Mohon tunggu...
Angga Bima Suharto
Angga Bima Suharto Mohon Tunggu... Editor - Hanya seorang penulis biasa

Lets go!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketiga Hal Bermanfaat Ini, Sejatinya, Tidak Ada yang (Benar-benar) Baik

4 Juni 2016   12:04 Diperbarui: 4 Juni 2016   12:15 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Uang dan Kekuasaan, Bisa berdampak buruk jika salah digunakan. Sumber foto : kitajuara.com

Emang benar ya enggak ada sesuatu yang seutuhnya dan sepenuhnya baik, meskipun bermanfaat sekalipun? Ya, misalnya dalam perkara-perkara ini, uang, kekuasaan, maupun agama. Ketiga hal tersebut memang mendatangkan kebermanfaatan yang luar biasa, namun begitu pula dengan kejahatan yang bisa ditimbulkan olehnya. Enggak percaya kan? Yuk Intip tulisan di bawah ini.

Pertama kita akan berbincang dari yang sering kita temui dulu, yakni uang. Memang, manfaat dan kegunaan dari alat tukar ini sangatlah banyak. Bisa untuk berbelanja, memenuhi kebutuhan sehari-hari, bahkan beberapa orang beranggapan bisa membeli "kebahagiaan" dunia dengan ini.

Gile, banyak betul manfaatnya. Tapi coba lihat, seberapa besar juga dampak (negatif) yang ditimbulkannya. Uang, ketika salah digunakan bisa berdampak pada hedonisme, alian demen menghambur-hamburkan uang hanya untuk kesenangan sementara. Pergi ke mall untuk berbelanja sesuatu yang tidak perlu, jalan-jalan yang hanya memenuhi hasrat belaka, hingga penggunaan oleh si hidung belang dalam mencari kupu-kupu yang tidak hidup di siang hari.

Berikutnya adalah kekuasaan. Sejak zaman firaun masih masih belum naik onta hingga zaman bocah udah pada bisa main gadget, udah jadi hal umum kalau hal baik ini bisa melahirkan potensi buruk. Nggak percaya? Lanjut baca dulu deh.

Memang sih, rezim seseorang yang punya nama seperti nama belakang gue (baca : Suharto), sudah berakhir. Tapi coba lihat anak, cucu, dan cicit hasil didikan orde baru, terus beranak-pinak, yang sekarang menduduki bangku dan parlemen dengan senyum sinisnya. Meskipun, tidak semua bernurani buruk, tapi tetap saja berdampak negatif terhadap perkembangan negeri ini, bukankah kopi susu lebih dominan kopinya ketimbang susu? *apasih.

Terakhir, bicara tentang sesuatu yang sudah melekat erat dalam diri seseorang semenjak dia dapat berfikir matang, yang terdidik dari keluarga, lingkungan, maupun lingkungan sosial yang ia naungi. Iyap, betul, agama namanya. Ini dia sesuatu yang paling bisa menghasilkan kebaikan dalam nilai tinggi, namun juga keburukan yang tidak ternilai.

Kebaikan banyak lahir dari sesuatu yang serupa dengan ideologi ini. Akhlak, moral, hingga etika yang baik dalam diri seseorang dapat tercipta, hanya saja jika seseorang memahaminya dengan baik. Jika tidak, hanya akan menciptakan produk manusia yang angkuh dan haus akan penghargaan, seseorang yang juga suka menghakimi buruk orang lain karena angkuhnya. Bukankah manusia yang cantik, pintar, kaya, dan mempunyai kelebihan lainnya berpotensi angkuh? Pun demikian dengan yang mengaku "beragama".

Angkuh, hanya sebagian kecil dampak yang lahir akibat salah guna dari pemahaman tentang agama ini. Lebih jauhnya, manusia akan rela untuk mengklaim bahwa dirinya adalah makhluk yang paling benar dan yang lain SALAH, padahal menjudge orang itu bukan hak manusia loh. Buruknya lagi, ketika berada di kebenaran tertinggi tanpa pemahaman akal yang mendalam, seseorang akan berani menghilangkan nyawa manusia lainnya, ngakunya sih perintah Tuhan. Mengatasnamakan agama loh, yakin Tuhan loe nyuruh loe lahir buat matiin yang lainnya, apa mungkin cuma bisikan Setan alias "Tuhan Jelmaan" yang ada di dalam diri kita?

Mungkin sebelum mengakhiri tulisan ini, gue akan coba memasukan sedikit kutipan mantan presiden kita, yang dituliskan teman gue di salah satu grup whatsapp yang gue punya. Kurang lebih gini bunyinya...

Benturan antar "kebenaran", terjadi saat orang-orang berani mengambil-alih jabatan Tuhan, fungsi Tuhan, dan kerjaan Tuhan. Padahal, dalam ajaran tauhid, urusan kebenaran adalah hak prerogratif Tuhan. Demikian refleksi KH Abdurrahman Wahid alias Gus Dur sebagaimana dituturkannya berulang-ulang kepada Kajian Islam Utan Kayu (KIUK) di Radio 68H, Jakarta.

Btw, penulis cuma orang biasa yang masih belajar dan suka untuk mencoba memahami perbedaan. Selamat belajar~

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun