Sore ini Agus marto, begitu secara ringkas saya memanggilnya, duduk bersila diantara 6 menteri bidang ekonomi lainnya. Dua dari enam menteri lelaki yang tidak mengenakan peci.
Nampaknya dia bukan orang yang terlalu religius, atau pura-pura religius dengan memakai peci sehinga dianggap menteri yang taat beriman dan menjunjung sila ke 1 pancasila.
Meski tidak berpeci, diantara menteri yang duduk sebaris dengannya, Agus Marto, sejauh ini adalah menteri yang bekerja tanpa muatan politis di pundaknya. Tanpa ada tanda-tanda ingin menutupi informasi, ia selalu menghampiri wartawan, mendengar wartawan, dan menjawab sebisanya.
Kalau ia nggak tahu, ya akan ia jawab nggak tahu. Itu secuil deskripsi saya tentang watak seorang Agus Martowardoyo.
Kejujuran dan ketulusannya sebagai pejabat publik sejauh ini cukup teruji.
Saya ingat pernah bertanya tentang rencana pemerintah memotong subsidi listrik, yang berakibat naiknya tarif dasar listrik pada 2011 mendatang. Tanpa beban dan lugas, ia membeberkan bahwa rencana menaikkan TDL 2011, sudah dikonsep dalam road map energy pada tahun 2009, yang dikomandoi langsung oleh Hatta Rajasa (selaku Menko Kesra). Namun ketika saya tanyakan hal yang sama, Hatta memutar jawabannya, dan menghindar dari pertanyaan saya selanjutnya yang (ia sudah duga) akan mengarah ke "apakah bapak yang mengkonsep kenaikan TDL pada 2011 mendatang ?".
Itulah sosok Hatta, ketika terdesak akan memotong pertanyaan wartawan, mengalihkan pada isu lainnya. Berbeda dengan Agus Marto, yang meladeni pertanyaan wartawan, bahkan sempat-sempatnya menanyakan kabar salah satu dari kami (wartawan) yang baru saja menikah. Seakan ia tidak menganggap wartawan sekedar pemburu berita, melainkan teman kerja yang perlu disapa.
Karakter Agus Marto yang tidak ada pada pejabat publik lainnya, juga baru mulai terlihat pada acara buka bersama wartawan minggu lalu. Begitu memasuki ruangan, yang sebenarnya di atur agar suasana berbuka menjadi formal, dengan jarak antara meja wartawan dan meja pejabat yang terpisah cukup jauh, Agus Marto menyempatkan menghampiri satu per satu wartawan, menyalami dan berterima kasih atas kedatangan kami dalam acara buke bersama.
Yaaa, menghampiri satu per satu dengan senyum dan aura rendah diri, seakan ia hafal setiap orang dari kami.
Cara ia membuat saya kagum, tidak sampai disitu. Sepanjang acara, ia meninggalkan para pejabat eselon bawahannya, lalu duduk bergabung di meja wartawan. Ia bercerita, tertawa, sesekali menggebrak meja, seakan sedang ngobrol dengan teman kuliah atau sma.
TIdak ia manfaatkan momen buka bersama untuk menjadi narasumber. Namun malah berkilas balik bagaimana ia PDKT dengan istrinya semasa belum dapat kerja.