Mohon tunggu...
Bimo Satrio Wicaksono
Bimo Satrio Wicaksono Mohon Tunggu... karyawan swasta -

optimis, pantang menyerah, berani mencoba, senang memiliki banyak teman, berbagi senyum

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Daya Saing Bank di Indonesia Dalam Menghadapi MEA

21 Februari 2015   22:10 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:45 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak terasa tahun 2015 kita jalani, cepat atau lambat masyarakat asean akan terkoneksi satu dengan yang lainnya. Salah satu hal yang sudah kita rasakan adalah bepergian ke negara ASEAN tanpa menggunakan visa. Banyak warga di Indonesia pesimis akan daya saing Indonesia dibandingkan dengan negara lain di ASEAN. Banyak sekali hambatan di Indonesia semisal birokrasi, infrastruktur, dan kepastian hukum. Namun kita jangan mudah pasrah akan peluang itu, Bangsa Indonesia memiliki DNA Sejarah bisa menguasai wilayah hingga ASEAN saat jaman Majapahit dan Sriwijaya.

Kita musti berpikir sejenak dan tenang dalam menghadapi MEA, sehingga kita bisa meningkatkan kemampuan diri guna bersaing di kawasan ASEAN. Kembali pada permasalahan perbankan di ASEAN, jauh sebelum direncanakan MEA sebenarnya bank kepemilikan asing di Indonesia sudah menjamur. Bahkan secara organik maupun anorganik kekuatan modal mengakuisisi bank dan lembaga keuangan di Indonesia, tentu saja tujuan utama adalah menghasilkan modal. Tidak hanya mengubah nama atau menggabungkan nama, namun ada pula akuisisi modal asing tersebut tanpa merubah nama sama sekali namun jelas halnya kepemilikan asing menjadi mayoritas di bank tersebut sehingga hasil laba berupa dividen bisa diambil secara maksimal.

Saat ini Indonesia dikaruniai oleh Tuhan sumber daya alam beserta sumber daya manusia yang produktif, dan tentu saja itu menjadi pasar yang cemerlang. Oleh karena itu jangan heran jika bank kepemilikan asing sudah mulai membuka cabang di kota besar di Indonesia bahkan mereka berani membuka cabang di kota non ibukota provinsi. Lebih berani lagi bank kepemilikan asing tersebut telah merambah segmen mikro yang sejatinya telah menjadi core bisnis dari BRI. Saat ini Indonesia memiliki bank ratusan jumlahnya belum lagi ditambah dengan BPR dan lembaga pembiayaan lainnya. Selama ini terkesan jalan masing-masing tanpa ada strategi bersama. Bank dengan core bisnis korporasi sudah masuk ke segmen mikro begitu pula bank segmen mikro telah merambah ke segmen korporasi sehingga tidak ada kompetitif advantage.

Muncul hangat wacana strategi merger ataupun akuisisi bank milik pemerintah, yang menimbulkan banyak opini publik. Merger pernah dilakukan pemerintah saat terjadu krisis tahun 1998 sehingga untuk menyehatkan bank dimerger dan dilakukan treatment sehingga bank tersebut tumbuh sehat kembali. Bedanya saat ini kalaupun bank milik pemerintah dimerger masih kalah besar dibandingkan dengan DBS, OCBC, CIMB, Maybank.

Jika wacana merger untuk membiayai perusahaan di Indonesia yang sudah mulai besar yaitu semisal Pertamina, PGAS, Semen Indonesia maka sejatinya pemberian kredit dengan nominal yang besar bisa dilakukan melalui sindikasi. Melalui sindikasi maka risiko kredit akan dibagi secara merata antar bank peserta sindikasi sehingga apabila terjadi kerugian tidak akan menimbulkan gejolak yang berarti. Sebagai contoh pengadaan kereta commuter line di Jakarta pun dilakukan melalui sindikasi sehingga bank di Indonesia berpengalaman.

Hal yang bisa saya usulkan adalah konsolidasi segmen antar bank, BRI fokus ke mikro, BTN fokus ke perumahan, BNI fokus ke Infrastruktur dan consumer and retail, Mandiri fokus ke korporasi. Sehingga tidak ada saling sikut antar bank di Indonesia. Jangan ada perang bunga simpanan jika hanya untuk menaikkan nilai aset, justru melalui perang bunga pemilik uang yang besar lah yang akan menang karena mereka akan mendapatkan bunga spesial dan akan menggerus margin laba bank. Jika pemerintah ingin menunjukkan gengsi dengan membuka cabang di negara ASEAN mengapa sejak tahun 1960 hingga sekarang hanya BNI yang membuka kantor cabang secara full branch di Singapura sedangkan bank kepemilikan asing bebas membuka cabang di Indonesia. Berarti selama ini asas resiprokal untuk membuka cabang di negara ASEAN kurang diperjuangkan dan hanya baru-baru ini diperjuangkan dengan bukti dilakukan penandanganan MoU antara pemerintah dengan otoritas keuangan Malaysia untuk dibolehkan mencicil modal dasar yang terlalu besar untuk membuka kantor cabang di Malaysia padahal bank dibandingkan pembukaan kantor cabang di Indonesia. Butuh modal sekitar 300 juta ringgit atau senilai Rp1,07 trilyun untuk membuka cabang di Malaysia sedangkan aturan bank asing boleh beroperasi di Indonesia tahun 1968 minimal hanya 1 juta dollar.

Miris memang jika melihat bank kita disuruh bersaing dengan bank lain namun pemerintah sendiri kurang memperjuangkan dengan contoh pemerintah selalu menarik dividen yang besar dari BUMN padahal jika pemerintah tidak menarik dividen dan mengembangkannya untuk operasinal BUMN maka mungkin BUMN di Indonesia bisa bersaing dengan Temasek Singapura maupun Khazanah Malaysia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun