Mohon tunggu...
Angga Bima Suharto
Angga Bima Suharto Mohon Tunggu... Editor - Hanya seorang penulis biasa

Lets go!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Tak Muluk, Satuan Terkecil Aparatur Negara Ini Bisa Kembangkan SDA Kita Lho

8 Juni 2016   00:03 Diperbarui: 8 Juni 2016   14:37 299
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Raja Ampat, Salah satu SDA yang sukses dikelola, merupakan dampak dari SDM hasil binaan yang berkualitas. Sumber Foto : Inibangsaku.com

Mewujudkan Sumber Daya Alam (SDA) Indonesia Sentris, salah satunya dapat dilakukan dengan mengoptimalkan penggunaan Sumber Daya Manusia (SDM) yang ada pada tiap daerah. Tidak perlu muluk-muluk alias membuat suatu infrastruktur nan kece dan mutakhir, pengoptimalan ini dapat dilakukan melalui pemanfaatan satuan terkecil aparatur negara secara efektif dan efisien, bagaimana yah caranya?

Bicara tentang aparatur negara, satuan terkecilnya, seperti yang kita ketahui bersama adalah RT (Rukun Tetangga), yang berperan penting di sini tak lain adalah ketua RT itu sendiri. Loh kok ketua RT? Iya dong, kan orang yang mengayomi sebanyak-banyaknya 50 kepala keluarga ini adalah orang yang paling mengetahui kondisi maupun realitas yang ada di suatu wilayah karena langsung berhubungan erat dengan warga maupun potensi sumber daya setempat.

Ketua RT, jika dioptimalkan fungsinya, akan menjadi infrastruktur yang luar biasa. Enggak percaya? Coba jika dalam suatu RT ada minimal 30 kepala keluarga yang masing-masingnya mengandung 5 anggota keluarga, akan ada 150 orang. Bayangkan jika kepala RT ini mampu mengayomi potensi hingga minat dari tiap individu masyarakatnya, sudah jelas dan sudah pasti, Sumber Daya Alam yang tergali hanya dampak dari cerdasnya masyarakat, yang dalam hal ini, kata Guru PKN-ku dulu adalah masyarakat madani.

Lebih jelasnya, akan penulis coba jelaskan dalam dua kasus yang berbeda, menggunakan pendekatan Sumber Daya Alam yang ada di desa maupun di kota. SDA yang ada di desa misalnya, berapa hektar sawah yang masih belum dimanfaatkan? Berapa banyak tempat wisata nan indah yang belum dilestarikan dan dimonetasi untuk kemajuan desa setempat? Sudah jelas masih banyak jumlahnya, jika kita sering berkunjung ke desa, tak perlu survei untuk menjelaskannya.

Berikutnya di kota, pernahkah kalian melihat pemuda-pemudi yang mungkin hasil gagal urbanisasi merajalela di tepian jalan? Pemuda dan pemudi yang dengan bangganya menggunakan bahu jalan untuk tempat “nongkrong”nya, tak jarang trotoar pun mereka hajar jadi tempat bernaung. Lagi-lagi kita bayangkan, jika ketua RT di sini berperan optimal fungsinya. Pembinaan dari remaja tanggung tersebut bahkan bisa menaikkan potensi hingga pendapatan per kapita suatu daerah. Jika dieratkan dengan SDA di kota, mungkin bisa berdampak ke penghijuaan dan pemanfaatan sesungguhnya dari Ruang Terbuka Hijau.

Itu baru dua contoh dari sumber daya alam yang sederhana. Bagaimana jika di daerah tersebut ada danau yang belum dikelola, pantai yang masih urakan, hingga air terjun cantik yang jalurnya masih terjal dan tidak terurus? Tentunya akan menjadi potensi wisata yang sangat mahal yang berdampak terhadap pengembangan ekonomi setempat. Warga pun akan sejahtera dan makmur. Kriminalitas? Sudah tidak mungkin akan terjadi dalam keadaan seperti ini, menyenangkan bukan?

Pemanfaatan SDA yang Optimal, Hanya Dampak

Ya, seperti yang tersirat dari paragraf sebelumnya, bahwa pemanfaatan SDA yang optimal hanyalah dampak dari cerdasnya masyarakat, lahir dari masyarakat yang peduli akan lingkungannya. Sekali lagi, ketua RT-lah di sini yang berperan banyak. Namun, untuk menciptakan ketua RT “Wow” semacam ini, bukanlah tugas sehari dua hari, melainkan bisa belasan hingga puluhan bahkan ratusan tahun untuk melahirkan pejuang tangguh semacam ini.

Program jangka panjang yang mumpuni, pembagian job desk dari tiap infrastruktur yang jelas, hingga ketegasan penerapan sanksi atas hukum yang dibuat. Ketiga hal ini dibutuhkan untuk menghasilkan satuan terkecil aparatur negara yang tangguh tersebut. Jika ketiganya sudah diaplikasikan, bukan tidak mungkin optimalnya SDA setempat terwujud. Sekali lagi, pemanfaatan SDA yang optimal hanya dampak dari pembinaan SDM yang konsisten.

SDA yang sukses dikelola bisa dilihat dari salah satu tempat wisata yang ada di wilayah timur Indonesia, tepatnya di Kepulauan Raja Ampat, Papua. Kepulauan yang sudah ada sejak zaman kesultanan Tidore ini awalnya hanya penduduk lokal yang mengetahuinya daya tariknya. Peran kepala suku setempat (menggantikan peran ketua RT zaman sekarang) disinergikan dengan aparatur pemerintahan  yang ada, membuat pulau ini semakin terkenal di kalangan penduduk Indonesia. Harganya, sudah jangan ditanyakan lagi. Istilahnya, jika Anda nggak punya pohon duit di rumah, jangan sekali-kali menjadikan tempat ini sebagai destinasi wisata Anda.

Raja Ampat, Salah satu SDA yang sukses dikelola, merupakan dampak dari SDM hasil binaan yang berkualitas. Sumber Foto : Inibangsaku.com
Raja Ampat, Salah satu SDA yang sukses dikelola, merupakan dampak dari SDM hasil binaan yang berkualitas. Sumber Foto : Inibangsaku.com
Generasi Kita, Generasi Sekarang, Hanyalah Pengantar

Mengoptimalkan fungsi RT, seperti yang sudah kita bahas di atas, mungkin saat ini hanya akan menjadi wacana. Sosok pemimpin yang visioner saja tak cukup untuk mewujudkan hal yang Ketua RT yang tangguh ini. Butuh pemimpin yang berani berjuang melawan oknum-oknum yang sudah mendarah daging dalam sistem aparatur negara ini, salah satunya oknum ini terlihat dari pemanfaatan lahan milik negara menjadi keuntungan pribadi atau golongan semata.

Yaah, kita sebagai generasi yang kebanyakan dari kita telah terlahir dengan “pola buruk”, sangat kecil kemungkinannya untuk menjadi generasi tangguh bak dewa tersebut. Racun yang sudah terserap dalam pola pikir kita hasil dampak negatif globalisasi elektronik, yang kini telah melekat erat hingga mungkin butuh ribuan kali “dicuci” untuk bisa menjadi generasi tangguh tersebut. Dampak negatif tersebut bisa berupa menonton televisi secara berlebihan, penggunaan media sosial yang tidak terkendali, hingga pornografi yang tersirat maupun tersurat dari konten yang terdapat dalam media elektronik.

Kita sudah sangat sulit untuk membenahi pola pikir negatif yang sudah menadi dengan urat ini. Lantas di mana tugas kita ya? Tugas kita, hanyalah menanamkan pendidikan yang sesuai kepada anak-anak kita, baik anak sendiri maupun anak tetangga (yang ini agak guyon ya hehe). Menanamkan minat belajarnya terhadap hal positif mengenai pentingnya berbangsa dan negara melalui pendidikan yang ada, minimal berbakti kepada keluarga, agar mereka bisa membangunkan jiwa dan raganya. Seperti yang ada di lagu kebangsaan kita:

“Bangunlah jiwanya, bangunlah raganya, untuk Indonesia raya”.

Selamat mengembangkan diri wahai generasi muda, anak, cucu, dan cicitku nanti. Semoga kalian kelak bisa berkarya lebih banyak, dan lebih baik dari kami, sang pengantar.

*Cerita ditulis olehku, dariku, dan untukmu. Dari Aku yang belum punya anak, cucu, apalagi cicit.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun