelatenan kita pada satu kegiatan itu, menulis.

Kukembangkan tulisanku, bukan hanya catatan harian, tapi juga catatan perjalanan, puisi, resensi buku, dan cerpen. Kucoba juga untuk mengirimkan beberapa tulisanku pada majalah di kotaku. Tentu bisa kalian bayangkan betapa senangnya hatiku ketika aku tahu karyaku termuat dalam rubik puisi suatu majalah, serta rubik cerita anak. Itulah salah satu penyemangat untuk aku tetap menggoreskan tinta tanpa pena.

Akupun semakin mencintai aku sebagai penulis.

Aku kian rajin untuk mengorek informasi tentang kompetensi menulis, darimanapun asalnya. Hingga aku menemukan situs yang selalu meng-update informasi kompetensi lomba menulis. Aku tak pernah melewatkan untuk membuka situs itu setiap aku ada kesempatan untuk online.

Cinta pertama, adalah tema yang diangkat dalam kompetisi waktu itu. Aku sangat antusias untuk mengikutinya, karena aku telah memiliki stok cerpen dengan tema yang sama. Hanya saja masih perlu dikembangkan untuk memenuhi syarat minimal halaman.

Pada hari terakhir pengiriman tulisan, barulah aku dapat menyelesaikan tulisanku itu. Besar penrjuanganku untuk bisa mengirimkan tulisanku itu. Karena tak memiliki modem, maka aku harus ke warnet untuk mengirim tulisanku, sedangkan hari telah sore. Maka aku harus izin ke pengurus asrama untuk mengirim email. Tak mudah untuk izin keluar sore, untung saja aku masih diizinkan keluar, dengan catatan sebelum adzan maghrib berkumandang aku telah kembali ke asrama.

Aku memilih bilik lima. Bukan karena ada yang istimewa dengan angka itu, tapi aku ingin saja memilih angka itu. Setelah semuanya siap, ku tancapkan flashdiskku pada flashdrivers. Berkali-kali kucoba namun, tak juga terbaca. Hampir saja aku putus asa ketika kulihat jam di komputer telah menunjukkan waktu adzan maghrib. Namun, ketika itu pula flashdiskku bisa terbaca.

Aku tak bisa bergembira ketika mengetahui flashdiskku telah berhasil terbaca karena kini giliran fileku yang tak bisa terbaca. Virus apapun yang memakan fileku itu, aku membencimu.

Adzan telah berkumandang lima belas menit yang lalu, kuputuskan untuk segera kembali ke asrama. Air mata tak mampu lagi kubendung sesampainya aku di asrama. Aku kembali gagal mengikuti kompetisi menulis.

“Masih ada kesempatan. Bukankah kau masih punya file di laptop adikmu? Cobalah minta tolong adikmu untuk mengirimkan file itu.” Kata salah seorang teman asramaku.

“Aku lupa filename tulisanku.” Rona kesedihan masih menghiasi wajahku.

“Coba saja dulu. Karena nggak ada salahnya mencobakan. Daripada kamu menyesal di akhir.” Kata temenku.

“Terima kasih teman.” Kucoba untuk tersenyum.

Aku tak berhasil me­recall memoriku tentang judul cerpenku yang telah aku edit. Maka adikku mengirimkan cerpen yang masih mentah, belum aku edit sama sekali.

Hari berlalu, aku tak terlalu berharap cerpenku masuk nominasi, karena cerpenku tidak memenuhi persyaratan batas minimal halaman. Pada hari pengumuman pemenang kompetisi. Aku mendapatkan SMS bahwa tulisanku berhasil masuk nominasi, dengan catatan harus diedit. Aku tak bisa mendeskripsikan perasaanku waktu itu. Satu pelajaran bagiku, kita tak boleh membiarkan keputusasaan memakan mimpi-mimpi kita. Tetap semangat untuk mengukir mimpi dengan tulisan tak bertinta. :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun