V.
Satya
Desir angin menyapu dahan
Membawa aroma dari bekas hujan semalam
Petrichor!
Setelah mengunjungi Patilasan Raden Embah Wujud Beji Sumur Tujuh Beringin Kurung Depok, tiba saatnya bagi saya untuk melanjutkan pencarian tentang asal muasal nama kota Depokdi tanah Jawa. Dalam perjalanan kali ini saya ditemani oleh kawan yang kebetulan gemar berpetualang.
Dia adalah Resa, anak muda yang sudah saya kenal semenjak di sekolah kejuruan. Iya, di sebuah sekolah yayasan, dia merupakan adik kelas saya. Periang dan juga sopan terhadap yang lebih tua. Sungguh memiliki ciri khas dari orang Jawa kebanyakan, menjaga kata dan perbuatan terhadap mereka yang lebih tua. Meskipun nanti banyak juga perbuatannya yang berlebihan, sama seperti saya dan mungkin kita semua.
Dari Imogena-sebutan lain rumah Himawan-saya sudah merencanakan beberapa tempat yang harus disinggahi. Lengkap dengan hari, pengeluaran biaya, dan mencari rumah kawan yang bisa dijadikan tempat penginapan. Ya, karena terbentur masalah keuangan, sebisa mungkin saya memangkas segala keinginan. Meminimalisasikan kebutuhan agar jangan sampai berlebihan. Sehari sebelum pemberangkatan, kami sempat berbincang ria.
Resa berkata, “Mas, kayaknya saya menyusul saja deh.”
“Lah, memangnya kenapa? Kenapa ndak bareng saja?”jawab saya.
“Saya belum cukup uang. Besok saya akan membantu kakak dulu, siapa tahu akan dapat uang tambahan.” Ungkap Resa.
“Oh, ya sudah.” Timpal saya.
Resa sempat terdiam, kemudian berkata meyakinkan saya.
“Tapi benar, Mas. Saya pasti akan menyusul. Mungkin dua atau tiga hari setelah Mas berangkat besok. Bagaimana? Tidak apa-apa kan?”
“Ya ndak apa-apa. Nanti sayaaturjadwallagisetelah sampai di Boyolali. Karena tempat yang akan saya tuju pertama adalah, rumah embah. Sekalian silaturahim dengan keluarga di sana.”
“Siap,Mas! Oh iya, memangnya kita berapa hari,Mas?”
“Belum tahu tepatnya berapa hari. Mungkin bisa sampai sebulan.”
“Hah?! SebulanMas?Nanti kalau seandainya uang kita habis bagaimana?”
“Kita masih muda, kamu juga masih punya tenaga lebih kan? Kalau memang uang habis, kita sama-sama mencari pekerjaan di sana. Yang penting, siapkan mental dulu. Kalau kamu ragu, ya ndak usah ikut. Karena kalau kata sang Penghulu Umat,‘Segala sesuatu yang meragukan, lebih baik tinggalkan.’ Insya Allah saya juga bisa sendiri.”
“Oh, nanti kita sekalian cari kerja ya,Mas? Ya sudah, siapMas!”
“Insya Allah, bulik saya sekarang sedang panen jamur. Barangkali nanti kita bisa bantu-bantu dan mendapatkan sedikit pemasukan.”
“Wah, boleh juga tuh,Mas. Yang penting kita jangan sampai merepotkan embah dan bulikmu.”
“Ya jangan sampai. Justru kalau bisa, kita bantu mereka di sana, entah bagaimana caranya nanti.”
“Siap,Mas! Oh iya, kebetulan saya punya kawan di daerah Surakarta,Mas. Dia sama sepertiMas Dirga, suka sejarah dan budaya. Mungkin nanti,Mas bisa saya kenalkan. Siapa tahu apa yangMas cari bisa dibantu.”
“Wah, boleh juga tuh. Kamu kenal di mana?”
“Dulu dia teman kuliahku,Mas. Namanya Brahma. Dan selama pencarian, kita juga bisa kok tinggal sementara di rumahnya. Lumayan kan tuh menghemat pengeluaran.” Ujarnya sambil tertawa ringan.
“Yo wis, kamu kabari Brahma saja dulu.”
“Sudah,Mas. Makanya saya pastikan akan menyusulMas Dirga. Karena saya sudah menghubungi Brahma akan hal ini. Saya juga sudah membuka omongan tentangjenenganyang ingin mencari tahu asal muasal nama Depok. Dan dia juga tertarik, mau bertemu denganMasDirga.”
“Alhamdulillah kalau begitu. Yo wis ah, saya mau tidur dulu. Sedari shubuh saya sudah harus bersiap-siap. Soalnya mengemas baju saja belum saya lakukan.”
“Oh, baikMas. Istirahat yang cukup. Sampai bertemu lagi nanti. Jaga diri,Mas.”
Jauh beberapa hari sebelum berangkat, saya juga sempat berkomunikasi dengan kawan ketika masih bekerja di perusahaan Usman. Dia adalah Aryo, karena kepandainya dalam urusan menggambar akhirnya ia diposisikan sebagai desain visual di kantor.
Aryo yang sempat memberikan pesan singkat berkata,“Lur, sebelum kamu jalan. Usman ingin menemuimu. Datanglah ke kantor barang sebentar, sekalian lepas kangen sambil minum kopi bersama.”
“Iya,Lur. Insya Allah sebelum pergi saya akan meluangkan waktu untuk ke sana. Oh iya, kalau saya banyak salah dan khilaf, mohon dilapangkan maaf ya. Salam untuk yang lainnya.” Imbas saya.
“Sip. Sama-sama,Lur. Ditunggu di kantor ya.”
Memutuskan berhenti kerja kurang lebih sebulan sebelum berangkat. Setelah bulat tekad untuk berhenti, saya memang sudah tidak pernah ke kantor. Seperti sudah menjadi kebiasaan, pergi begitu saja. Tanpa meninggalkan banyak pesan. Inilah salah satu dari sekian banyak sifat buruk saya, pergi langsung berlalu, tanpa ada kabar sedikitpun.
Dan ini tidak hanya di perusahaan Usman, ketika menjadi penulis di sebuah majalah pun sama. Belum lagi ketika kerja di perusahaan provider kartu ternama. Masih banyak lagi kebiasaan saya yang seperti itu, harap maklum.
Keesokan hari setelah melakukan percakapan dengan Aryo, saya yang sudah meluangkan waktu akhirnya bertemu dengan Usman dan yang lainnya. Menanyakan kabar, bercanda seperti hari-hari sebelumnya.
“Bagaimana kabarmu,Dirga?”tanya Usman.
“Alhamdulillah baik. Kamu?”
“Alhamdulillah baik juga. Oh iya, kata Aryo kamu mau pergi?”
“Iya, insya Allah. Mau silaturahim ke rumahEmbah dan mencari tahu sesuatu.”
“Oh, berapa lama?”
“Belum bisa dipastikan. Tapi, bisa sampai sebulan.”
“Wah, lama juga ya. Kamu ada uang?”
“Alhamdulillah ada.”
“Tunggu sebentar.”
Sambil berlalu, Usman menuju ruang kerjanya. Setelah itu, kembali menghampiri saya dengan membawa amplop cokelat. Saya sudah menduga, amplop itu berisi uang untuk saya. Karena saya tahu betul bagaimana Usman. Jantung sudah bergetar, bercampur rasa tidak enak.
Hingga kemudian.
“Dirga, ini uang ucapan terima kasih saya. Lagi pula, bulan kemarin kan kamu belum mendapatkan gaji. Maaf ya kalau saya banyak salah.”
“Aduh, saya bingung nih. Dan juga ndak enak.”
“Tidak apa-apa. Kamu terima saja. Siapa tahu nanti dalam perjalanan kamu membutuhkannya. Meskipun tidak banyak, tapi semoga mencukupi segala kebutuhanmu di sana.”
“Usman, kamu sudah terlalu baik terhadap saya. Terima kasih ya sebelum dan sesudahnya. Semoga kelak perusahaanmu semakin besar.”
“Aamiin. Kalau sudah mau kerja, kabari ya.”
“Iya. Insya Allah ya Usman.”
Awalnya, saya hanya memiliki uang sebesar tiga ratus lima puluh ribu rupiah. Iya, dengan uang sebesar itu mau saya gunakan sebagai penutup segala kebutuhan selama sebulan. Padahal saya tahu, dengan nominal uang sebesar itu, mana bisa mencukupi kebutuhan selama sebulan. Namun alhamdulillah, setelah bertemu Usman, perbendaharaan uang saya menjadi lumayan banyak. Ya, cukuplah untuk biaya sendiri selama sebulan.
Berangkat dari Depok siang hari melalui jalur darat, dan sesampainya di Boyolali jam dua pagi. Agar tidak terlalu lama menunggu, sebelum tiba di terminal Bangak. Terlebih dahulu saya menghubungi Satya, adik sepupu saya.
“Dik,Mas sudah di terminal Boyolali. Sebentar lagi akan tiba di Bangak. Kamu bisa jalan sekarang ke terminal.”
“EnggihMas. Mungkin aku akan jalan 10 menit lagi. Karena,Mas kan juga tahu, jarak dari rumahEmbah ke terminal Bangak lumayan jauh.”
“Iya. Kamu hati-hati ya.”
Dua puluh menit kurang lebih setelah berhenti di terminal Boyolali, akhirnya tiba juga di Bangak. Melihat kiri dan kanan, berharap menjumpai Satya yang sekiranya sudah sampai terlebih dulu. Tapi ternyata, Satya yang saya cari belum sampai di lokasi.
“Ojeg Mas ojeg?Kowe muleh neng endi?”tawar tukang ojeg di terminal Bangak.
“NdakPakde, maaf. Lagi menungguAdik.”
Sambil menunggu kehadiran Satya, saya merogoh kantung dan mengambil bungkusan rokokkretek. Menghisap sebatang rokok, dan mengamati lebih dekat suasana dini hari di terminal Bangak.
Terminal yang mengingatkan saya dengan almarhum, sedikit mengkolaborasi antara rasa rindu dengan sedih. Iya, dua kombinasi rasa yang indah, indah sekali.
Dalam buaian angan
Desau angin merasuk perlahan
Menggali rindu yang terpendam
Menaruh cinta yang begitu dalam
Tidak lama kemudian, datang menghampiri saya seorang anak muda dengan sepeda motornya. Iya, dialah Satya. Seorang pelajar yang saat ini duduk di bangku kelas akhir sekolah kejuruan. Begitu lugu dan sopan terhadap yang lebih tua, santun terhadap sesama.
“Lama menunggu yaMas? Maaf.”
“Ndak kok, Dik. Harusnya,Mas yang meminta maaf karena sudah mengganggu jam tidurmu. Mana nanti pagi kamu sekolah kan?”
“IyaMas, sedari sore bukde Sri danIbu memberitahu, kalauMas Dirga mau datang ke sini. Makanya aku ndak tidur dulu sampai nanti selesai menjemputMas. IyaMas, nanti aku sekolah. Besok aku libur, kalau mas mau, besok kita jalan-jalan yo.”
“Ya ampun Dik, kamu menunggu Mas dan belum tidur? Terima kasih yo sebelumnya. Jadi ndak enak. Boleh, besok anterinMas ke Keraton Surakarta mau?”
“Sama-sama,Mas. Oke. Besok kita jalan.”
“Alhamdulillah. Kalau ke Purwodadi jauh ndak,Dik?”
“Waduh, yajauhMas. Kenapa memangnya?”
“Oh. Yandak apa-apa. Hanya sekadar bertanya. Yo wis, ayo kita pulang.”
“Enggih.”
Satya tahu saya sangat takut terhadap dua hal, yaitu ketinggian dan kecepatan. Adapun dengan ketinggian, tidak termasuk dengan gunung. Justru saya sangat suka mendaki meskipun stamina sudah sangat payah.
Pernah ada kejadian yang hampir merenggut nyawa saya. Pada tahun 2012 lalu, ketika saya masih bekerja sebagai penulis di salah satu majalah kota. Untuk mengisi konten alam, saya memilih akan menguak sedikit keindahan serta sejarah gunung Semeru yang ada di Jawa Timur. Bersama komunitas pecinta alam,‘Beruang Asoy’,saya ikut serta dalam pendakian ke gunung yang konon bagi umat Hindu menjadi tempat para Dewa bersemayam.
Singkat cerita, dalam suatu kejadian, tepatnya ketika sudah berada di jalur blank 75. Fisik yang sudah benar-benar terkuras, secara tidak sadar saya bersandar pada sebuah batu besar dan sempat tertidur dalam beberapa detik.
Ya, karena faktor kelelahan yang membuat saya seperti itu. Alhamdulillah ketika di tempat, saya tidak sendiri. Ada dua kawan yang sudah saya kenal lama, Umar dan Ridwan disertai dua kawan yang baru saya kenal, ya bisa dibilang sesepuh dari komunitas pecinta alam itu, mas Mukhlis dan mas Agus. Melalui perantara merekalah nyawa saya terselamatkan.
“Ayo kita lanjut naik.” Ucap mas Mukhlis.
“Siap!”jawabMas Agus, Umar dan Ridwan.
“Dirga. Dirga!”kata Umar.
Belum sempat melangkahkan kaki untuk melanjutkan pendakian, tiba-tiba langkah mereka terhenti ketika Umar berteriak-teriak memanggil nama saya. Dengan sigap, mas Mukhlis dan lainnya menghampiri saya. Sambil menampar pipi kanan dan kiri, mas Mukhlis terus menyadarkan saya.
“Bangun kamu!”tegas Mas Mukhlis.
“Waduh. Takutnya Dirga kenahypo,Mas!”jelas Umar
“Ambil air, cepat!”perintahMas Mukhlis.
Alhamdulillah tidak lama setelah itu, akhirnya saya tersadar. Kalau saja Umar tidak melihat diri saya yang sudar terkapar di balik batu besar itu, dan kalau saja mereka semua tidak dengan segera menyadarkan saya. Kemungkinan pahit saya akan tewas di tempat.
“Alhamdulillah, akhirnya kamu bangun. Berikan Dirga susu cokelat Umar. Biar dia habiskan.” UcapMas Mukhlis.
“Ini kamu makan Dirga, habiskan.” Ucap Umar.
Ya, sekali lagi, merekalah para perantara penyelamat nyawa saya. Karena tenaga sudah habis, ditambah dinginnya udara gunung, membuat seluruh tubuh merasakan dingin yang sebegitu dan tanpa tersadar, tertidur di balik batu besar blank 75.
Besar terima kasih untuk mereka dan kawan-kawanBeruang Asoy.
Lentera belum cepat padam
Hangatnya kasih pelukan terdalam
Kembali lagi kepada cerita Satya. Sesampainya di rumah, sudah menjadi kebiasaan bagiembah dan bulik untuk menyambut dengan ramah. Shubuh pada hari pertama perjalanan saya berada di Desa Wonokerti, Boyolali. Senang bukanalang kepalang, hati ini menikmati suasana pagi di desa. Kicau burung yang riang bersahutan, embun pagi yang setia membasahi dedaunan.
“Umi dan keluarga di sana apa kabar,Le?”tanya bulik Endang.
“Alhamdulillah baik bulik. Oh iya,Bulik tahu ndak,tempat-tempat di daerah sini yang menjadi peningglan zaman kerajaan?”
“Waduh, manaBulik tahuLe. Memangnya kenapa?”
“Ndak apa-apa. Cuma mau tanya saja.”
“Kalau kamu mau jalan-jalan, tunggu sampaiDik Satya libur sekolah ya.”
“Nggih, Bulik. Insya Allah besok Satya libur dan mau mengajak Dirga ke Keraton Surakarta.”
“Oh ya silakan saja kalau memang besok dia libur. Kamu bantu bulik Sri sana. Sekarang lagi panen jamur,Le.”
“Nggih bulik.”
Ya, hari pertama saya lewati dengan membantu bulik Sri memanen jamurnya. Meskipun agak sedikit kotor dan bau, tapi diri terus menikmati setiap apa yang saya lakukan.
“MambuyaLe?”tanya bulik Sri.
“Ndak apa-apaBulik. Asyik dan seru. Karena baru pertama kaliDirgamelakukan ini.”
“Kamu rencananya mau berapa hari di sini? Kalau lama, mending kamu cari kerja sana.”
“Insya Allah lama, Bulik. Cuma Dirga ndak menetap. Nanti akan jalan lagi.”
“Nanti? Lha, kamu mau ke mana tho?”
“Yondak nanti juga. Nunggu kawan yang masih di Depok. Insya Allah besok lusa dia baru tiba di Solo. Mau mengunjungi tempat peninggalan zaman dulu. Sekalian mau menelusuri asal muasal nama Depok.”
“Lha, memang apa kaitannya?”
“PanjangBulik, Dirga juga belum tahu. Makanya mau mencari tahu.”
“Jangan kebanyakan main. Ingat, umurmu sudah semakin tua. Memangnya kamu ndak mau menikah apa?”
“Ya inginlahBulik. Tapi nanti. Saat ini aku lagi ndak memikirikan untuk menikah, jangankan menikah, memikirkan wanita saja ndak.” Ujar saya sambil tertawa kecil.
“YaBulik kan hanya memberi nasihat. Terserah kamu mau mendengarkan atau ndak.”
“IyaBulik. Ish.”
Pada keesokan hari di rumah mbah.
“AyoDik bangun dan lekas mandi, temaniMas ke Keraton Surakarta. Banyak yang inginMas cari tahu dan beli.”
“IyaMas,iya.Mengko sik yo, aku kumpulkan tenaga dulu.”
Selama di Boyolali, Satya selalu ada waktu menemani ke manapun lokasi yang ingin saya tuju. Sampai pada akhirnya, tibalah kami di Keraton Surakarta.Biasalah ya, hal pertama yang dilakukan anak muda ketika berada di tempat yang baru pertama kali dikunjunginya adalah berfoto-foto. Melihat sudut-sudut bagian yang sekiranya bisa dijadikan sebagai latar belakang untuk bernarsis ria, ya itulah saya dan sama juga dengan sebagian manusia lainnya.
Berjalan perlahan berkeliling melewati kios yang berada di alun-alun, dua kali kami berputar menikmati suasana yang tidak pernah saya dapatkan sebelumnya. Begitu riuh suasana ketika itu. Ramai. Namun, tetap tenang, nyaman, dan aman.
Kemudian langkah terhenti sambil menolehkan kepala ke sebelah kiri.
“Dik coba lihat kios itu yuk! Mas jadi ingin beli keris deh. Nanti kalau si penjualnya bicara dengan menggunakan bahasa Jawa, kamu yang tawar yo?”
“NggihMas, kebetulan aku paling suka menawar barang.”
“BolehMas ini dilihat-lihat kerisnya, mulai dari yang baru sampai yang lama.” Kata ibu pedagang.
“Wah ternyata ibu penjual keris bisa berbahasa Indonesia, aman berarti.”Ucap saya dalam hati.
“Ke kios ibu itu,Dik.” Sambil menunjuk ke arah kios tersebut.
“Ayo, Mas.” Jawab Satya.
Tidak membutuhkan waktu lama, transaksi jual-beli berakhir. Dan boleh dibilang beruntung, harga keris itu bisa kami tawar hingga setengah harga. Lumayanlah untuk hiasan di rumah nanti. Setelah mendapatkan sebilah keris, saya langsung mengajak Satya ke Pasar Tradisional Klewer. Niatnya di sana saya akan mencari kainjarikpesanan seseorang,yang dibab selanjutnya akan dibahas lebih dalam.
Jelas saya, “Dik, ke Pasar Klewer yuk? Mas mau mencari kain jarik.”
Satya menjawab, “Untukopo,Mas? Mas mau menikah?”
“Hah?! Menikah dari mana? Dari Hongkong. Teman wanitaMas nitip untuk menari.” Tegas saya sambil terkejut.
Satya tersenyum, menatap wajah saya yang mulai memerah. Kemudian ia melanjutkan kata-katanya, “Oh. Soalnya kalau di sini begitu, Mas. Ketika ada seorang lelaki membelikan kain jarik, yo pasti mau menikahi wanita.”
Masih memendam rasa heran, sambil berjalan kami memerhatikan setiap sudut alun-alun. Sampai pada waktunya, tiba di sebuah kios penjual kain. Ya, Satyalah sekarang yang mengambil peran dalam melakukan transaksi jual-beli. Karena, mbak-mbak yang menjual berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa. Sedangkan saya yang belum terlalu mengerti, hanya mampu memerhatikan dua manusia ini sambil sedikit kebingungan mengartikan percakapan mereka.
Setelah Satya berhasil bernegosiasi, akhirnya saya mendapatkan kain yang dicari untuk dia, teman wanita saya, dengan harga yang tidak terlalu mahal. Seharian berkeliling area Keraton Surakarta, suara tetabuhan di dalam perut sudah tidak bisa terelakkan. Lantas, saya dan Satya segera mencari tempat makan yang tentunya tidak terlalu mahal, mengingat perjalanan saya yang masih sangat panjang.
Setelah asyik menikmati masakan warung sederhana, akhirnya kami memutuskan untuk menyudahi kunjungandiKeraton Surakata. Dan setibanya di rumah, seperti biasa, sambutan meriah diberikan bulik Endang danembah di sana. Meskipun senyatanya, kami hanya keluar seharian. Tapi, tidak mengubah apa yang sudah menjadi adat mereka, keluarga saya di Boyolali.
Malam harinya, ketika saya sedang asyik melihat keris dan kain. Teman wanita saya, Dinda mengirim pesan singkat. Yang di mana isi dari pesan berupa curhatan hati akan hubungannya dengan kawan saya sendiri, Adam. Iya, dalam hubungan asmara pasti akan selalu ada kita jumpai perbedaan pendapat. Bertengkar merupakan bumbu pemanis dari suatu jalinan kasih. Dinda yang sering berkata sudah lelah dengan hubungannya, dan ingin menyudahinya. Namun di lain sisi, rasa cinta terhadap Adam menjadi benturan keras hati untuk mengakhiri kisah cintanya.
Adapun dengan saya, berada di posisi yang sulit ketika ingin memberikan sebuah penyelesaian. Oh iya, meskipun baru mengenalnya. Perhatian Dinda terhadap saya lumayan besar. Karena itulah, lambat laun saya menjadi ada sedikit rasa. Yah, rasa siapa yang tahu, cinta tak pandang sesiapa. Padahal di saat yang bersamaan hati ini sudah lebih dulu memilih wanita lain. Meskipun saya tahu, perhatian yang diberikan antara dia dan Dinda, jauh lebih besar Dinda. Malah justru, si dia yang saya harap jarang sekali memberikan perhatian.
Sang pujaan hanya mampu menanam syair
Berdendang ria mengiri langkah takdir
Saling melempar senyum enggan membuka tabir
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H