Mohon tunggu...
Ubing Haris
Ubing Haris Mohon Tunggu... -

penulis amatiran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Musashi di Warung Mbok Mul Pakualaman

29 Desember 2013   20:45 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:22 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mengenang Yogyakarta ’80-an…

Sajiannya nampak sepele. Namun, rasanya mak nyusss. Benar-benar mak nyusss! Setangkep jadah, yang terbuat dari ketan itu, dan di tengahnya diselipi gula merah, kemudian dipanggang. Saat jadahnya menguning kena api bolak-balik, dan gula merah di dalamnya meleleh, sang jadah disajikan di atas lepek, siap disantap.

Teman sang jadah biasanya teh poci kentel, dengan gula batu yan bisa ditambahkan sesuai selera kita. Itulah sajian utama warung Mbok Mul—yang entah mengapa sering diplesetkan mereka yang sering nongkrong di tempat itu sebagai warung Rondo Kemul. Ada yang bilang, sebutan itu sebetulnya lebih untuk sang jadah panggang tadi. Rondonya adalah gula merah yang ada di tengah, yang dikemuli (diselimuti) jadah itu tadi.

Masih ada sajian pilihan lain. Yang ini juga tak kalah enak: pisang kepok (sepatu) bakar. Pisangnya dipilih yang belum masak betul, yang kulitnya masih kehijauan. Lagi-lagi, di tengahnya juga diselipi gula merah…

Namun, bukan hanya itu yang membuat warung Mbok Mul yang ada di bawah kerimbunan pohon-pohon beringin raksasa di sebelah timur Pura Paku Alaman itu hangat dan mengasyikan setiap malamnya. Di tahun-tahun itu, Musashi, sang ronin dari Mimasaka itulah yang membuat suasana malam yang bertambah malam tidak semakin dingin, tapi justru semakin hangat.

Maklum, saat itu serial Musashi memang lagi dimuat bersambung di Kompas. Setiap pagi, ketika patungan langganan Kompas di kost-kostan muncul di bawah pintu, kami berebut ingin baca duluan. Musashi jadi perbincangan hangat; di kampus, di kantor-kantor, sampai di warung-warung kopi. Salah satunya ya di warung Mbok Mul tadi.

Memang, media di zaman Orba sajiannya kurang seru. Berita-beritanya dibungkus eufimisme, sumber beritanya biasanya cuma aparat birokrasi. Maka kisah Musashi-nya Eiji Yoshikawa jadi pilihan ketimbang berita yang sudah kena self censorship dan teropong Bung Besar lewat departemen penerangannya. Musashi memang mampu mengisi “khayalan-khayalan” muda kami. Heroik, tak kenal menyerah, mengambil jalan samurai dengan belajar pada alam. Ada juga Takuan Soho, pendeta Zen, sang guru besar acara minum teh dan seni perang ala Sun Zhu. Akhirnya, tentu saja Otsu, gadis cantik yang cinta sampai matinya untuk Musashi, menjadi simbol kesetiaan.

Saya ingat, salah satu episode yang ramai jadi taruhan para pelanggan Mbok Mul ketika itu adalah saat Takuan hendak menangkap Musashi. Musashi,muda bernama Takezo. Dia dianggap berbuat onar, karena itu dikejar-kejar sepasukan samurai yang dikomandani seorang kapten. Sayang pengejaran mereka sia-sia. Maka munculah Takuan yang cuma berbekal sebatang tongkat ditemani Otsu dengan seruling warisannya. Kedua orang yang nantinya jadi teman istimewa Musashi ini bertaruh dengan sang kapten untuk menangkap Musashi yang bersembunyi di hutan dalam waktu hanya tiga hari.

Maka bertaruhlah para penikmat jadah bakar itu siapa yang bakal jadi pemenang, si Musashi tetap berkeliaran di hutan, atau ia ditangkap Takuan dan Otsu. Petaruh yang kalah akan mentraktir jadah bakar pemenang dua hari berturut-turut. Banyak yang bertaruh Takuan tak akan sukses menangkap Musashi, lha wong pendeta ini selain tak bisa silat, tenaganya juga pas-pasan. Apalagi hanya ditemani Otsu yang lemah gemulai. Tak mau kalah dengan para petaruh, Mbok Mul, janji akan menggratiskan lima poci teh istimewanya bagi para pemenang.

Dan, dengan deg-degan layaknya menunggu hasil ujian, kami menunggu terbitnya Kompas. Tiga hari pemuatan di Kompas, belum ada tanda-tanda siapa yang bakal jadi pemenang. Baru hari keempat, munculah Musashi…

Musashi muncul menyerahkan diri pada Takuan dan Otsu, setelah mendengar suara seruling yang dimainkan dengan menawan oleh Otso. Kata-kata Takuan saat berhasil “menangkap” Musashi dengan suara seruling, mungkin masih diingat oleh para petaruh itu—ketika datang di malam penentuan itu, kami datang dengan membawa Kompas masing-masing, dan membacanya keras-keras di warung Mbok Mul.

Kata Takuan, “setan pun tergerak hatinya oleh musik. Apalagi manusia yang punya lima macam nafsu…” Itu seperti legenda Pangeran Hiromasa, yang pada suatu malam terang bulan sedang bermain seruling di Gerbang Suzaku, Kyoto. Tiba-tiba suara serulingnya diselarasi suara suling lain yang tak kalah indahnya. Sang pangeran mencari-cari sang pemain suling itu, dan menemukannya di tingkat atas gedung itu. Mereka bertukar suling, dan bermain musik sepanjang malam. Baru ketika fajar menjelang pangeran itu mengetahui bahwa teman bermainnya itu setan dalam bentuk manusia…

Memang, Musashi jadi perbincangan yang tak ada habis-habisnya. Nyaris sepanjang Kompas memuatnya bersambung beberapa tahun. Dan warung Mbok Mul tetap saja ramai, sampai satu per satu pelanggannya meninggalkan Kota Gudeg itu. Sambil membawa kenangan-kenangan manis bersama Musashi…

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun