Mohon tunggu...
Bin Muhibbuddin
Bin Muhibbuddin Mohon Tunggu... -

Agen Property/Asuransi Sequis alamat tinggal jl. kenyah no 9 RT 15 sempaja selatan Samarinda

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senja di Muara Wahau

30 April 2012   01:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:57 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Entah kenapa percakapan Yusron dengan Mbah Surip sekarang tiba-tiba membahas tentang karya sastra mulai dari novellayar terkembang sampai tenggelamnya kapal van der wicjk, juga tak ketinggalan tokoh-tokoh pujangga angkatan 66.Yusron seolah tak mau kalah dengan Mbah Surip, juga bercerita tentang tokoh Sastra yang dikaguminya seperti Pramaoedya Ananta Toer, Gunawan Muhammad, Taufik Ismail, D Dzawawi Imron, Ahmad Tohari, Umar Kayam, sampaiKhalil Gibran dan Rabindranath Tagore. Tiba tiba Yusron menyemprotkanair teh panas dari mulutnya yang baru saja diteguktnya setelah mendengar penuturan Mbah Surip bahwa hampir semua karya tokoh yang diceritakan Yusron pernah dilahapnya hanya karya Khalil Gibran dan Rabindranath Tagore saja yang belum sempat. Ya, di desa wahaubaru desa transmigrasi di pedalaman kutai timur tanpa penerangan listrik dengan jalan desa masih jalan tanah dan hampir semua rumah di desa itu masih bentuk asli rumah transmigrasi dari awal buka.Di desa ini tanpa disangka yusron, ia bertemu dengan orang tua seperti Mbah Surip, orang tua yang berpengetahuan dan berwawasan luas.

Mbah Surip orang tua berbadan kurus tinggi, ramah dan baik hati. kulitnya hitam tebakar matahari karena pekerjaannya bertani di tanah yang tandus keras dan sulit ditemukan air. Tapi senyumnya mengesankan kebaikan hati dari tatapan mata sayu dan guratan-guratan kepasrahan akan nasib di wajah yang mulai keriput. Ia datang ke Kalimantan mengikuti program transmigrasi tanpa membawa anak istri di saat usianya sudah senja. Perjuangan keras dan melelahkan untuk memulai hidup baru di perkampungan yang baru dibuka yang jauh dari fasilitas.Apalagi ia harus bertahan hidup sendiri dengan tubuhnya yang sudah tua.Untunglah anak-anak dari tetangga Mbah Surip mau membantu ketika musim tanam maupun musim panen, baik itu musim tanam padi atau tanaman pangan lainnya.Tentunya setelah anak-anak itu selesai membantu orang tua masing-masing.Karena tidak mampu memberi upah, Mbah Surip selalu menyisihkan hasil panennya untuk dibagikan kepada anak-anak yang membantunya.Tapi anak-anak itu selalu menolak, karena tidak tega menerima pemberian Mbah Surip yang pasti lebih sangat membutuhkan.Mereka hanya mau mengambil hasil kebun untuk mereka makan bersama saat menggarap lahan Mbah Surip.

Kemarin pagi ketika setelah Yusron memberikan penyuluhan sistem tani berkelanjutan di kelompok tani Harapan.Ia mendapat informasi dari ketua kelompok kalauMbah Surip anggota mereka itu, sekarang ini tinggal dengan seorang nenek yang lumpuh karena stroke yang diderita dari enam bulan yang lalu. Nenek ini bernama Mbah Suminah, dulunya ia merupakan tokoh yang aktif dalam kegiatan kemasyarakatan di desa maupun di kecamatan dan tahun lalu beliau mencalonkan diri untuk jabatan kepala desa. Karena hidup yang sendiri ditinggal kedua anaknya dan ingin punya teman berbagi dan bercerita, maka menikahlah ia dengan Mbah Surip yang juga hidup sendiri semenjak tiba di tanah Wahau. Mereka menikah setahun yang lalu bertepatan dengan kampanye Mbah Suminah yang kemudian si nenek terserang stroke yang akhirnya mengharuskannya mundur dari pencalonan kepala desa Wahau Baru.

“Sungguh Mbah saya penasaran! kagum! Mbah Surip punya wawasansastra. Maaf Mbah, bukan saya lancang tapi saya ingin tahu, siapa sih Mbah ini?”

“Mas yusron Mbah ini bukan siapa- siapa, Mbah kebetulan dulu pernah belajar sedikit, Mbah dulu sempat jadi guru bahasa indonesia, honorer di Purworejo.”

“Ngajar di..SMA Mbah?”

“Ia SMA.”

“Trus Mbah gimana sejarahnya sampai Mbah ikut program transmigrasi kesini?”

“Mbah diajak sama Sumidi, itu ketua kelompok tani kita, bilangnya nanti di kalimantan tiap KK dapat lahankelapa hibrida dua ha, trus rumah dan pekarangan setengah ha. Di Purworejo Mbah kan tidak punya lahan sendiri, Mbah hanya petani penggarap. Jadi Mbah mau ikut ke Kalimantan.”

“Trus yang ngajar di SMA itu, Mbah?”

“Mbah tetap jadi guru honorer sampai pensiun. Waktu itu pernah oleh pegawai kabupaten Mbah ditawari akan diangkat jadi pegawai negeri tapi disuruh sedia dana limapuluh juta, mana Mbah sanggup.”

“Mbah maaf nih Mbah, Mbah ke Kalimantan sendirian tidak sama anak istri?”

Mbah surip diam pandang matanya jauh keluar melewati pintu, tiba tiba hembusan angin masuk ke dalam rumah dan sedikit mengibarkan tirai jendela yang lusuh.

“Mbah, maaf kalau saya banyak bertanya?”

“Oh ndak Mas, Mbah memang sendirian kesini. Waktu masih di jawa istri Mbah pergi diam-diam, anak Mbah satu-satunya laki-laki yang baru berumur lima tahun dibawa juga.” Tampak mata Mbah surip berkaca-kaca seperti air telaga sunyi yang membiaskan sinar matahari yang datang dari jendela.

“O iya Mas Yusron, Mas Yusron senang menulis puisi? Mbah ada loh menulis beberapa puisi cuma ketinggalan di pondok Mbah yang lama cuma sayang pondok itu sekarang roboh.” Mbah Surip mengalihkan perbincangan.

“Sayang ya Mbah padahal saya ingin baca puisi Mbah, saya ingin tahu, biarpun saya senang juga menulis tapi lingkungan saya di Samarinda jauh dari orang-orang yang biasa menulis apalagi perkumpulan sastra dan mungkin di Samarinda memang tidak ada.”

“Uh..uh…uh…uh…uh.”tiba tiba terdengar sura dari balik tirai pintu kamar satu-satunya di rumah Mbah Surip.

“Sebentar ya Mas Yusron, jangan pulang dulu.” Cegah Mbah Surip, lalu ia berjalan tenang mendatangi panggilan istrinya Mbah Suminah, tidak lama kemudian ia keluar lagi.

“Biasa Mas, Mbah Minah minta diambilkan air minum.” Jelas terpancar kesedihan dari kening Mbah Surip yang lelah, namun sudah tidak dirasakannya lagi.

“Mas Yusron pasti sudah dengar dari orang orang keadaan istrinya Mbah?”

“I..iya mbah, Mbah sendiri saja merawat Mbah Suminah?”

“Iya, habis siapa lagi.”

“Bilang orang-orang, Mbah Suminah punya dua orang anak perempuan, Mbah Surip tidak menghubungi mereka?”

“Entah kemana mereka pergi, tak pernah beri kabar berita apalagi alamat, sudah lima tahun, Mbah Minah sendiri tidak pernah tahu dimana kedua anak perempunnya itu,tahunya mereka ke Jakarta, itu saja.”

“O iya Mas Yusron, ngomong-ngomong beras CARE kapan datang ya?”

“makanya itu mbah, besok saya balik ke Samarinda, semua kelompok tani sudah mengumpulkan laporannya, insya Allah awal bulan depan beras kita datang.”

“Untung ada Mas Yusron dari CARE, Mbah ndak pusing cari beras lagi, coba saaja proyek care disini terus-terusan sepanjang tahun.”

Yusron diam, tak bisa ia mematahkan harapan Mbah Surip, tak bisa ia menjamin harapan Mbah Surip yang sudah sangat tergantung bantuan dari CARE tempatnya bekerja.Sore itu dengan motor winnya ia kembali ke rumah posko sekali-kali memandang langit Wahau yang dipenuhi awan-awan tipis kelabu yang ujungnya menguning tanda surya akan terbenam.

Pagi-pagi tampak Yusron keluar dari rumah poskonya dengan kaos oblong krem, celana pendek hijau daun, mengendong tas ransel. Wajahnya sumringah sebentar lagi ia kembali ke tengah keramaian samarinda, sebentar lagi ia ketemu Yani pacarnya yang montok wajahnya yang bulat, bibirnya yang sensual, kulitnya yang kuning, dan satu lagi bulu-bula halus hitam di lengannya. Andai tak malu dilihat orang pasti ia sudah berjingkrak-jingkrak. Lupa ia betapa sengsaranya perjalanan darat wahau samarinda.

Dengan menyewa ojek Yusron berangkat ke terminal bis satu-satunya di wahau milik seorang Haji juragan truk CPO.Setelah membayar karcis bis sambil menunggu bis berangkat, Yusron duduk nyantai di warung kecil memesan kopi dan menghisap sebatang class mild kesukaannya. Baru tiga kali ia menyeruput kopi panasnya, ia dikagetkan sapaan orang tua dari belakang.

“Mas Yusron, maaf Mas.”

Yusron kenal suara itu, suara Mbah Surip Ia pun menoleh. “Mbah Surip mau ke Samarinda juga.”

“Ndak Mas, Mbah cuma mau titip surat, ada tiga, tolong ya mas titip!”

Mbah Surip lalu mengeluarkan tiga pucuk surat dari kresek yang ditentengnya, dan memberikannya ke Yusron. Tiga surat itu diterima dan dibaca nama tujuannya oleh Yusron.

“siapa nih mbah, Harjono, Darmi, Suti?”

“Harjono itu anak Mbah, Darmi, Suti, itu anak Mbah Suminah.”

“Maaf Mbah, bukannya tidak ada yang tahu alamat mereka dimana termasuk anak laki-laki Mbah.”

“Tolong Mas Yusron, Mas Yusron ke Samarinda kan? Tolong kirimkan Mas…kirimkan…tolong?”

Merahdan basah mata Mbah Surip, digenggamnya lengan Yusron, gengaman dari tangan tua yang kurus keriput, tangan yang lelah, yang bingung dan yang memohon.

Yusron tidak bisa berkata apa apa hanya berucap “iya mbah saya akan kirim.”

“Matur nuwun Mas Yusron, jenengan memang orang baik.” Mbah Surip lalu pergi dari situ mendorong sepeda ontelnya meninggalkan Yusron.

Yusron diam berdiri dengan muka masam, lupa ia akan kopi panasnya, tak dipedulikannya orang-orang yang menunggu bis berangkat. Setelah dibayarnya kopi dan sebungkus class mild ia lalu naik bis. Tidak seperti tadi waktu berangkat dari rumah posko. Sekarang wajahnya tersungut-sungut mengeluhkan jalan lintas wahau samarinda yang penuh kesengsaran yang sebentar lagi dilewatinya.Semua penumpang laki-laki dewasa harus ikut turun mendorong bis bila ambles.Sungguh jalan lintas yang lebih pantas dilalui kerbau karena banyaknya kubangan. Tidak seperti ketika ia pulang ke kampung Ibu Bapaknya di Jawa, jalan lintas mulus sampai ke desa-desa, tidak sakit pantat bila traveling dengan kendaraan umum, bisnya bagus-bagus berAC.Padahal Kalimantan Timur propinsi yang kaya jauh lebih kaya dari semua propinsi di Jawa. Kenapa timpang begini, kenapa tidak adil begini dunia…

BIN MUHIBBUDDIN

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun