Mohon tunggu...
Bin Muhibbuddin
Bin Muhibbuddin Mohon Tunggu... -

Agen Property/Asuransi Sequis alamat tinggal jl. kenyah no 9 RT 15 sempaja selatan Samarinda

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pilihan si Bungsu

20 Mei 2012   04:07 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:04 195
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bandara Sepinggan Balikpapan 2003.

“Diberitahukan kepada seluruh penumpang pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT 523 tujuan Yogyakarta dipersilahkan memasuki ruang tunggu!’’

“Ibu, sebentar lagi pesawatnya tiba, sekarang sudah boleh masuk ke ruang tunggu.”

“Kuncoro! pertimbangkanlah Le, kamu lebih bagus pulang ke Jogja!”

“Nyuwun ngapuro Ibu, Telen sudah hidup saya, hati saya sudah disana.” Tanpa menunggu jawaban dari Ibunya yang sudah menangis, Kuncoro lalu menenteng tas Ibunya. Ia berjalan menuju pintu masuk keberangkatan, Ibunyapun mengikuti sambil menyapu air mata sendiri dengan sapu tangan.

Sampai depan pintu, security tidak mengizinkan Kuncoro masuk ke dalam, hanya penumpang bertiket saja yang boleh masuk. Tas yang ditenteng tadi lalu diserahkan ke Ibunya. Kemudiandipeluknya Ibunya, diciumnya tangan Ibunya yang mulai menampakan garis-garis keriput.

“Ibu, tolong sampaikan salamku untuk kakak-kakakku juga semua keponakanku?’’

“Le, sing ati-ati, jaga dua cucu Ibu!”

Ibunya masih menangis sambil berjalan perlahan memasuki ruang keberangkatan, kebaya dan sarung batiknya tidak memberinya kesempatan untuk melangkah cepat.

Suara kereta dorong yang diseret, orang-orang yang lalu lalang, deru pesawat semua kebisingan itu jadi satu irama di benak Kuncoro. Sudah delapan belas tahun Ia merantau ke kaltim dan dalam sepuluh tahun terakhir ini ia belum ada pulang ke Jogja.

Ia sudah menduga sebulumnya bakal seperti ini jika Ibunya mengunjunginya ke bumi Borneo.Tidak seperti tiga minggu lalu ketika Ibunya tiba di Balikpapan. Keluar dari pintu kedatangan tampak Ibunya berkebaya hijau bawahan sarung batik cokelat motif kembang.Wajahnya yang teduh, senyum yang dalam dan rambut yang hampir putih semua menegaskan kerinduan akan anak bungsu kesayangan, kuncoro.Sepuluh tahun sudah tidak dilihat wajah anak bungsunya yang lama tidak pulang.

Senyum kebahagian di wajah Ibunya tidak berlangsung lama. wajah Ibunya menjadi kecut ketika mereka melakukan perjalanan darat menuju Muara Wahaumenumpang bis butut ,sesak dan pengab penuh orang beserta barang-barangnya. Waktu itu musim penghujan jalan samarinda-Muara Wahau rusak parah, licin banyak titik amblas. Bila bis amblas atau melawati tanjakan licin dan becek semua penumpang harus turun.Para penumpang pria ikut bantu mendorong bis, sedang para wanitanya berjalan kaki duluan ke depan melewati tanjakan licin dan kubangan lumpur, setelah bisnya lolos baru mereka semua naik lagi.Sungguh merana Ibunya Kuncoro, dia tidak pernah melakukan perjalanan seperti ini. Rambutnya kusut, sarung batik penuh bercak lumpur, dan sandal slop yang selalu dipakainya kemana-mana dipenuhi tanah lumpur menempel membuat berat melangkah. Karena payah berjalan, dilepasnya sendalnya, terpaksa telanjang kaki berjalan, itupun masih licin kaki menapaki jalan.

Setelah tigabelas jam perjalanan dari Samarinda, selepas magrib sampailah mereka di Muara Wahau.Mereka masih harus menyeberang sungai dengan membayar perahu dan kemudian menyewa ojek menuju desa Hulu Telen melalui jalan kecil berbatu dan gelap. Sepanjang jalan kanan kiri hanya pohon-pohon besar yang karena malam nampak menyeramkan.Barulah setelah Isya mereka sampai desa Hulu Telen.Desa yang gelap di tepi sungai, hanya cahaya lampu minyak saja tampak redap-redup dari celah dinding kayu rumah-rumah penduduk seperti kumpulan kunang-kunang.

Dua hari Ibunya Kuncoro hanya terbaring di ranjang, masuk angin kelelahan akibat perjalanan berat, apalagi ia sudah tua. Setelah dikerok dengan balsem gosok oleh istri Kuncoro, kondisi Ibunya berangsur-angsur membaik.

Suatu pagi ketika Kuncoro hendak pergi keluar, Ibunya sedang duduk-duduk diatas kursi rotan tanpa cat dan plitur yang ada dua buah di teras depan rumah.Wajah Ibunya murung seperti kumpulan awan kelabu.Sebelum Kuncoro menyapa Ibunya, Ibunya sudah lebih dulu berbicara.

“o ala Le, sengsara tenan mendatangi rumahmu ini,…. Ibu …Ibu tidak pernah bayangkan sebelumnya, …pantas saja kamu lama tidak pulang.”Sambil terisak Ibunya, terputus-putus ucapannya. “Belum lagi desamu ini Le seperti dusun di pinggir rimba, ..rumah jauh-jauh, …manusia jarang sing lewat, kamu kok ya beetah tinggal disini.”

Kuncoro hanya senyum saja mendengar ucapan Ibunya yang sambil menangis, dibiarkan saja Ibunya berkomentar, maklum dia akan pandangan Ibunya.

“Bu, monggo sarapan dulu.”

“Nanti dulu Le, Ibu belum lapar, Ibu mau ngomong dulu!”

Masih basah dan merah mata Ibunya, tampak nyata kerisauan di wajah yang kelihatan semakin menua.Setelah menenangkan hatinya sendiri, Ibunya melanjutkan bicara.

“Coba kamu lihat dua anakmu itu, sebenarnya mereka cerdas-cerdas, gagah dan cantik, andaikatamereka dibesarkan di Yogja.”

“Apa maksud Ibu?”

“Le, kamu kan pernah diikutkan pelatihan teknologi pertanian di Jepang sama perusahanmu yang sudah tutup itu. Ibu minta kamu dan keluargamu pulang saja ke Yogja. Pasti kamu akan mudah dapat pekerjaan di sana, perkebunan juga banyak di sekitar Yogja yang pasti mau menampung kamu.”

“Saya ngerti kenapa Ibu menyuruh saya pulang, tapi kehidupan saya disini tidak miris seperti yang Ibu kira.”

“Apanya tidak miris! Le, hidupmu sangat timpang dibanding kakak-kakakmu, mereka punya pekerjaan dan kedudukan yang bagus di Yogja, walaupun tidak bisa dibilang kaya raya tapi mereka masih terpandanglah untuk masyarakat kita.”

Kuncoro hanya diam berusaha menahan diri untuk tidak mendebat Ibunya, dia maklum Ibunya kaget karena baru pertama mengunjunginya ke Kalimantan.

“trus yang penting Le, Ibu mau anak-anakmu juga dapat sekolah di tempat yang layak seperti sepupu-sepupunya di Yogja.”

“Bu, nanti juga anak-anak saya kalu sudah waktunya SMA atau kuliah insyaAllah saya sekolahkan disana.”

“Trus kamu tetap disini, Le…kamu itu anak bungsu pewaris rumahnya Ibu,.. Ibu mau kamu pulang, kamu sudah hampir 20 tahun di Kalimantan.” Nada suara Ibunya mulai meninggi, tetapi Kuncoro masih menahan diri, hanya wajahnya tampak mulai memerah.

“Maaf Ibu, saya belum bisa pulang, tugas saya masih banyak disini.” Kuncoro masih berusaha berbicara datar.

“Ibu tidak ngerti, apa sih yang menahan kamu disini, orang-orang di sini bukan siapa-siapa kamu, mereka juga belum tentu peduli sama kamu.”

“Banyak yang menahan saya disini Bu, saya ingin membuka pikiran masyarakat disini, memajukan pertanian desa supaya mereka bisa mandiri pangan.”

“Kamu kan sekarang tidak digaji Le, toh ada PPL pemerintah.”

“Mereka jarang kemari, dalam tiga bulan belum tentu.”

“Pemerintah saja wegah datang kesini, eh kamu mau sok mengabdi di tempat terpencil.”

Kuncoro sudah mulai panas hati, tapi yang berbicara ini Ibunya tidak mungkin Ia mengeraskan suaranya.

“Paling tidak ada yang saya buat untuk negara Bu, biarpun kecil.”

“Le kamu ndak usah idealis, kamu tahu apa soal negara, memangnya para pemimpin negara dan wakil-wakil rakyat kita peduli sama desamu ini, malah mungkin kalau Kalimantan ini diambil sama Malaysia mereka tetap tidak peduli.”

“Saya tidak butuh sama mereka Bu, yang penting diri saya sendiri berguna buat orang banyak.”

“Le, Ibu tidak mau ngomong ngalur ngidul, pokoke Ibu mau Kamu dan anak istrimu segera pulang ke Yogja!”

“Maaf Ibu ini jalan hidup saya!”

Kuncoro langsung berlalu dari hadapan Ibunya tanpa menunggu apa yang akan dikatakan Ibunya. Ia tidak mau sampai bicara keras ke Ibunya.

Dua minggu lebih Ibunya berada dirumahnya, selama itu pula setiap hari Ibunya membujuknya agar mau pulang ke Yogja, tetapi kuncoro tetap dengan pendiriannya.

Sampai tadi di depan Pintu keberangkatanbandara Sepinggan, Ibunya masih membujuknya untuk pulang ke Yogja.

“Penumpang pesawat Lion Air JT 523 tujuan Yogyakarta dipersilahkan memasuki pesawat melalui pintu A.”

Kuncoro lalu naik ke lantai menuju anjungan pengantar. Dia langsung bisa melihat Ibunya di kejauhan karena Ibunya satu-satunya yang berkebaya dan memakai sarung batik. Dari jauh tampak Ibunya masih mengusap matanya dengan saputangan sambil berjalan pelan menuju pesawat.

Deru pesawat yang take off memekakkan telinga semakin lama semakin jauh suaranya bersama semakin jauhnya pesawat menjadi seperti titik kemudian hilang di angkasa.

“Semoga Ibu mengerti dengan pilihanku.”

Bin Muhibbuddin

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun