Mohon tunggu...
Noer Ardiansjah
Noer Ardiansjah Mohon Tunggu... lainnya -

Hanya serupa peternak mimpi yang masih asyik dengan mimpinya. Lebih seringnya sih, bermimpi tentang kamu.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Dongeng Asal Muasal Aksara Jawa

31 Desember 2014   04:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:08 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14200198251729492349


Sebelum terlalu jauh melangkah seiring dengan rangkaian kata, ada baiknya saya ucapkan rasa terima kasih terlebih dahulu yang sebesar-besarnya untuk Bapak Drs. H. Budiono Herusatoto yang telah rela hati mengeluarkan banyak tenaga maupun pemikirannya sehubung dengan karyanya yang berjudul, "Mitologi Jawa" yang diterbitkan oleh ONCOR Semesta Ilmu, sehingga saya dan mungkin beserta seluruh generasi muda semakin terbuka wawasan tentang salah satu bagian budaya dari sejarah di Nusantara. Sekali lagi terima kasih, matur nuwun, jazakallahu khairan katsirah.

Terkait dengan tajuk, Dongeng Asal Muasal Aksara Jawa, bisa dipastikan bahwa setiap negara di seluruh penjuru dunia tentu memiliki keanekaragaman budaya masing-masing, karena budaya adalah merupakan ciri khas daripada suatu bangsa itu sendiri yang patut untuk dilestarikan serta dijaga oleh setiap generasinya. Begitu juga yang terjadi di Nusantara kita tercinta, di dalamnya terdapat berbagai macam suku bangsa yang memiliki budaya atau leluri berbeda-beda dari tiap-tiap sukunya. Sebagai contoh, suku Jawa yang merupakan salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia.

Dalam perjalanan sejarahnya, suku bangsa Jawa sendiri banyak melalui masa-masa di mana perkembangan ilmu pengetahuan mulai mewarnai corak kehidupan masyarakatnya. Pun dengan cerita mitos, dongeng atau lainnya yang semakin menguatkan nilai-nilai historiografi dengan mengaitkan pemikiran kehidupan nyata seseorang pada zaman dulunya.

Dengan masuknya budaya membaca dan menulis, otomatis membuat suku bangsa Jawa menjadi lebih maju dan beradab daripada zaman sebelumnya. Tercatat dalam sejarah, perkembangan bangsa Jawa mulai terhitung sejak tanggal 1 Srawana tahun 1 Saka atau bertepatan dengan tanggal 7 Maret 78 Masehi, yang di mana tersebutlah kisah seorang pemimpin rombongan pertama Brahmana dari India yang kemudian menetap di Tanah Jawa selama kurang lebih satu abad lamanya.

Selama menetap di Tanah Jawa, konon Empu Sengkala -nama Brahmana tersebut- menciptakan sebuah bentuk atau model grafis aksara sebanyak 20, yang lebih kita kenal dengan sebutan: ha-na-ca-ra-ka-da-ta-sa-wa-la-pa-dha-ja-ya-nya-ma-ga-ba-tha-nga. Dikarenakan jasanya yang mampu meningkatkan peradaban itulah, arkian beliau diangkat oleh rakyat Jawa menjadi Raja Medangkamulan dengan gelar Prabu Silih Wahana yang memiliki arti, raja yang mampu mengubah zaman atau keadaan atau peradaban.

Kendatipun telah dinobatkan oleh rakyat Jawa menjadi seorang raja, Empu Sengkala atau Prabu Silih Wahana, tetap menjadi individu yang bijaksana dan berkenan pula untuk mempelajari ilmu pengetahuan asli Jawa Purba, 'Pranata Mangsa', yang telah dulu didaraskan secara turun-temurun sehingga sudah melekat dalam hati orang-orang Jawa.

Tidak hanya memerhatikan serta mempelajari peninggalan leluhur orang Jawa, Prabu Silih Wahana pun melestarikan warisan purba tersebut dengan menorehkannya ke dalam bentuk tulisan yang telah beliau ciptakan sendiri. Berkat bantuan para pralebda Jawa -para ahli di bidang ilmu pengetahuan- serta bimbingan para pembesar kerajaan dari bangsa India, ilmu pengetahuan Pranata Mangsa kemudian menjadi Serat Pranata Mangsa. Sehingga, hasil dari karya itu menjadi pertanda akan kemajuan zaman baru bagi rakyat Jawa yang ditetapkan pada hari Sukra Manis (Jemuah Manis), hari pertama bulan pertama dan tahun pertama Saka seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya.

Berkat bakti serta perhatiaannya yang cukup mendalam terhadap rakyat Jawa dan cerita-cerita rakyatnya (folklore) yang telah terlebih dulu ada, tak ayal membuat rakyat semakin mencintai Prabu Silih Wahana yang kemudian memberikan kembali gelar untuk sang raja menjadi Sang Aji Saka -Yang Termulia Raja Penancap Tonggak Pertama-.

Semenjak 20 bentuk aksara Jawa yang telah diciptakan oleh Prabu Aji Saka tersebar luas menjadi suatu pengajaran ilmu pengetahuan tulis-menulis, para adicarita -ahli pendongeng- pun mulai mendaraskan dongeng tentang lahirnya aksara tersebut yang konon terjadi akibat kesedihan yang dialami Empu Sengkala karena kehilangan dua abdi setianya. Untuk sebagai penanda, di atas pusara mereka ditancapkan sebongkah batu besar yang kemudian dengan menggunakan jari telunjuknya diguratkan sebuah seloka (karya tulis). Adapun dongeng yang terus didaraskan sampai pada abad pertengahan abad 19 sebagai berikut:

Ha-na-ca-ra-ka (Ada utusan),

Da-ta-sa-wa-la (Lalu bertengkar),

Pa-dha-ja-ya-nya (Sama-sama kuatnya/saktinya),

Ma-ga-ba-tha-nga (Menjadi Mayat).

Demikianlah Dongeng Asal Muasal Aksara Jawa yang menceritakan kisah tentang dua abdi setia Empu Sengkala, Dora dan Sembada. Cerita rakyat yang kudunya harus terus dijaga dan dilestarikan. Cerita rakyat yang seharusnya tidak boleh usang seiring dengan berkembangnya zaman. Semoga, generasi kini tidak termasuk generasi yang durhaka terhadap sejarah. Generasi yang bangga dengan kisah para leluhurnya.

Mohon dilapangkan maaf jika banyak kesalahan dalam penulisan.

Tabik!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun