Mohon tunggu...
Noer Ardiansjah
Noer Ardiansjah Mohon Tunggu... lainnya -

Hanya serupa peternak mimpi yang masih asyik dengan mimpinya. Lebih seringnya sih, bermimpi tentang kamu.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Satria Dirgantara (Sejarah Depok) VII

31 Januari 2015   01:50 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:04 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1421079102202986163


VII.

Pituah Leluhur

Asaku menggelora bertelanjang kaki
Bintang gemintang yang lembut menari

Fajar yang masih sama seperti pagi sebelumnya. Begitu riuh menggaduh seiring dengan lengkingan meracau kukila muda yang riang dalam pelukan sang banaspati, bola api kehidupan. Berlari penuh semangat, merajut cerita leluhur yang tak kunjung rimba. Sungguhpun sedari pagi sampai cakrawala senja terbentang di sudut barat, tidak banyak kegiatan menarik yang layak untuk dilakukan. Sebelum akhirnya, kami buka kembali catatan perjalanan yang sempat terhenti.

“Perjalanan kemarin seru ndak,Mas?” tanya Brahma sambil membawakan dua cangkir kopi hangat untuk saya dan Resa yang sedang berada di ruang tamu rumah mas Raga.

Jawab saya, “Seru, Mas!” begitu juga dengan jawaban Resa.

Sambil menikmati kopi yang diberikan oleh Brahma, antara mereka begitu asyik bertukar cerita, meskipun hanya sekadarnya. Adu kisah saat kuliah bersama, tentang kawannya yang suka dengan hewan peliharaan, bahkan ada cerita tentang salah satu kawan mereka yang sifatnya menyerupa hewan peliharaan. Betapa asyik dan teramat seru, adapun dengan saya, hanya memposisikan diri sebagai pendengar yang baik. Tidak ikut berpartisipasi dalam hal berbagi kisah. Karena memang, saya sama sekali tidak tahu atas apa yang mereka bicarakan. Belum lagi ketika di waktu bersamaan, pikiran masih berada dalam ruang kerinduan. Ya, rindu memikirkan seorang wanita yang berada di Jakarta sana.

“Mas, sekarang jenenganlah yang berbagi cerita ke kami.” Ucap Brahma.

“Untuk saat ini, ndak ada kisah yang menarik untuk saya ceritakan. Saya mendengarkan kalian saja.” Jawab saya.

Ada sesuatu yang lagi Mas pikirkan ya?” tanya Resa sambil menundukkan kepala tatkala saya menatap matanya.

“Wah, kalau sekiranya ada yang mengganjal di hati. Coba, Mas ceritakan kepada kita. Barangkali, bisa membuat lega pikiran Mas Dirga, meskipun hanya sedikit.” Tambah Brahma.

“Ndak kok. Saya nggak memikirkan apa-apa. Oh iya, foto yang kemarin mau disimpan di laptopmu ndak?” saya berusaha mengalihkan pembicaraan.

“Wah, boleh Mas boleh. Sebentar ya, saya ambil laptonya dulu.” Ujar Brahma sambil melangkah.

Brahma pun menuju kamar tengah. Sementara saya dan Resa asyik menikmati dunia masing-masing. Setelahnya, diiringi dengan rasa puas. Satu persatu foto dipindahkan, sekaligus mengubah kecerahan gambar itu sendiri.

Sebab luka tak lagi kekang derita
Bahagia dibuai semesta raya
Duhai!

Kemudian seusai maghrib, saya berkata kepada Brahma.

“Malam ini tujuan kita ke mana lagi, Brahma?”

Dengan senyum terbuka, ia menjawab.

“Kita akan berwisata malam ke suatu tempat yang pasti Mas Dirga dan Resa suka.”

“Wah, ke mana tuh,Mas?” selak Resa.

“Kita akan pergi ke salah satu peninggalan Cagar Budaya Kasultanan Pajang.” Jawab Brahma.

“Kasultanan Pajang? Kerajaan Jaka Tingkir, Mas?” ucap saya.

“Iya,Mas. Letaknya ndak terlalu jauh dari rumah. Dengan menggunakan sepeda motor, kita bisa ke sana kok.” Jelas Brahma.

“Memangnya di mana,Mas? Nanti hanya kita bertiga?” tanya Resa.

“Masih di daerah Makam Haji, Sukoharjo, Mas. Mungkin kita akan bersama mas Raga. Karena dialah pemandu jalan kita nanti.” Jawab Brahma.

Pertunjukan berupa dialog singkat usai, persiapan pun disegerakan. Dan sayalah manusia yang paling sibuk kalau boleh dikatakan. Karena saya harus memastikan sebuah tas kecil untuk menaruh kamera, dan tas kecil lainnya untuk membawa telepon genggam, juga beberapa buah buku.

Selang beberapa menit kemudian, di ruang tamu.

“Mas Raga, rencananya hari ini, kami bertiga mau pergi ke Cagar Budaya Kasultanan Pajang. Bisakah Mas Raga ikut serta?” tanya Brahma kepada mas Raga.

“Boleh, kapan kalian mau ke sana?” jawab mas Raga.

“Sekarang,Mas. Bagaimana?” ucap Brahma.

Yo wis. Kalian siap-siap saja dulu.” Jelas mas Raga.

“Kami sudah siap,Mas.” Senyum Brahma.

“Yo wis. Sebentar ya.” Mas Raga pun memberikan senyuman kembalian untuk Brahma.

Sambil menunggu Mas Raga, Brahma menceritakan kabar baik kepada saya dan Resa.

“Alhamdulillah, mas Raga bersedia hati untuk mengantarkan kita.” Kata Brahma.

“Asyik. Wisata malam nih kita.” Ungkap Resa yang senang bukan kepalang.

Bola energi semakin membesar, terlonjak rasa semangat karena tertuju ke sebuah harapan yang indah saat mendengar jawaban mas Raga. Wajah pun bersinar, ditambah senyum sumringah di antara saya, Resa, dan juga Brahma. Selang beberapa menit kemudian, kami beserta mas Raga sama-sama memanaskan sepeda motor. Eits, ternyata adalagi yang ikut dalam perjalanan ini. Seorang gadis kecil yang bukan lain adalah anak perempuan mas Raga, adalah Putri Ayu.

Sesuai dengan namanya, gadis yang cantik, lucu, periang, pandai berbicara, sopan dan tentunya masih banyak lagi keunggulan dari anak ini. Belum lagi akan pemahamannya dalam urusan gaib. Ya ya, anak ini bisa merasakan, dan bahkan melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat kebanyakan manusia. Entah ini yang disebut kelebihan atau kekurangan. Cuma yang jelas, dia baik. Lagi pula, saya tidak mampu membahas suatu perkara yang saya sendiri tidak dapat memahaminya.

Mata adalah jendela rasa yang melebur bersama Sang Kekasih
Adapun telinga adalah jembatan elegi tanpa pamrih
Tatkala penglihatan menjelma menjadi hakikat
Pendengaran mejadi sifat
Gadis manis yang terus merebus rasa, dunia

Setelah sepeda motor siap untuk dijalankan, saya dengan Brahma, Resa bersama mas Raga, dan juga Putri. Lagi, di sepanjang jalan yang masih banyak kehidupan, saya ingat betul jam di tangan menunjukkan pukul delapan malam kurang, Brahma kembali banyak berlisan kata tentang salah satu Wali Sembilan, Sunan Kalijaga. Celotehan Brahma pun semakin mendalam tatkala saya bertanya tentang Syeikh Siti Jenar. Meskipun antara kami berdua tidak bisa memastikan akan kebenaran dengan kisah yang telah Brahma sendiri daraskan. Namun bagi saya, mendengarkan ataupun bercerita adalah bagian dari kenikmatan. Kenikmatan yang paling menyenangkan.

Mengendarai kendaraan dengan agak lamban, melihat sisi lain kehidupan desa ketika gelap gulita, belum lagi akan angin malam yang perlahan menyapu seluruh badan. Ah, sungguh. Sungguh bahagianya hati ini. Kedamaian yang seolah-olah berbisik, “Sudah Dirga. Tinggallah kamu di desa. Untuk apa merana di kota, durhaka. Hanya menyaksikan parade manusia pembawa panji dengan lambang berhala. Nikmatilah tawamu di sini.”

Sejurus tali gas kendaraan dikendurkan, binar mata sepeda roda dua dipadamkan. Persis dihadapan kami, para penikmat wisata malam, berdiri kokoh beberapa pohon beringin yang sangat besar nampak rindang. Ada juga serupa gapura yang dijaga dua patung drawapala. Ya, inilah tempat yang kami tuju, Cagar Budaya Patilasan Kasultanan Karaton Pajang.

Desing angin runtuhkan nyali
Tetabuhan genderang gaib sahut-menyahut

Rayuan jalang binatang malam beriringan tarian anak daun di setiap dahan pepohonan rindang, sontak membuat bulu kuduk saya berlarian, entah dengan Resa, Brahma, Putri, dan mas Raga. Barang jelas, di saat itu jantung saya berdegup begitu kencang. Seperti ingin lari dari peraduan. Mencari tempat yang sekiranya lebih damai untuk anak penakut semacam saya.

“Ayo kita masuk.” Ajak mas Raga yang tampak tenang sebab pantulan dari raut wajahnya.

“Ayo Mas, masuk. Aku mau lihat-lihat.” Putri pun ambil bagian dalam hal ini. Mungkin maksudnya untuk menyemangati kami bertiga. Ya! Mimik wajah saya, Resa, dan Brahma tidak setenang Putri dan mas Raga.

Memaksakan langkah kaki pelan-pelan. Sesampainya di dalam, ada beberapa orang yang sedang mengistirahatkan badan, ada yang bersenda gurau di warung dekat aula patilasan, dan ada juga beberapanya yang memerhatikan kita.

“Jenengan mencari siapa,Mas?” tanya seorang lelaki yang tidak terlalu tua, berambut panjang sepundak lebih sedikit, ditambah postur tubuhnya yang lumayan tinggi dan besar.

“Iya,Mas. Saya lagi mengantarkan adik-adik saya untuk mencari tahu sejarah leluhur.” Jawab mas Raga.

Mendengar jawaban mas Raga, tetiba sang penyambut melemparkan senyuman yang ramah untuk kami.

“Sebentar Mas, aku pindahkan dulu mie instan yang baru saja matang.” Tambahnya.

“Waduh Mas, jadi merepotkan jenengan ya?” timpal mas Raga.

“Ndak Mas. Tenang saja. Silakan duduk di sana,Mas.” Jawab lelaki penyambut sambil menunjukkan tempat kosong yang tepat di depannya ada pintu masuk ke sebuah ruangan penyimpanan benda.

Lelaki itu berlalu, lalu datang menghampiri kami, seorang pemuda yang berbadan agak gemuk dengan seorang lelaki tua yang mengenakan kopiah hitam. Sama, kedua orang ini pun melemparkan sebuah senyuman untuk kami. Yang kali pertama menginjakkan kaki diselimuti rasa ketakutan, semua hilang ketika melihat senyum tiga lelaki di patilasan.

Lelaki yang sempat pergi sekadar memindahkan semangkuk mie instan kembali dengan langkah tegap penuh semangat.

Monggo monggo. Ada kebutuhan apa sehingga kalian datang ke Cagar Budaya Patilasan Karaton Kasultanan Pajang? Barangkali nanti ada yang bisa kami bantu.” Ucapnya yang agak parau.

“Oh iya sebelumnya kenalkan. Saya adalah Raden Mas Budiman Jatmiko. Boleh dikatakan saya merupakan bagian dari Patilasan Kasultanan Pajang. Kalau ini, Embah Karan Mangun Kusumo. Dia adalah Juru Kunci Cagar Budaya Patilasan Karaton Kasultanan Pajang. Dan yang ini, Mas Agung Jayasloka. Bertugas sebagai Juru Tulis dari patilasan.” Lanjut lelaki yang memiliki nama Budiman Jatmiko, sambil memperkenalkan sang Juru Kunci dan Juru Tulis Patilasan Karaton Kasultanan Pajang.

“Selamat datang untuk Mas semua di sini. Semoga dengan pertemuan sekarang, kelak semakin erat hubungan persaudaraan kita. Sekadar menambahkan, kalau menurut silsilah, Mas Budiman Jatmiko adalah salah satu keturunan langsung dari Paku Buwono II. Beliau sangat membantu dalam urusan maupun perlengkapan untuk Patilasan Kasultanan Pajang.” Tambah mas Agung Jayasloka.

“Wah, kebetulan sekali kami bisa bertemu dengan Embah dan jenengan,Mas. Saya adalah Raga. Ini putri saya, Putri Ayu. Dan sebelah kanan Putri adalah adik saya, Brahma, didampingi kedua kawannya dari Jakarta, Dirga dan Resa.” Jawab mas Raga.

“Enggih. Jadi begini, embah dan mas. Kebetulan saya mendampingi Mas Dirga yang sedang mencari tahu dan menulis tentang ... Siapa, Mas?” ucap Brahma.

“Iya, embah dan mas. Saya Dirga dari Depok. Adapun kedatangan kami selain untuk silaturahim adalah ingin mencari tahu tentang seorang leluhur yang memiliki nama, Ki Ageng Getas Pendawa, atau biasa dikenal dengan nama Raden Depok.” Saya berusaha menjelaskan kepada beliau.

Oh, jenengan dari Depok tho. Jenengan kerja atau apa kalau boleh tahu?tanya mas Jatmiko.

“Ini mau Embah yang jelaskan atau siapa?” tanya mas Jatmiko kepada embah Karan Mangun Kusumo.

“Jenengan juga boleh.” Jawab sang Juru Kunci.

“Mas Raga juga mau di sini atau bergeser sedikit ke belakang? Sekalian mengisi daftar tamu.” Tanya embah Karan Mangun Kusumo kepada mas Raga.

“Boleh,Mbah. Biar mereka berbincang-bincang dengan Mas Jatmiko dan Mas Agung.” Jawab mas Raga.

Embah Karan Mangun Kusumo dan mas Raga pun beranjak dari tempatnya. Tapi tidak dengan Putri Ayu, yang nampak terdiam.

Lanjut, “Saya sudah berhenti kerja,Mas. Baru saja. Sebelumnya saya bekerja sebagai penulis disalah satu tabloid kartun untuk anak kecil sekaligus merangkap sebagai penulis konten sebuah web percetakan dan garment. Adapun saya memutuskan untuk menyelesaikan pekerjaan, ya dikarenakan ini. Besar rasa keingintahuan saya terhadap sosok Ki Ageng Getas Pendawa. Hati lebih memilih pergi dari kota asal saya, dan sowan ke manapun tempat yang berhubungan dengan Raden Depok itu sendiri.”

Sesaat saya melihat mas Budiman Jatmiko menyalakan selinting tembakau, yang kemudian mempersilakan kami untuk merokok. Tanpa banyak buang waktu, saya beserta Brahma membakar lintingan tembakau yang kami punya. Sedangkan Resa, karena telah mengantungi izin untuk berkeliling patilasan, dengan cekatan dia menggunakan kamera yang saya bawa untuk mengambil gambar sekadar kenangan dan cerita untuk di masa mendatang.

“Niatan saya untuk menelusuri jejak Ki Ageng Getas Pendawa, membangkitkan semangat Resa untuk ikut serta. Dari Resa, saya dikenalkan dengan Brahma yang sangat kebetulan menyukai sejarah dan budaya. Barangkali dari Brahma nantinya dapat membantu memberikan rujukan tempat yang harus saya kunjungi. Dan benar adanya, beliau mengajak saya ke Patilasan Kasultanan Pajang. Mungkin dari tempat ini kelak saya akan mendapatkan suatu pencerahan,Mas.”

Setelah mendengarkan segala apa-apa yang telah saya paparkan, kini giliran mas Budiman Jatmiko yang berkata, “Iya,Mas Dirga. Jadi begini, sebelum saya menjelaskan apa yang tadi Mas Dirga katakan. Baiknya saya ingin memberitahukan, jenengan semua ini sebenarnya sebagian dari cucu-cucu yang Eyang pilih untuk berkunjung. Banyak di luar sana atau bahkan di dekat sini yang ndak tergerak hati untuk melangkahkan kaki ke sini. Itu karena apa? Karena Eyang tidak mengetuk hatinya. Adapun dengan Mas Dirga, yang rela berkorban berhenti bekerja hanya untuk mencari tahu leluhur. Kalian datang ke sini, tentunya juga ada suatu pertanda akan sesuatu yang masih menjadi misteri Gusti Allah.”

Mendengar kata-katanya yang seperti itu, saya langsung berkata dalam hati,”Ucapannya ndak jauh beda dengan embah Sakti Puji Aji.”

Kemudian lanjut mas Jatmiko, “Coba jenengan, Mas Dirga, nanti sepulang dari tempat ini, tanya keluargamu akan silsilah orang tua. Bisa kemunginan, jenengan ada keturunan dari Eyang Mas Karebetatau lainnya.” Papar mas Jatmiko.

Jawab saya, “Enggih, Mas.”

“Kamu asli mana,Mas?” tanya beliau.

“Bapak dari Boyolali, umi berasal dari Tanah Abang, dan saya lahir di Depok,Mas.” Jawab saya.

Mas Budiman Jatmiko menatap saya, dan berkata, “Oh. Ya kuat dari bapak tho. Bapak masih ada? Coba kapan waktu kamu cari tahu garis keturunanmu.”

Saya sempat terdiam sebentar, lalu menjawab, “Enggih,Mas. Bapak sudah meninggal. InsyaAllah nanti saya cari tahu,Mas.”

“Nah, kebetulan sekali. Sama seperti kisahEyang Mas Karebetyang menjadi yatim.” Ucapnya sambil tersenyum.

Lalu mas Jatmiko meneruskan lagi kata-katanya yang belum tersampaikan.

“Oke, jadi begini. Adakah hubungan Eyang Mas Karebet atau Eyang Jaka Tingkir dengan Ki Ageng Getas Pendawa atau Raden Depok seperti yang jenengan tanya.

Kalau untuk itu ya jelas ada. Saya jelaskan dari awal ya biar ndak terlalu kabur sejarahnya. Siapakah Ki Ageng Getas Pendawa atau Raden Depok? Kalau dari silsilah, beliau itu adalah anak dari Raden Bondan Kejawan atau Arya Lembu Peteng dengan Retno Rara Nawangsih. Dan Kakeknya Raden Depok adalah salah seorang yang sangat dikenal banyak orang, yaitu Jaka Tarub. Dari hasil pernikahan Jaka Tarub dengan Dewi Nawangwulan, melahirkan Retno Rara Nawangsih yang disatukan dengan Arya Lembu Peteng.”

“Nah, Mas, cerita tentang pernikahan Jaka Tarub dengan salah seorang bidadari apa benar?” tanya saya.

Jawab mas Jatmiko, “Bisa benar, dan juga bisa kiasan. Namun kalau dari cerita yang turun menurun didaraskan, seperti ini. Ketika Jaka Tarub sedang pergi ke hutan sekadar mengikuti kegemarannya yakni meniup sumpit, atau nulup. Ia terhenti langkah ketika berada di sebuah mata air. Karena ternyata, mata air itu adalah tempat pemandian para bidadari kahyangan. Mungkin begitu terpesonanya Jaka Tarub akan kecantikan para bidadari, akhirnya ia memutuskan untuk mengambil salah satu selendang milik makhluk kahyangan itu.

Setelah mendapatkan selendang. Ia kemudian sengaja bersuara, agar para wanita cantik itu terbang meninggalkan mata air, dan tentunya meninggalkan salah satu bidadari yang selendangnya diambil oleh Jaka Tarub. Taktik ini berhasil. Tinggallah satu bidadari cantik di dekatnya. Karena, kesaktian para bidadari ada pada selendang tersebut. Dalam kejadian itu, mereka pun membuat sebuah perjanjian. Yang inti dari perjanjian tersebut adalah menikah. Dari hubungannya itu, Jaka Tarub dan Dewi Nawangwulan mempunyai anak yang cantik penuh pesona, adalah Retno Rara Nawangsih.

Pernah ada peristiwa ketika sang istri, Dewi Nawangwulan hendak pergi ke sungai lalu memberi pesan kepada suami, Jaka Tarub, agar menjaga dandang nasi dan jangan dibuka apapun alasannya. Sebab rasa penasaran, akhirnya Jaka Tarub mengindahkan pesan Dewi Nawangwulan. Sesudahnya dari sungai, Dewi Nawangwulan membuka dandang itu, dan kaget ternyata masih berupa sebutir padi. Dia langsung berpikir kalau suaminya telah menyalahi amanatnya.

Dari kejadian itulah, Dewi Nawangwulan marah besar. Selang beberapa hari kemudian, ia menemukan kembali selendang kepunyaannya. Tanpa buang waktu, Dewi Nawangwulan pamit pergi kepada Jaka Tarub untuk kembali ke kahyangan.

Itulah sekilas tentang Jaka Tarub dengan Dewi Nawangwulan. Nah setelah anak mereka dewasa, Retno Rara Nawangsih. Lantas dijodohkan dengan Arya Lembu Peteng. Dari pernikahannya mereka mempunyai tiga anak. Yang pertama dan kedua lelaki, terakhir wanita. Anak lelakinya itu adalah Kyai Ageng Ngabdullah atau Ki Ageng Wonosobo dan Kyai Ageng Getas Pendawa atau Raden Depok. Sedangkan yang wanita bernama Nyai Siti Rachmah.

Setelah menikah, Ki Ageng Getas Pendawa mempunyai tujuh anak. Salah satunya adalah Kyai Ageng Ngabdurrohman atau Ki Ageng Sela. Dari sinilah hubungannya kuat dengan yang tadi Mas tanyakan.”

“Maksudnya,Mas? Hubungan dengan Jaka Tingkir kah?” tanya saya keheranan.

“Benar, hubungannya antara Jaka Tingkir dengan Kyai Ageng Getas Pendawa. Adapun ceritanya seperti ini..

Secara silsilah merupakan keturunan dari Eyang Prabu Brawijaya. Adalah Jaka Sengara seseorang yang terkenal akan kesaktiannya yang mumpuni. Karena kelebihan itulah, Raja Brawijaya sangat mengasihi beliau sehingga akhirnya dijodohkan dengan putrinya yang bernama Ratu Pembayun. Buah hasil pernikahannya melahirkan tiga orang anak. Anak pertama yaitu Raden Kebo Kanigara, Raden Kebo Kenanga dan yang terakhir bernama Raden Kebo Amiluhur.

Lantas, dari manakah asal usul Eyang Jaka Tingkir? Eyang Mas Karebet merupakan anak dari Raden Kebo Kenanga. Dikarenakan Kebo Kenanga sudah memeluk ajaran Kanjeng Rasul, namanya pun diganti menjadi Kyai Ageng Kebo Kenanga atau Ki Ageng Pengging. Nama ini dikarenakan, ia adalah seorang penguasa di daerah Pengging yang sekarang adalah Boyolali. Setelah memeluk Islam, beliau dididik oleh Syeikh Siti Jenar. Kemudian ia dijodohkan oleh kakak perempuan Kyai Ageng Butuh yang juga merupakan murid dari sang guru, Syeikh Siti Jenar. Dari pernikahan itulah Eyang Mas Karebet lahir.

Ceritanya seperti ini..

Tatkala sang istri hamil tua, Ki Ageng Pengging sedang menggelar pertunjukan wayang beber dengan dalangnya, Ki Ageng Tingkir. Mereka berdua ini masih satu guru, yaitu Syeikh Siti Jenar. Saat pertunjukan berjalan, diiringi hujan lebat tiba-tiba Nyai Ageng Pengging melahirkan anak laki-laki. Setelah jabang bayi dibersihkan. Lalu diserahkan ke pangkuan Kyai Ageng Tingkir dan diberi nama Mas Karebet. Kyai Ageng Tingkir juga pernah berkata kepada Kyai Ageng Pengging bahwa kelak si anak akan menjadi salah satu orang besar di tanah Jawa.

Sepulang dari mendalang, beberapa hari kemudian Kyai Ageng Tingkir jatuh sakit dan meninggal dunia. Adapun dengan Kyai Ageng Pengging juga meninggal dunia sebab dibunuh oleh Sunan Kudus atas perintah Sultan di Demak. Tidak lama kemudian, giliran sang ibu, Nyai Ageng Pengging yang menyusul Kyai Ageng Pengging. Karena menjadi yatim piatu, lalu Mas Karebet diasuh oleh Nyai Ageng Tingkir. Di sanalah ia tumbuh menjadi pemuda yang sakti sebab kegemarannya melakukan tirakat ke hutan dan gunung. Dan ia juga diberi nama panggilan Jaka Tingkir.

Pada awal tadi jenengan bertanya hubungan Eyang Jaka Tingkir dengan Kyai Ageng Getas Pendawatho?tanya Mas Budiman Jatmiko.

Jawab saya, “Enggih,Mas.”

“Masih ingat dengan salah satu anak dari Eyang Raden Depok yaitu Ki Ageng Sela? Beliaulah yang kemudian menjadi guru Eyang Mas Karebet atau Eyang Jaka Tingkir, dan dipersaudarakan dengan ketiga cucu Ki Ageng Sela yaitu, Ki Juru Martani, Ki Ageng Pemanahan, dan Ki Panjawi. Sang kakek yang sekaligus menjadi guru melihat ada suatu energi besar dalam diri Eyang Mas Karebet atau Eyang Jaka Tingkir. Akhirnya Kyai Ageng Sela mengajak Eyang Mas Karebet untuk tirakat bersama. Di dalam hati Ki Sela memohon kepada Sang Kuasa agar kelak keturunannya menjadi raja dan menguasai tanah Jawa.

Pernah pada suatu malam, ketika mereka berdua tidur di gubuk hutan Reuceh. Kyai Ageng Sela bermimpi sedang ke hutan dengan membawa kapak ingin membabat hutan. Dan sesampainya di hutan, beliau sudah melihat Eyang Jaka Tingkir yang sedang merobohkan pohon-pohon di hutan. Sontak membuat Kyai Ageng Sela tersadar dan segera membangunkan Eyang Jaka Tingkir. Beliau bertanya kepada eyang apakah pernah bermimpi aneh? Eyang Jaka Tingkir menceritakan mimpinya ketika sedang tirakat di Gunung Tela Maya. Kemudian, Eyang Jaka Tingkir diperintah oleh Kyai Ageng Sela agar mengabdi ke Demak. Eyang Mas Karebet pun mohon pamit, sesampainya di rumah, ia lalu menceritakan semua kepada ibunya, Nyai Ageng Tingkir menjelaskan kepada Jaka Tingkir akan kelebihan Kyai Ageng Sela dalam membuka tabir mimpi dan menyuruh Jaka Tingkir agar segera tunaikan perintahnya.

Dalam perjalanannya nanti ke Demak, Eyang Jaka Tingkir tidak sendiri. Ia didampingi oleh pembantu Nyai Ageng Tingkir. Mereka semua disuruh oleh Nyai Ageng untuk menemui saudaranya yang menjadi abdi Demak, beliau adalah Kyai Gandamestaka. Eyang Jaka Tingkir lalu berangkat ke Demak disertai pembantu ibu angkatnya. Setelah sampai di Demak, beliau singgah di rumah Kyai Gandamestaka.

Adapun di dalam pemerintahan Demak, dengan Rajanya Sultan Bintaratelah meninggal dunia, kemudian tahtanya digantikan oleh Pangeran Sebrang Lor, lalu digantikan lagi oleh Raden Pamekas. Mereka pun tidak lama, kemudian digantikan oleh Raden Trenggana dengan gelar Sultan Demak.

Kembali dengan Eyang Jaka Tingkir, setelah bertemu dan menetap di tempat kediaman Kyai Gadamestaka, kesaktian Jaka Tingkir tercium sampai ke kerajaan, yang kemudian diangkat menjadi abdi Demak. Karena rasa sayang Sultan Demak kepada Eyang Jaka Tingkir akhirnya beliau dinobatkan menjadi putra angkatnya, serta diberi kekuasaan untuk keluar masuk istana dan dijadikan sebagai panglima yang membawahi empat ratus orang prajurit dan mendapat hadiah sebidang tanah. Gelarnya adalah Raden Lurah Jaka Tingkir.

Suatu hari, sang Sultan Demak sedang membutuhkan prajurit tamtama. Tentunya yang dicari adalah mereka yang sakti dan kuat. Diuji, dan diadu dengan banteng. Jika bantengnya sekali tempeleng bisa mati, maka akan menjadi prajurit tamtama. Konon, ada orang dari Kedu Pingit yang bernama Dadung Awuk. Rupanya jelek, ditambah perangainya yang buruk.

Ia datang ke Demak dengan maksud ingin menjadi prajurit tamtama. Setelah bertemu dengan Jaka Tingkir, Dadung Awuk merasa iri hati karena tampangnya yang jauh berbeda. Karena merasa dirinya kuat, Dadung Awuk lantas menantang Jaka Tingkir. Lalu Dadung Awuk ditusuk dengan sandak (alat untuk makan sirih), dadanya pecah, ia tewas seketika.

Singkat cerita, berita kematian Dadung Awuk terdengar ditelinga Sultan Demak dan menjadi murka karena Jaka Tingkir telah membunuh calon prajurit. Tanpa mendengar penjelasan, Sultan Demak lalu mengusir Jaka Tingkir dari Kerajaan Demak. Itu adalah cerita yang tersebar di luar sana. Dan ada lagi kisah yang menceritakan bahwa, diusirnya Jaka Tingkir lantaran beliau menjalin asmara dengan putri Sultan Trenggana.

Eyang Jaka Tingkir seketika langsung pergi meninggalkan Demak dengan perasaan sedih dan penyesalan yang begitu mendalam. Orang-orang termasuk prajurit tamtama banyak yang menaruh iba melihat keadaan Jaka Tingkir. Dalam hati, rasanya ia ingin mati saja. Badannya lemas. Jaka Tingkir melangkah tanpa arah tujuan, memasuki hutan satu ke hutan lainnya.

Diceritakan ketika dalam pengembaraannya di hutan jati Gunung Kendeng, di sana ia bertemu Kyai Ageng Butuh dan diajak pulang ke desa Butuh. Kyai Ageng Butuh dan saudaranya, Kyai Ageng Ngerang mengambil Jaka Tingkir sebagai anak mereka. Memberikan pelajaran tentang ilmu kesaktiaan, ilmu keprajuritan, dan ilmu tata pemerintahan kepada Eyang Jaka Tingkir. Orang-orang di desa Butuh lebih senang memanggil Jaka Tingkir dengan sebutan Raden Pancadarma.

Selama tinggal di Butuh, Jaka Tingkir selalu mendapat nasihat Kyai Ageng Butuh. Ia disuruh pergi ke Demak untuk menemui teman-temannya. Kalau Sultan Demak tidak menanyakan kepergiaanya, Jaka Tingkir disuruh pulang lagi ke Pengging. Jaka Tingkir menemui teman-temannya di Demak pada malam hari. Ia mendapat informasi bahwa selama kepergiannya, Sultan Demak tidak pernah menanyakan. Oleh karena itu, Jaka Tingkir meminta temannya agar bersedia mengantarnya pulang. Berjalan begitu lemas, ia melangkahkan kakinya menuju Pengging. Di suatu malam hari ia tidur di serambi kuburan ayahnya sampai beberapa hari. Sampai akhirnya ia mendapatkan suara gaib yang menyuruhnya untuk pergi ke tenggara untuk menemui seorang pesakti yang bernama Kyai Buyut Banyu Biru.

Tanpa berpikir panjang, Eyang Jaka Tingkir segera menuju tempat yang diperintahkan. Di sana ada seorang pertapa yang bernama Ki Jaka Leka yang masih trahketurunan dari Majapahit. Ia mempunyai anak laki-laki yang bernama Mas Manca. Mas Manca ini telah diangkat menjadi anak oleh Kyai Buyut Banyu Biru, diajari banyak ilmu kesaktian. Ia juga sering disuruh bertapa supaya memperoleh derajat. Karena Kyai Buyut tahu bahwa Mas Manca kelak akan menjadi pendamping raja. Kyai Ageng Buyut Banyu biru mempunyai dua orang saudara Kyai Majasta dan Kyai Wiragil. Ki Majasta mempunyai anak laki-laki bernama Jaka Wila. Setelah bertemu dengan Kyai Buyut Banyu Biru, Eyang Mas Karebet diangkat pula menjadi anak, dan kembali ditempa beragam ilmu kanuragan.

Setelah merasa cukup mengantungi ilmu, Eyang Jaka Tingkir diperintahkan oleh Kyai Buyut Banyu Biru untuk pergi ke Demak lagi. Mas Manca, Jaka Wila dan Kyai Wiragil diperintahkan ikut serta bersama Jaka Tingkir. Kyai Buyut Banyu Biru menasehati mereka bahwa nanti di Demak akan ada seekor banteng mengamuk dan yang dapat membinasakan hanya Jaka Tingkir. Dengan demikian ia akan diampuni oleh Sultan Demak.

Setibanya di Majasta, Jaka Tingkir, Mas Manca, Jaka Wila dan Ki Wiragil singgah selama tiga hari. Kemudian mereka melanjutkan perjalanan menyusuri sungai dengan sebuah rakit. Dalam perjalanan mereka diganggu oleh raja siluman penunggu sungai yang bernama Bau Reksa bersama prajuritnya.

Namun, karena kesaktiannya yang luar biasa, raja dan para prajurit siluman buaya dapat dikalahkan dengan mudah. Prajurit Bau Reksa yang terdiri dari ratusan buaya menjadi pengikut Jaka Tingkir.

Dari cerita itu, banyak juga sekarang warga sekitar Salamempercayai kalau berkata merupakan keturunan dari Eyang Jaka Tingkir. Maka tidak ada satupun buaya yang berani mengusik. Adapun keberadaan buaya-buaya tersebut terdapat di sepanjang Bengawan Sala.

Lanjut cerita, pada suatu malam, Kyai Ageng Butuh melihat wahyu keraton turun ke bumi. Ia pergi menyusuri bengawan dan tidak sengaja bertemu dengan Jaka Tingkir bersama saudaranya. Mereka singgah di tempat Kyai Ageng Butuh, sesudah mendapat berbagai nasehat, mereka disuruh melanjutkan perjalanan ke Prawata, tempat di mana Sultan Demak sedang berburu.

Di lain tempat, Kyai Buyut Banyu Biru sudah berada di Bukit Prawata. Ia bertemu seekor banteng kemudian memasukkan segumpal tanah yang sudah dimantrakan ke lubang telinga kiri banteng tersebut. Seketika, si banteng menjadi liar dan bringas. Banteng yang tiba-tiba lari menuruni lereng bukit tiba di Pasanggrahan Sultan Demak, banteng semakin mengamuk sehingga banyak orang yang tewas. Tidak ada satupun orang yang mampu meredam emosi sang banteng apalagi  membinasakannya. Jaka Tingkir yang telah mengetahui bahwa banteng tersebut mengamuk karena siasat Kyai Buyut Banyu Biru, beliau bersama rombongan keluar dari persembunyian dan mendekati pesanggrahan. Dalam kesempatan itu, Jaka Tingkir dan kawan-kawannya menampakkan diri. Sultan Demak mengetahui bahwa Jaka Tingkir berada di antara rakyatnya yang sedang melihat amukan banteng itu. Atas perintah raja, Jaka Tingkir diperintahkan membinasakan banteng tersebut. Bilamana ia mampu membunuh banteng itu, Jaka Tingkir akan mendapat pengampunan, dianugrahi kedudukan, dan dinikahkan dengan putri raja.

Dan benar, banteng itu tidak mudah ditaklukan sebab ajian yang diberikan dari Kyai Buyut Banyu Biru kepada banteng. Ketika dada Eyang Jaka Tingkir kena tanduk, ia sempat tidak sadarkan diri. Setelah siuman, ia teringat pesan Kyai Buyut bahwa, kepala banteng itu harus dipegang erat-erat dan segumpal tanah yang berada di lubang telinga kiri dikeluarkannya, kemudian barulah hantam kepala banteng itu. Dan akhirnya benar, banteng yang sedang mengamuk dapat ditumpas oleh Eyang Jaka Tingkir. Menyaksikan kemenangan Jaka Tingkir, Sultan Demak menjadi lega dan merasa gembira. Kemudian ia menganugerahi Jaka Tingkir seperti apa yang telah dijanjikannya.

Setelah upacara pemberian hadiah selesai, raja beserta pengiringnya pulang ke Demak. Putri bungsunya diserahkan kepada Jaka Tingkir. Selain itu, Jaka Tingkir dinobatkan menjadi raja yang berkedudukan di Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya atau dikenal dengan Sultan Pajang.

Begitulah kurang lebih mengenai Eyang Mas Karebet atau Eyang Mas Raden Pancadarma atau Eyang Jaka Tingkir dan hubungannya dengan Kyai Ageng Getas Pendawa. Sekiranya apakah ada yang mengganjal lagi di hati panjenengan?” tanya mas Budiman Jatmiko ketika menyudahi ceritanya yang begitu membuat saya, Brahma, dan Putri Ayu terpesona dan terdiam.

Lalu saya berkata, “Sampun,Mas. Wah, cerita tentang Eyang Jaka Tingkir seru juga ya. Patut dijaga dan diceritakan lagi yo Mas ke yang lain.”

Jawab mas Jatmiko, “Yo harus tho. Karena ini leluhur kita. Kalau dilihat sekarang, zaman sudah semakin kacau. Jangankan untuk mengenang leluhur. Mencintai terhadap sesama saja ndak urus. Yang kaya semakin kaya. Yang miskin banyak yang mati kelaparan. Seperti yang sudah diramalkan oleh Eyang Jayabaya.”

“Ramalannya seperti opo,Mas?” tanya Brahma.

Akeh wong nyekel kaliren ing sisihe pangan.” Ucap Mas Budiman Jatmiko.

“Itu artinya apa,Mas?” tanya saya sambil sedikit melemparkan senyuman untuk mas Jatmiko.

Beliau pun membalas senyuman saya dengan senyuman khasnya seraya menjawab, “Banyak orang mati kelaparan di samping makanan.”

Kami bertiga mengangguk, dan masih dengan rasa terpukau akan kisah yang didaraskan oleh mas Budiman Jatmiko.

“Waduh, ndak terasa ya sudah malam sekali. Jam sepuluh lewat. Besok kamu sekolah tho,Mbak?” tanya mas Raga ke putri tercintanya.

“Oh iya, besok Embak masih sekolah ya?” timpal Brahma.

“Enggih.” Jawab Putri sambil tertawa kecil.

“Yo wis. Insya Allah lain waktu kalian bisa datang lagi ke sini, sekalian silaturahim tentunya. Masih banyak waktu, dan untuk sekarang mungkin cukup ya?” ucap mas Budiman Jatmiko yang kemudian diiringi senyum ramah embah Karan Mangun Kusumo dan mas Agung Jayasloka.

Ya, setelah mendengarkan semua dan tenggelam disetiap kata yang sudah dikeluarkan oleh mas Budiman Jatmiko. Akhirnya kami berpamitan, mohon undur diri. Lagi-lagi dan lagi, doa serta senyuman embah Karan, mas Jatmiko, dan mas Jayasloka mengantarkan langkah kami pulang. Begitu damai dan nyaman ketika berada di Cagar Budaya Patilasan Karaton Kasultanan Pajang, seakan berada di rumah sendiri. Awal tiba yang diselimuti rasa takut, berubah total karena kenyamanan yang kami dapatkan dari mereka.

Semoga harapan mas Budiman Jatmiko, embah Karan Mangun Kusumo, mas Agung Jayasloka beserta keluarga besar patilasan berupa terjaganya sejarah, budaya maupun cagar budaya peninggalan leluhur terkabulkan.

Anak-anak burung riang terlepas
Berkicau bersama kawanan berterbangan
Merasakan nikmatnya aroma tanah selepas hujan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun