Mohon tunggu...
bimvanka ridho abdhilla
bimvanka ridho abdhilla Mohon Tunggu... Sejarawan - Mahasiswa

apa saja yang penting hidup

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Yang Hilang dari Mereka: Refleksi Kemanusiaan Masyarakat Adat Papua

11 Juli 2024   14:59 Diperbarui: 11 Juli 2024   15:01 80
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Papua merupakan salah satu Provinsi di ujung timur wilayah Indonesia, memiliki luas sekitar 81.049,30 km2 dan sumber daya alam sangat melimpah.Kedekatan masyarakat adat di Papua dengan alamnya merupakan hal fundamental sebagai sumber kehidupan dan penghidupan untuk mereka.

Bagi masyarakat adat Papua alam merupakan bagian dari keluarga tak heran relasi antara keduanya begitu kuat hingga memunculkan kontukrsi berpikir bagai mana seharunya manusia memiliki rasa hormat kepada alam.Bahkan kuatnya relasi masyarakat adat papua dengan alam memunculkan pengetahuan tradisional seperti halnya mereka mampu untuk memprediksi cuaca sebelum maraknya teknologi seperti saat ini.

Dewasa ini ditengah lajunya modrenisasi dan industrialisasi masyarakat-masyarakat adat Papua menjadi teralienasi dari kehidupanya, lingkungan bahkan dirinya sendiri, mengingat bahwa sumber daya alam yang sangat besar menjadi sasaran empuk kaum kapitalis sebagai objek komoditas yang mampu menunjang perputaran pasar.Dari hal tersebut tanah surga Papua berubah menjadi ladang konflik dan berimbas kepada masyarakat-masyarakat disana.

Pada tahun 2017 pemerintah memberikan izin terhadap industri perkebunan kelapa sawit yang memakan total luas 53.806 hektare di sepanjang tiga kabupaten seperti Mappi, Merauke dan Teluk Wondama.Banyaknya peralihan lahan dengan dalih membuka lapangan pekerjaan, justru hal tersebut secara tidak langsung merenggut kehidupan masyarakat adat disana.

 Kendati demikian sepanjang 2017 masyarakat-masyarakat di Papua melakukan perlawanan terhadap izin yang diberikan kepada pemodal tersebut, tercatat salah satu aksi yang dilakukan oleh Masyarakat adat Yimnawai Gir di Arso Kabupaten Keerom kala konflik dan protes ke PTPN II.Namun aksi-aksi protes tersebut justru berujung terhadap pembukaman dan pelangaran hak asasi manusia.

Persengkongkolan antara Negara dan Perusahaan untuk meredam hal tersebut berujung terhadap tindakan kekerasan fisik maupun verbal.Dilansir dari artikel Mongabay, bahwa adanya tindakan provokasi terhadap klompok tertentu hingga mendiskreditkan para aktivis pembela masyarakat adat dan juga aktivis lingkungan.Persoalan tersebut justru menambah banyaknya pelangaran HAM di Papua, sebanyak 345 warga yang ditangkap semena mena, 137 warga yang di tangkap dan mendapat penyiksaan, 2 orang warga meninggal dalam proses penyiksaan, 2 orang warga meninggal karena protes.

Tidak hanya itu bahkan baru-baru ini pada tanggal 27 Mei 2024 adanya aksi refleksi dan gugatan dari masyarakat adat Awyu mengelar ritual Bersama di depan Gedung Mahkamah Agung di Jakarta pusat.Mengingat gugatan tersebut dilakukan lantaran adanya pemberian izin kelayakan lingkungan hidup terhadap PT Indo Asiana Lestari (IAL) mencakup luas lahan selebar 36,094 hektare.Lahan yang digunakan oleh PT tersebut merupakan milik marga Woro yang merupakan bagian dari suku Awyu.

Gugatan tersebut merupakan cara terakhir dari masyarakat suku Awyu dalam melindungi hutan adat warisan nenek moyang mereka serta sumber kehidupan dan penghidupan bagi mereka.Perselisihan antara masyarakat Awyu dengan perusahaan kelapa sawit telah terjadi pada tahun 2013 silam.Perusahaan yang mendapatkan izin pelepasan kawasan hutan (IPKH) dari pemerintah setempat memberi janji pembangunan fasilitas terhadap masyarakat Awyu marga woro.

Dilansir dari laman Tempo, masyarakat disana merasa geram lantaran janji-janji tersebut tidak terpenuhi melainkan orang-orang perusahan terus mendatangi penduduk setempat untuk melakukan sosaliasi tentang pembukaan lahan kelapa sawit seluas 40.000 hektare dan meminta persetujuan ijin kepada penduduk setempat. Merasa dibohongi Masyarakat adat setempat menolak tanah mereka dibuka untuk perkebunan sawit lantaran dampak yang ditimbulkan sangatlah krusial.

Perluasan hutan adat sebagai lahan kelapa sawit dengan dalih memperluas lapangan pekerjaan, pembangunan infastuktur, serta fasilitas-fasilitas yang ada, justru membuat mati masyarakat adat setempat karena ekspansi perkebunan kelapa sawit tersebut mencabut penghidupan yang dihasilkan dari kuatnya relasi antara masyarakat dan lingkunganya. Dengan dalih membuat hidup membiarkan mati.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun