Mohon tunggu...
Ubing Haris
Ubing Haris Mohon Tunggu... -

penulis amatiran

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Ke Mana Perginya Jangkerik-jangkerik Itu?

2 Januari 2014   12:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:14 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hobi. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

“Ayah, bagaimana sih suara jangkerik itu?”

Aku terdiam sejenak mendengar pertanyaan bungsuku yang duduk di kelas 6 SD itu. Dia sedang mengerjakan tugas meringkas sebuah bacaan dari gurunya.

Kurasa, semua itu disebabkan hujan. Atau lebih tepat, karena tidak ada hujan. Air yang turun dari langit itu jatuh dengan waktu yang tidak menentu. saat orang-orang desaku memerkirakan hujan akan mulai jatuh, ia tidak kunjung datang. Awan tebal yang sudah menggumpal di langit, tiba-tiba tersapu bersih oleh angin yang datang tak tahu dari mana. Juru ramal di radio juga sudah lama tak dipercaya. Ketika orng sudah menyebar benih, membongkar tanah, dan membersihkannya dari akar-akar rumput, tak ada setetes pun air yang meleleh dari angit.

Kata Pak Ketua, jangankan manusia, yang hanya mengandalkan mata untuk melihat langit dan menghitung bulan untuk meramalkan datangnya hujan, binatang kecil dan serangga pun kini kehilangan kepekaannya untuk meramal hujan. Lihat saja burung bul-bul yang kemunculannya sering dianggap sebagai pertanda bergesernya musim kemarau. Kini bunyinya yang masih sering terdengar itu lebih tampak sebagai rengekkan agar hujan turun daripada sebagai tanda datangnya hujan. Lihat juga sarang laba-laba itu. Kakek pernah bercerita, munculnya jaring-jaring laba-laba di tempat terbuka biasanya dipakai sebagai tanda bahwa hari itu hujan tidak akan turun, meski saat itu musim hujan. Ketepatannya begitu tinggi sehingga, saat orng desa melihat ada jaring laba-laba muncul, mereka akan segera mengeluarkan padi, kedelai, jagung, semua hasil panen, atau segala jenis barang yang harus dijemur di sinar matahari pada musim penghujan. Di musim seperti ini, matahari memang datang sesuka hati, tanpa menunggu ramalan cuaca. Orang-orang harus pintar membaca pertanda alam.

Tetapi kini laba-laba pun sering terkecoh. Mungkin karena sang hujan jarang datang, atau sesekali datang dengan jadwal yang tak sesuai musimnya lagi, maka kehidupan laba-laba pun ikut menjadi tak menentu.

Saat hujan turun, sekarang ini, kta bisa melihat sarang laba-laba terbentang di mana-mana. Begitu juga ketika musim kemarau tiba. Namun, tak jarang kita tak melihat satu pun jaring laba-laba di tumbuhan-tumbuhan perdu sekitar rumah, mereka seakan lenyap begitu saja, seperti menghilangnya beberapa jenis serangga yang biasanya menjadi mangsa mereka.

“Sekarang kamu tak bisa meramalkan musim. Sulit untuk mengatakan hujan bila belum benar-benar ada air yang jatuh dari langit. Lihat saja sekarang, sudah bulan Desember, tapi hujan turun seakan besok sudah akan kemarau,’’ kata Pak Karno.

Namun, di lain tempat, hujan jatuh tak henti-henti tanpa ada yang menyimpan air yang sangat berguna itu. Akar-akar, pepohonan dan hijau tumbuhan sudah diganti tanah-tanah yang dibakar dijadikan bata. Bata-bata dicampur semen dijadikan tembok. Tembok ada untuk menghindarkan kita dari kena hujan. Tapi tembok juga mempersilakan air melanjutkan air hujan terus melanjutkan perjalanannya, sesuai kodrat alaminya, turun terus ke tempat tanpa penyerap, tanpa penghalang, bergabung dengan air-air yang tak lagi diserap tumbuhan. Dan air-air itu bergabung menjadi satu, banjir pun tiba…

Tentu saja, bagi Pak Karno, air tidak musti dari hujan, karena alam sudah berubah, maka aturan mendapat air juga berubah. Bagi Pak Karno, dan penduduk desanya yang hampir semua hidup dari bertani, air adalah hidup itu sendiri. Tak ada yang bisa tumbuh di sawah mereka bila tak ada air yang mengalir.

Maka kini, air dari dalam bumilah yang harus disedot dan dialirkan untuk menghidupi apa yang mereka tanam. Segala jenis penyedot air pun kini sudah bukan barang aneh di desa itu. Berbagai bunyi jenis mesin disel kini mewarnaisawah-sawah di seluruh penjuru desa. Tak kenal waktu, gemuruh mesin itu kini terdengar bahkan pada dini hari, ketika biasanya orang terlelap dalam tidurnya.

Bunyi ritmik mesin yang memakai bahan bakar solar itu kini sudah mutlak menggantikan bunyi jangkrik dan berbagai jenis binatang malam yang biasanya menguasai persawahan di malam hari. Areal yang dulunya basah, dingin, sepi dan hanya diisi bebunyian alam itu kini sudah berganti bunyi-bunyian mesin dengan penerangan lampu listrik dan karbit. Sungguh sulit bertemu kodok dan belut yang biasanya muncul sejak awal musim penghujan, sampai menjelang akhir musim panen.

Satu-satunya binatang yang bisa awet dan tahan banting dengan perubahan drastis perubahan iklim di persawahan ini adalah tikus. Pemangsa mereka, para ular kini sudah jadi buruan favorit manusia. Kulit ular laku dijual, sedangkan daging dan darahnya dijadikan obat bagi banyak penyakit. Kini tikus bisa beranak pinak dengan tanpa ancaman. Liang-liang mereka tersebar di berbagai sudut sawah.

Ah, tentu saja. Bicara soal petani, bicara soal persawahan, semua orang biasanya juga bicara pupuk. Selain air, petani masa kini juga tak bisa hidup tanpa pupuk dan pestisida.

Saya ingat sebuah buku yang saya baca saat masih di SMA dulu. Buku itu begitu mencekam, bukan karena horor dengan hantu-hantu yang menakutkan. Tetapi karena kematian yang datang dalam senyap. Tanpa ampun. Tanpa basa-basi. Sang penulis, Rachel Carson, katanya, menulis buku itu setelah melakukan penelitian belasan tahun tentang pola dan kebiasaan orang di daerah-daerah pertanian di Amerika sana, menggunakan pestisida—dalam kasus ini DDT. Musim semi yang biasanya diramaikan kicau burung, suara serangga yang mendenging, mengerik, atau gesekan sayapnya yang mengeluarkan bunyi unik, tiba-tiba tak terdengar lagi. Kicau burung yang selalu mengiringi terbitnya matahari, kini senyap.

Kematian tida-tiba terjadi. Satu, dua, tiga dan seterusnya. Orang hanya bisa menduga-duga penyebabnya. Tak satu pun yang bisa menyimpulkan. Musim semi yang ceria berubah menjadi musim semi yang bisu. Ada sesuatu yang datang, seakan tanpa peringatan. Menagih akibat dari sesuatu yang belum kunjung jelas. Jejak yang tertinggal hanyalah kematian. Burung yang tiba-tiba jatuh dari terbang dan ditemukan dalam keadaan mati dengan mata mendelik.

Serangga juga lenyap tanpa bekas. Dan warga yang tiba-tiba mual, demam, muntah dan kemudian tiada. Namun, sesungguhnya masih ada bekas. Di gerigi-geriki got dan saluran air, di lembar-lembar dedauanan, dan dalam sisa-sisa endapan, ada bercak-bercak putih seperti bubuk. Bubuk DDT.

Ah, semoga desaku bebas dari apa yang diceritakan secara alegoris oleh Carson dalam Silent Spring itu.

Tapi, kemana suara-suara jangkerik itu pergi…

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun