Kita menyebutnya kehidupan modern.
Ukurannya adalah waktu. Karena waktu adalah uang. Dan uang adalah penanda kehidupan modern.
Giddens bilang, runaway world, dunia yang berlari, dunia yang lepas kendali. Dunia serba cepat, serba instan, serba uang; serba material.
Tengoklah jalan-jalan utama kota saat orang berangkat kerja di pagi hari, atau pulang kerja di malam hari. Tengoklah ribuan wajah-wajah cemas yang takut terlambat sampai ke tempat kerja. Tengoklah bagaimana mereka berpacu dan terjebak dengan kemacetan berjam-jam, hanya supaya bisa mendapatkan uang untuk melakukan pembayaran atas rumah, mobil dan gaya hidup yang seringkali mereka sendiri tak punya waktu untuk menikmatinya.
Itulah hidup di kota-kota besar kini…
Kita membeli mobil agar alat ini bisa membawa kita dengan cepat ke tempat kerja. Agar kita bisa menghemat waktu. Kita membeli mobil agar punya waktu lebih banyak untuk kerja-kerja yang menghabiskan waktu agar bisa membayar mobil yang kita beli dengan mengangsur…
Kita terjebak dengan kemacetan dan hanya bisa berpikir harus berangkat lebih awal lagi agar tak membuang waktu di jalanan.
Begitukah kita bekerja? Dengan kesadaran kita tidak punya waktu lagi untuk merasakan denyut kehidupan, karena sebagian besar waktu kita habis untuk bekerja…
Kerja, kerja, kerja… semboyan yang akhir-akhir ini digembar-gemborkan lagi itu kini terasa hampa, sebab kita sering lupa untuk apa sebenarnya kita kerja…
Semuanya, memang tampak berlangsung wajar-wajar saja, Anda memakai baju yang Anda beli untuk bekerja, meluncur menerobos kemacetan lalu lintas dalam sebuah mobil yang masih sedang Anda angsur, untuk sampai pada pekerjaan yang Anda butuhkan. Pekerjaan itu demikian penting, dilakukan agar Anda mampu membayar baju, mobil dan rumah yang Anda tinggalkan kosong sehari penuh, supaya Anda dapat tinggal di dalamnya.
Selamat memasuki perangkap waktu. Inilah dia, momoknya: jika Anda memiliki uang, Anda tak memiliki waktu. Kalau Anda punya banyak waktu, Anda seringkali bersakit-sakit demi uang.
Ah, mungkin saja kita belum cukup kaya untuk bisa menikmati hidup sesungguhnya. Tapi cobalah tengok rumah-rumah megah di berbagai kawasan elit kota. Anda tak akan menjumpai penghuni di dalamnya, mereka sedang sibuk bekerja. Mereka harus melakukan dengan baik agar bisa membayar semua tagihan.
Mereka juga harus meyakinkan diri mereka kalau anak buahnya melakukan semua pekerjaan dengan baik. Mereka harus yakin tak ada yang dicuri atau diselewengkan dari perusahaan-perusahaan milik mereka. Mereka harus memastikan pendapatan mereka tidak kurang untuk membayar utang dan bunganya.
Ketika semua anak buah pulang, mereka juga sering tidak bisa langsung pulang ke rumah.
Mereka harus bertemu dengan penasihat keuangan mereka, memikirkan bagaimana caranya agar uang mereka tidak diam saja dan kehilangan nilainya. Uang juga harus bekerja dan memperbanyak dirinya sendiri. Begitu bunyi salah satu dalil untuk melanggengkan kekayaan seperti yang mereka percaya selama ini.
Mereka adalah orang yang harus datang paling pagi ke kantor dan pulang paling akhir dari tempat itu. Mereka adalah orang-orang baik yang harus memastikan bahwa semuanya berjalan lancar baru bisa tidur nyenyak.
Tidur nyenyak?
Ketika masih bujangan, mereka bertekad bekerja keras agar tak kekurangan uang bila mereka kawin. Bekerja keras membuat promosi jabatan selalu berlangsung dari ke tahun. Beban ditambah, gaji bertambah. Sampai tiba-tiba mereka sudah berada di puncak. Rambut memutih. Kulit pucat karena hampir tak pernah kena sinar matahari—padahal kita hidup di khatulistiwa. Mobil mewah berderet di garasi. Di mana-mana ada apartemen dan kamar mewah yang hampir tak pernah ditiduri.
Inikah kehidupan sesungguhnya yang kita kejar?
Kita yang rajin berselancar di internet, mungkin suatu ketika pernah menjumpai kisah yang sangat populer berikut ini
Seorang miliarder sedang berada di sebuah desa nelayan yang tenang dan teduh ketika sebuah perahu merapat. Di dalam perahu tampak beberapa ekor ikan tuna. Si miliarder memuji hasil tangkapan si nelayan yang istimewa. ’’Berapa lama Anda melaut untuk mendapat tangkapan ikan sebagus ini?’’
’’Oh, hanya sebentar saja.’’
Si miliarder kemudian bertanya, kenapa dia tidak melaut lebih lama lagi dan menangkap ikan tuna lebih banyak lagi? Bukankah tidak ada rintangan apa-apa untuk mendapat tuna lebih banyak lagi?
Sang nelayan hanya mengatakan, hasil tangkapannya hari ini sudah cukup untuk memenuhi keluarganya yang mendesak. ’’Lantas, apa yang Anda lakukan dengan sisa waktu Anda selanjutnya?’’ tanya si miliarder.
’’Saya tidur larut malam, menangkap ikan sebentar, bermain dengan anak-anak saya, tidur siang dengan istri, jalan-jalan di desa setiap sore, minum anggur dan bermain gitar bersama teman-teman. Saya punya kehidupan yang sibuk dan penuh Tuan.’’
Si miliarder tersenyum dan berkata dengan bangga, ’’Saya tahu sangat banyak tentang bisnis, karena itu mungkin bisa membantu Anda. Saya CEO dari jaringan perusahaan superbesar. Anda seharusnya mengikuti jejak saya. Anda pasti bisa. Caranya, Anda harus menghabiskan lebih banyak waktu mencari ikan, dan dengan hasilnya membeli perahu yang lebih besar, dan dengan hasil perahu yang lebih besar itu,Anda bisa membeli beberapa buah perahu. Akhirnya, Anda mungkin mempunyai armada penangkap ikan. Nah, ketimbang menjual ikan Anda pada penadah, Anda bisa menjual langsung ke pengolah, dan akhirnya Anda akan memiliki pabrik pengalengan Anda sendiri. Anda mengontrol produknya, pemrosesannya, dan distribusinya. Anda akan bepergian kemana-mana. Anda akan berkelana ke seluruh dunia untuk menjual produk Anda. Rumah Anda pindah ke Jakarta, London, atau New York. Perusahaan Anda akan menggurita dari ujung ke ujung.’’
Sambil bengong si nelayan bertanya, ’’Tetapi, Tuan, dibutuhkan waktu berapa lama untuk semua itu?’’
’’Mungkin lima belas sampai dua puluh tahun.’’
’’Tetapi, setelah itu apa yang harus saya kerjakan Tuan?’’
Si miliarder berkata, ’’Lalu Anda akan bisa pensiun. Pindahlah ke sebuah desa nelayan kecil di mana Anda bisa tidur sampai larut malam, menangkap ikan sebentar, bermain dengan anak-anak Anda, tidur siang bersama istri Anda, berjalan-jalan seputar desa tiap sore, dan Anda bisa minum anggur bersama teman-teman . Anda bisa…’’
Si miliarder tak sempat menyelesaikan kata-katanya. Dia berlari cepat ke Jaguar metalik yang sedang menunggunya. Ada rapat penting dengan anak-anak perusahaannya siang ini. Dia pusing, dia harus memarahi direktur-direkturnya yang tak mencapai target, mencari cara memecat tanpa pesangon mereka yang dinilainya tidak produktif, dan memikirkan cara merayu dan menyogok pejabat tambang agar memberinya izin usaha pertambangan…
Dia adalah CEO yang tidak pernah puas.
Dia juga dinobatkan sebagai CEO yang paling rajin bikin perusahaan tahun ini. Dia direktur perusahaan listrik, direktur perkebunan kelapa sawit, direktur kebun durian, direktur pabrik ikan asin, sampai direktur penggalangan dana korban bencana…
Cita-citanya banyak, enerjinya juga banyak. Sayang dunia begitu sempit, sehingga tak ada lagi tempat yang bisa dia dirikan perusahaan baru…
Berbahagiakah si miliarder kita ini?
Brian Dawson, orang yang bertanggungjawab terhadap rekrutmen tenaga-tenaga ahli Coca Cola, selalu menuturkan nasihat ini pada mereka yang akan bergabung dengan perusahaan multinasional itu.
Bayangkanlah hidup ini sebagai sebuah permainan tempat Anda melempar-lemparkan lima buah bola di udara. Namakan saja bola-bola itu --- pekerjaan, keluarga, kesehatan, kawan, dan semangat. Dengan cepat Anda segera tahu bahwa pekerjaan adalah sebuah bola karet. Jika Anda menjatuhkannya, bola itu akan melenting lagi. Tetapi, keempat bola lainnya --- keluarga, kesehatan, kawan, dan semangat --- adalah bola kaca. Bila Anda menjatuhkan salah satunya, ia akan tergores dan tak bisa diperbaiki lagi.
Saya ingat, dulu, di ujung sebuah jalan , di Surabaya Barat, ada warung ayam dan bebek goreng Pak Qomar. Setiap hari, warungnya hanya buka pukul 12 siang dan tutup paling lambat pukul lima sore. Mereka yang mau bersantap harus rela antre, yang tak beruntung, kadang harus rela menunggu warungnya buka besok.
Mengapa Pak Qomar tak memperpanjang waktu buka warungnya, menambah ayam dan bebek gorengnya? Mengapa pula Pak Qomar selalu tutup tiap hari Jumat, hari-hari besar, dan sedikitnya dua hari dalam setiap bulan? Malaskah?
’’Istirahat itu penting. Menikmati hasil kerja kita itu perlu. Sebab, sesungguhnya kita memilki dua kehidupan --- satu diberikan Tuhan kepada kita, dan satunya kita buat. Kita harus bisa menyeimbangkan keduanya. Tentu saja kalau kita ingin bahagia. Sebab, menurut saya, untuk itulah kita hidup,’’ kata Pak Qomar.
Mungkin karena itu, Pak Qomar selalu merasa sudah kaya. Sementara sang CEO selalu merasa masih miskin, meski dia dikenal sebagai tokoh yang kaya raya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H