Mohon tunggu...
Noer Ardiansjah
Noer Ardiansjah Mohon Tunggu... lainnya -

Hanya serupa peternak mimpi yang masih asyik dengan mimpinya. Lebih seringnya sih, bermimpi tentang kamu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Satria Dirgantara (Sejarah Kota Depok)

13 Januari 2015   06:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:16 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1421079102202986163

I.

Langkah

Dari ketinggian leluhur gemulai
Landur menanti kehadiran seoarang kesatria
Duhai pemuda, di manakah?

Meskipun mentari belum selesai merias diri, atau boleh dikatakan, begitu lamban sekali ia menyinari semesta beserta semua penghuninya.Pagi itu angin begitu lembut beriringan membelah tiap sudut-sudut jalan. Burung-burung kecil beramai-ramai mengambil posisi di tiap batang pepohonan, melantunkan kicauan yang sepertinya telah mereka hafal semalam. Seperti kerasukan. Atau bisa jadi, burung-burung kecil itu memang kerasukan siluman burung yang rindu bernyanyi di pagi hari.

Adapun saya, jauh di dalam pikiran, sekelebat ingatan masih terus dihantui akan ucapan pembimbing keagamaan semalam, “Coba ketika ada waktu luang dan kesempatan, kalian semua cari tahu tentang asal muasal nama Kota Depok. Selama ini kan Depok melulu identik dengan akronim dari bahasa Belanda, intinya adalah pendirian Gereja Kristen Rakyat Pertama yang di mana seorang CornelisChasteleinmembeli tanah ini kemudian mendirikan Gereja Kristen Protestan sebagai wadah untuk mereka yang ingin mendalami agama Nasrani.Sedangkan menurut orang tua beda lagi punya cerita. Dihikayatkan oleh para sesepuh secara turun menurun, konon Depok diambil dari katapadepokanyang memiliki arti tempat perkumpulan, tempat belajar.

Ketika masa silam, tatkala Nusantara masih berupa kerajaan-kerajaan, dahulu tanah ini adalah tempat berkumpulnya para pendekar yang sedang berlatih dan mendalami ilmu kadigjayaan. Di tanah ini pula mereka semua digembleng habis-habisan hingga menjadi para kesatria yang sakti mandraguna.”

Iya, itulah sedikit torehan cerita keramat yang menjadi landasan bangunan kisah ini, dan juga memacu semangat saya sehingga bulat tekad untuk melangkahkan kaki ke tempat yang bertuah dan bersejarah.

Oh iya, sebelum terlalu jauh tenggelam dalam lautan cerita yang sederhana ini. Perkenalkan, saya adalah Dirga, nama panjang saya Satria Dirgantara. Saat ini saya baru berusia dua puluh tujuh tahun. Saya sama seperti sebagian manusia lainnya, gemar bercerita dan suka sekali mengembara. Lebih senang menikmati senja lebih dekat, mendekap alam lebih erat.

Tiada kenikmatan yang sungguh menikmatkan, selain menggiring penglihatan ke hutan, gunung, dan lautan. Mencium aroma angin yang lamban berjalan, merebahkan dalam-dalam segala harapan yang riang berjingkrakan, lincah, dan tidak jarang banyak berulah. Di daerah asal, saya bersama kawan-kawan mendirikan sebuah organisasi kecil yang bergerak di bidang pendidikan dan sosial, saat ini baru berjalan dua tahun. Banyak pula dari mereka yang tidak menduga segala alur kehidupan yang telah saya lalui.

Bagaimana bisa, seorang pemuda yang badannya penuh rajah bisa melakukan hal demikian? Bagaimana bisa seorang pemuda yang masa lalunya dikenal sebagai salah satu tukang onar di sepanjang ruko Jalan Argopuro, kini berevolusi menjadi sosok manusia yang agak sedikit peduli terhadap sesama.

Bukan maksud hati membanggakan, melainkan justru lebih kepada memberikan cerminan bahwasanya manusia bisa dengan cepat berubah menjadi sesuatu yang lebih -entah lebih baik atau lebih buruk- dan penampilan fisik tidak bisa dijadikan sebagai tolak ukur kita untuk menilai seseorang. Adalah takdir, ketentuan Tuhan yang dapat mengubah warna hidup manusia. Dari putih menjadi hitam, kemudian berwarna-warni ataupun sebaliknya. Ya, karena kita semua layaknya kanvas kecil yang telah Sang Kuasa ciptakan untuk dijadikan media-Nya berimajinasi ria, nikmati sajalah.

Dari sepasang mata yang dirasuki nafsu
Dari seonggok hati yang dilumuri malu
Tiada lagi koloni aksara yang patut dipuja
Tiada lagi rangkaian dunia yang patut dirasa

Demikianlah separuh penambahan kisah tentang saya, mungkin dilembaran-lembaran nanti akan tersaji kembali rangkaian kehidupan yang akan menguak lebih dalam siapa sebenarnya Satria Dirgantara, si penulis recehan yang masih sangat kurang dalam memadukan kata dikarenakan keterbatasan pengetahuan.

Baiklah, bagaimana kalau sekarang saya kembali lagi ke dalam cerita yang sempat terlupakan?

Lantas pada pertemuan selanjutnya dengan guru spiritual, sambil menikmati asap tembakau saya berkata,Bib, beberapa hari yang lalu ketika di kantor, saya mendapatkan penjelasan yang berbeda tentang asal muasal nama Depok. Kemudian tersebutlah seorang Ki Ageng Getas Pendawa atau biasa yang lebih dikenal dengan nama Raden Depok.

Beliau ini masih ada trah atau keturunan dari Majapahit, Raden Alit alias Raja Kertabhumi atau Brawijaya V, namun beliau sudah memeluk ajaran Kanjeng Rasul shalallahu 'alayhi wasalam. Ki Ageng Getas Pendawa adalah anak dari hasil pernikahan Aria Lembu Peteng atau Raden Bondan Kejawan dengan putri Ki Ageng Tarub yang bernama Dewi Nawangsih, dan memiliki saudara Abibdullah atau Ki Ageng Wanasaba serta saudari Dewi Rara Kasihan atau Siti Rahmah Rara Kasihan atau Nyai Ageng Ngerang.

Pada zaman mereka, masa di mana para pengelana berturban menggelorakan dua Kalimah Syahadah di Nusantara khususnya di tanah Jawa. Selain lewat jalur perdagangan, metode pengislaman juga berupa kawin silang antara rakyat lokal dengan para pembawa agama Kanjeng Rasulullah shalallahu 'alayhi wasalam.

Adapun dengan Ki Ageng Getas Pendawa juga bisa dibilang ulama besar kala itu, menyebarluaskan Islam ke beberapa daerah di Nusantara. Dari situlah kemudian timbul asumsi bahwa, nama Kota Depok diadopsi dari nama beliau, Raden Depok.”

Sang guru mengangguk, dan bertanya, “Lalu di mana makam beliau sekarang? Ki Ageng Tarub itu Jaka Tarub?”

“Di Purwodadi, dan sepertinya saya akan telusuri jejak dakwah Ki Ageng Getas Pendawa, Bib. Siapa tahu nanti saya bisa menemukan sesuatu yang selama ini masih menjadi pertanyaan besar bagi sebagian orang. Iya Bib, beliau adalah Jaka Tarub yang kisahnya masih tersohor hingga detik ini.” Jawab saya.

Guru spiritual diam sejenak, sambil membuang abu rokok ke dalam asbak yang berbentuk persegi, lalu beliau menjelaskan.

“Benar. Kisah tentang seorang pemuda gagah berani yang sekaligus memiliki istri dari kahyangan nan cantik jelita tiada tara, Dewi Nawangwulan. Mau pergi sendiri atau bersama yang lain?”

“Oh iya, sebelum jenengan berangkat ke sana, alangkah baiknya sowan atau berkunjung dahulu ke tempat-tempat yang terdekat, sebagai contoh Makam Mbah Raden Wujud Beji.”

Saya kemudian mengangguk dan menjawab, “Insya Allah sendiri, Bib. Ya! Dari beliau juga nantinya cikal bakal lahirnya raja-raja besar di Jawadwipa. Baiklah, Bib. Nanti, bersama yang lain saya akan sowan ke sana.”

Guru spiritual bertanya, “Kira-kira berapa hari yang dibutuhkan selama masa pencarian?”

Jawab saya, “Wah, kurang tahu juga, Bib. Mungkin bisa sebulan.”

Terkejut serta diiringi rasa heran, sang guru berkata, “Sebulan? Lalu pekerjaanmu bagaimana?”

Dengan tenang saya menjawab, “Mau ndak mau berhenti Bib, kalau minta cuti sebulan kan lucu juga, mana mungkin dikasih.”

Kemudian, setelah terdiam beberapa detik, saya melanjutkan pembicaraan dengan berbagai pertimbangan.

“Dibenturkan oleh dua pilihan, antara mempertahankan pekerjaan atau menelusuri jejakleluhur. Ya, untuk saat ini saya lebih memilih mencari tahu leluhur.Materi bisa dicari, lagi pula saya bukan jenis manusia yang pasrah menghambakan diri kepada uang. Selain itu, saya juga sudah kenyang dininabobokan oleh sejarah yang ada, mending mencari tahu sendiri biar puas.”

Sambil tersenyum, beliau kembali memastikan, “Yakin alasannya itu? Bukan karena wanita?”

Melihat senyum beliau, saya pun melemparkan sebuah senyuman seraya menjawab, “Karena wanita juga sih Bib, saya mau mengubur semua kejadian yang baru saja berlalu. Siapa tahu dengan kepergian ini bisa membuat mereka melupakan saya.”

Kalian tiada pahami akan kesendirianku
Mengarungi kesendirian tanpa rasa
Kalian tiada pahami semua lukaku
Karena candrasa membatinkan asmara
Memantulkan durja laksana petaka

Lagi, sang guru tersenyum seraya berkata, “Yo wis, sedari kecil jenengan memang keras kepala dan sekarang pun masih sama. Semoga nanti kamu mendapatkan hasil yang baik. Jangan lupa sering-sering kirim Al Fatihah untuk leluhur, agar terlimpah karomahnya.”

Saya kembali mengangguk dan berucap, “Iya Bib, aamiin Allahumma aamiin. Nitip doa agar saya selamat raga maupun sukma.”

“Iya, aamiin. Kabari kalau ada apa-apa. Bilang umi juga, minta restunya.”

Aku rangkai kata
Kau jadikan la la la la
Genggam tanganku erat
Saat cerita itu pecahkan telinga
Sunyi merindu mengalun menusuk hati mendalam
Sepi bernyanyi riang membawa pekat malam remang

Saya atau kita semua manusia di muka bumi ini pasti ingin merasakan kebahagiaan, siapapun mereka. Karena kebahagiaan adalah alasan mengapa kita harus mempertahankan kehidupan. Meskipun cara pandang kita tentang kebahagiaan berbeda, namun tujuan kebahagiaan itu sendiri tetap sama, yaitu membebaskan diri dari segala nafsu dunia yang semakin membutakan. Melepas kebebasan dari rasa pamrih, dan tentunya bisa menjadi manusia yang bermanfaat untuk manusia lainnya.

Seperti apa yang telah dikatakan oleh Sang Penghulu Umat, “Sebaik-baik manusia adalah mereka yang bisa menjadi manfaat untuk manusia lainnya.”

Dan perlu diingat, kebahagiaan itu tidak hanya meliputi dari bergelimangnya harta dan benderangnya tahta. Kebahagiaan adalah kenyamanan hati dalam menghadapi takdir kehidupan. Kendatipun dalam hidup ini kita memang memerlukan itu semua, tapi bukan berarti kita harus mengorbankan hati nurani untuk mendapatkannya.

Munafik kalau saya katakan hidup tidak membutuhkan uang. Pun dengan seorang kekasih. Siapa saja manusia pasti membutuhkan pendamping hidup agar bisa mendapatkan asupan energi tambahan. Energi yang sudah terbuang ketika melakukan aktivitas, diisi lagi dengan energi yang baru. Namun bukan berarti mencari kekasih adalah hal yang harus diprioritaskan di dalam hidup ini. Kembali lagi, seperti yang telah dijelaskan di awal, kebahagiaan tidak melulu meliputi harta, tahta, dan kekasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun