Mohon tunggu...
Bima Marzuki
Bima Marzuki Mohon Tunggu... Journalist -

Public Relations Specialist - Ex TV Journalist (Kompas, RCTI, Berita 1, TV7)

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Kebijakan Ekonomi 2010: Peras Duit Rakyat

8 Desember 2010   18:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:54 783
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1291845824866264201

[caption id="attachment_79208" align="alignright" width="300" caption="Ilusytasi/Admin (Shutterstock)"][/caption] (Penulis adalah jurnalis yang sehari-hari meliput di bidang ekonomi) Banyak hal menyedihkan terjadi sepanjang tahun 2010. Serangkaian bencana alam mulai dari gempa Padang, banjir Wasior, gempa Mentawai, sampai letusan gunung Merapi di Yogyakarta. Sebagai jurnalis, sedih rasanya setiap hari membaca berita di surat kabar terkait bencana alam. Angka korban tewas terus bertambah di layar televisi, dan suara tangisan terdengar mengikis daun telinga . Tak hanya bencana alam, bencana lain juga bermunculan di negeri ini. Ada bencana moral, bencana sosial, dan bencana kebijakan. Istilah 'bencana kebijakan' ini muncul begitu saja dalam benak saya, setelah membaca serangkaian kebijakan ekonomi yang setiap hari semakin nggak masuk di akal orang awam. Diawali dengan kenaikan tarif dasar listrik, yang pada konsep awalnya hanya sekitar 10 persen, tapi setelah disimulasikan mencapai 40 persen lebih tinggi untuk sejumlah industri dan pelanggan rumah tangga. Setelah TDL dikerek naik, pemerintah memotong subsidi listrik pada APBN 2011, sebesar 14 trilliun rupiah. Kebijakan ini secara logika akan membuat TDL pada 2011 naik, seperti yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Agus Martowardoyo sesaat setelah membacakan nota keuangan. Meskipun Hatta Rajasa kemudian meralat, dan menjamin tidak akan ada kenaikan TDL pada 2011. Sepertinya hanya taktik untuk meredam suara kritikus yang bisa sewaktu-waktu menendang popularitas pemerintah. TDL naik, subsidi dipangkas ternyata belum cukup. Pemerintah kembali lagi dengan senjata baru. Melarang seluruh mobil plat hitam membeli premium mulai Januari 2011, setelah sempat malu-malu kucing melempar wacana pembatasan BBM subsidi untuk tahun 2005 keatas. Alasannya, subsidi BBM selama ini salah sasaran. Kebijakan pembatasan BBM bersubsidi ini sudah berulang kali 'naik turun ring.' Sebelumnya reaksi keras dari berbagai kalangan mengecam kebijakan ini. Kini ketika semua mata dan telinga disibukkan dengan bencana alam dan plesir Gayus Tambunan, sehingga menjadi saat yang tepat untuk ketok palu. Pemerintah berasumsi masyarakat yang punya mobil, tidak perlu disubsidi, karena angka penjualan mobil dianggap pertanda meningkatnya kesejahteraan seseorang. Berarti masyarakat yang punya mobil, sudah sejahtera. Tapi pemerintah tidak pernah melihat bahwa rakyat kecil pun menggunakan mobil plat hitam untuk mencari nafkah. Sopir antar jemput sekolah, ibu rumah tangga yang buka usaha kantin makanan, pedagang buah di pasar yang mengandalkan mobil bak terbuka plat hitam untuk mendistribusikan dagangannya. Pemerintah juga tak pernah melihat kenyataan, di kota besar seperti Jakarta masyarakat membeli mobil bukan karena mereka sudah sejahtera. Tapi karena tak ada pilihan transportasi umum yang menjangkau rumah mereka. Mayoritas pekerja menengah ke bawah di Jakarta tinggal di kota satelit seperti cibubur, depok, bogor, tangerang dan bekasi. Untuk menjangkau daerah ini harus melalui jalan tol, yang hanya bisa dilalui mobil. Jadilah membeli mobil itu sebuah keterpaksaan, meski hanya mampu membeli mobil tahun 80-90 an. Keterpaksaan membeli mobil ini lalu dinilai pemerintah sebagai tingginya daya beli yang tentunya tidak perlu lagi mendapat subsidi. Episode berikut dari bencana kebijakan adalah rencana pemerintah provinsi DKI Jakarta memungut pajak warung tegal ber-omzet 60 juta rupiah pertahun. Alih-alih menjelaskan urgensi dari kebijakan ini, pemerintah malah menggembar-gemborkan potensi pendapatan asli daerah yang bisa diraih, jika warteg dipajaki. Memang ada sejumlah pengusaha warteg yang ber-omzet belasan juta rupiah perbulan, hingga mereka bisa beli rumah dan naik haji dengan jadi pengusaha warteg. Tapi seharusnya bukan hanya seberapa kaya calon objek pajak yang dilihat, tapi efek domino yang muncul jika warteg dikenakan pajak. Warteg kini mungkin satu-satunya harapan bagi tukang becak, kuli bangunan, mahasiswa, atau pekerja kantoran menengah kebawah seperti saya untuk mengisi perut dengan harga terjangkau. Lagipula jika mau diteliti, lebih banyak warteg yang berpenghasilan pas-pasan ketimbang warteg yang sudah kaya raya. Sayangnya saya yakin pemerintah provinsi tidak mau meneliti rakyatnya. Ditengah munculnya mall yang diikuti restoran kelas 50 ribu rupiah ke atas sekali makan, warteg seakan jadi penolong kantong yang tersisa apalagi dikota besar seperti Jakarta. Inilah realita yang tidak terlihat oleh pemerintah. Memajaki warteg, berarti semakin menguras kantong rakyat kecil. Apalah artinya pendapatan asli daerah yang meningkat, jika beban hidup masyarakat justru bertambah. Episode terakhir (semoga) yang menjadi kebijakan pamungkas akhir tahun adalah peraturan menteri keuangan no. 188/ PMK.04/2010 tentang impor barang yang dibawa oleh penumpang, awak sarana pengangkut, pelintas batas, dan barang kiriman. Inti dari aturan ini adalah setiap orang yang masuk ke dalam wilayah Indonesia dan membawa barang pribadi senilai lebih dari U$D 250, atau sekitar 2,3 juta rupiah harus membayar bea masuk. Definisi dari barang pribadi dalam pasal 1 adalah; "... semua barang yang dibawa oleh penumpang, tetapi tidak termasuk barang dagangan." Pasal 3 juga menjelaskan bahwa barang pribadi yang dimaksud adalah yang tiba bersama penumpang, secara bersamaan, 30 hari sebelum atau 60 hari setelah penumpang tiba. Sesuai aturan ini, jika saya membawa pulang oleh-oleh dari luar negeri senilai lebih dari 2,350 juta rupiah, saya kan kena bea masuk yang jumlahnya ditentukan oleh petugas bea cukai. Sekarang mari berhitung. Jika anak atau saudara kita sekolah diluar negeri, pergi hanya membawa satu koper dan 15 stel pakaian, sementara di luar negeri ia membeli 10 stel pakaian dan membeli koper baru untuk membawa pulang barang-barangnya apakah ia harus membayar bea masuk ? Untuk menjawab pertanyaan tadi, tentu petugas bea cukai harus tahu berapa nilai 10 stel pakaian dan koper tambahannya. Lalu bagaimana caranya menaksir harga ? Apakah petugas bea cukai punya daftar harga pakaian dan koper diluar negeri ? Tentu tidak. Ketidak jelasan cara menaksir harga barang pribadi ini yang akhirnya akan menjadi lahan baru untuk 'cin cay di tempat.' Pada pasal 14 juga disebutkan; ".... terhadap kelebihan barang kena cukai tersebut langsung dimusnahkan oleh Pejabat Bea dan Cukai dengan atau tanpa disaksikan penumpang .... " Lagi-lagi celah untuk korupsi. Siapa yang bisa jamin kelebihan barang akan langsung dimusnahkan oleh petugas bea cukai, dan tidak ditilep petugas bersangkutan? Sesama petugas bea cukai lainnya? Inti dari aturan ini (menurut opini penulis), jika anda keluar negeri dan ingin beli oleh-oleh diatas U$D 250, negara juga harus dikasih oleh-oleh berupa uang tunai, jika tidak barang anda (semestinya) dimusnahkan seketika. Pada akhirnya, setiap kebijakan pemerintah mulai dari menaikkan tarif listrik, memotong subsidi listrik, memungut pajak warteg, sampai melarang mobil plat hitam membeli BBM bersubsidi, mengingatkan saya akan istilah "upeti" Seakan sedang kejar target, semua kebijakan ekonomi Indonesia di tahun 2010 bermuara ke satu tujuan; memeras duit rakyat.

Bima Marzuki

Jurnalis

Monsieur_bima@yahoo.co.id

Bima.marzuki@rcti.tv

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun