Mohon tunggu...
Bimo LP
Bimo LP Mohon Tunggu... -

Jangan kau tanya siapa aku. Tanyakanlah siapa dirimu.....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tak Nyala Lagi Kunang-kunang Kami

16 Juni 2013   09:40 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:57 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

KAMI terlahir untuk mati. Semua orang pun sebenarnya begitu, tapi kami berbeda. Sungguh. Karena kami mati sebelum kami bisa merasakan hidup. Kalaupun bisa, itu tak lama. Karena Peri-Peri itu sudah terlanjur datang. Menanggalkan pakaian kami. Dan membawa kami dalam keadaan telanjang ke suatu tempat yang jauh dari Ayah Ibu kami. Tempat dimana hanya ada orang-orang seperti kami. Yang memang terlahir untuk mati.

Aku pernah tanyakan pada Tuhan, kenapa kami seperti ini? Kenapa Peri-Peri itu cepat sekali dikirimkan untuk jemput kami? Padahal Ibu kami belum kelar bubuhkan bedak dan minyak hangat di sekujur tubuh kami.

Jawab Tuhan, kunang-kunang kami sudah padam. Mereka tak bisa lagi menyediakan sinarnya untuk nafas-nafas kami. Aku bingung dengan jawaban Tuhan, maka kutanya lagi, apa hubungannya dengan kunang-kunang? Aku, dan banyak dari kami, bahkan tak tahu apa itu kunang-kunang. Tuhan bilang, masing-masing dari kami dilahirkan bersamaan dengan menetasnya seekor kunang-kunang. Kunang-kunang yang menetas dari sebutir embun Surga, dan menyala terus sepanjang jalan tempuhan kami. Maka ketika sinar dari kunang-kunang kami mati, matilah kami bersamanya.

Bukan mengerti, malah tambah bingung. Tapi biarlah, tak usah aku bertanya lagi. Mungkin kami memang terlalu belia untuk mengerti Firman Tuhan. Kata-kata suci yang menurut kabar diperlukan waktu bertahun-tahun untuk mengkaji satu saja kalimatNya. Jadi disinilah, ditempat ini kami diam. Berkumpul di sebuah ruang yang, menurut Peri-Peri penjemput kami, merupakan ruang tunggu. Entah menunggu apa. Rasa-rasanya tak ada yang sedang kami tunggu. Atau menunggu kunang-kunang kami menyala lagi? Ya, mungkin itu yang kami tunggu. Tapi tidak, kulihat Tuhan menggeleng. Seolah bisa membaca pikiranku, dan mengatakan kunang-kunang yang sudah padam tak akan bisa nyala lagi. Seperti kami. Sudah mati dan akan selamanya mati.

Aku duduk, bungkam. Sementara lainnya, ada yang mengoceh sendiri. Ada yang berteriak-teriak, menjerit-jerit. Ada yang tengkurapan memendam wajah. Ada juga yang terus menunduk sambil menekuri lantai. Kulihat Peri-Peri penjemput itu diam bagai patung. Hinggap di tiap sisi dinding yang tergambar biru kepucatan. Mengawasi kami. Kecuali satu, yang paling lebar sayapnya. Dia terbang berkeliling langit-langit. Sambil meninggalkan jejak putih, yang lama kelamaan lebar dan semakin lebar memenuhi langit-langit.

Lalu satu persatu Peri-Peri penjemput itu mulai beterbangan. Meninggalkan hinggapannya. Dan, masing-masing, mendaratkan raganya di dekat setiap dari kami. Tak terkecuali aku. Dia Peri yang waktu itu menjemputku dari gendongan Ibu. Menelanjangiku dari hangat bedongan kain lurik yang membungkus. Aku masih ingat wajahnya. Dingin tanpa ekspresi. Tak jauh beda dengan Peri-Peri lain. Yang membedakannya hanyalah di dada bagian kirinya tumbuh sekuntum bunga raksasa. Bunga warna merah, dengan sulur-sulur hijau di dalam kelopaknya. Sekali waktu pernah kulihat bunga itu berdegup. Hanya sekali, tak pernah lagi.

Dia menggenggam pundakku dengan kedua telapaknya yang lebar. Kemudian perlahan coba menelentangiku. Membaringkanku menghadap langit-langit, dimana sudah tersedia selembar layar putih yang entah untuk apa. Tadinya aku mau berontak. Tapi ketika kulihat yang lain pun diperlakukan seperti itu, dan tidak ada yang melawan, kuurungkanlah niatku.

Ruangan ini, mungkin kalau aku bisa terbang seperti Peri-Peri itu, akan terlihat hamparan bayi bertelentangan. Ladang kesucian yang telanjang. Sunyi, tak ada lagi suara. Semua diam. Dibawah helai-helai sayap para Peri. Menyelimut. Menutupi kerapuhan, serta ketelanjangan kami.

Dan terdengarlah suara, berbisik. Entah apa yang lain dengar, yang jelas aku dengar bisikan itu. Bernyanyi. Mirip lagu yang suka Ibu nyanyikan sebelum aku bermimpi. Lagu terakhir yang kudengar dari Ibu sebelum aku sampai di tempat ini. Suaranya pun persis betul dengan suara Ibu. Biar begitu, aku tahu ini bukan suara Ibu, hanya persis. Suara Ibu jauh lebih merdu.

Tapi, suara Ibu tak bisa memanggil cahaya. Sementara suara yang ini bisa. Pelan-pelan layar putih yang tergelar dilangit-langit tak lagi berwarna putih. Melainkan dipenuhi bintik-bintik hijau keemasan yang berkerlap-kerlip. Indah. Dan Peri berdada bunga itu tersenyum padaku. Senyuman yang buruk. Pelan dia bilang, itu yang namanya kunang-kunang. Mereka terbang di kegelapan. Membimbing jiwa-jiwa yang terlahir agar tak tersasar. Mereka bersinar dalam keheningan. Dan padam dalam kepedihan.

Katanya, itu bukan kunang-kunang milik kami. Tentu. Kunang-kunang kami kan, kata Tuhan, sudah padam. Tak bisa nyala lagi. Kunang-kunang itu milik mereka-mereka yang masih disana. Yang baru dilahirkan. Yang beberapa dari mereka akan segera menemani kami disini. Karena mereka sama seperti kami, terlahir untuk mati.

Gerombolan kunang-kunang itu terbang berputar memusari hamparan bayi-bayi yang mulai menguap. Mengasap. Berawal dari ujung jari kaki, sampai ubun-ubun, dapat kurasa diriku menjelmakan asap putih. Mengapung-apung di udara. Dan Peri-Peri itu meniup-niup kami. Terus kami dihembus terbangkan, sampai kerlap-kerlip hijau keemasan itu menyilaukan mata asap kami.

Menelusup ke dalamnya, dan kami lah kunang-kunang itu! Setelah mati, setelah kunang-kunang kami padam, giliran kami yang harus bersinar. Menerangi jalan-jalan mereka yang baru saja dilahirkan. Dimana beberapa dari mereka akan menempuh liku yang sama seperti kami. Dan aku berdoa pada Tuhan agar jangan jelmakan aku menjadi kunang-kunang bagi mereka. Yang terlahir untuk segera mati.

SINARKU terang, hijau keemasan.

Seorang bocah manis tengah malam tadi menangis. Ini dunia yang amat asing baginya setelah sembilan bulan dalam ringkuk kenyamanan. Seorang wanita, habis mengejan hebat, tersenyum lega. Lelahnya setelah berkejaran dengan nafas tak dirasa setelah kini bocah itu berpindah ke rengkuhannya. Dia sudah tak lagi menangis. Darah yang menyelaputi kulitnya pun sudah resik. Menyisakan halus dan lembutnya saja. Mata bocah itu terpejam. Sambil mulutnya sibuk bermain di dada Ibu.

Selang waktu berikutnya, dalam gendongan Ibu bocah itu pulang. Bersama tatih langkah Ibu yang terpapah oleh lengan seorang pria kurus. Pria yang pontang panting mencari lembar-lembar nominal pengait nafas mereka. Pria yang kelak, andai Tuhan masih menyalakan sinarku, dipanggilnya Ayah.

Selembar pintu triplek terbuka. Berkerit-kerit menyambut kepulangan si empunya. Hawa lapuk langsung terasa menggeragap. Menemani kemelompongan ruang. Hanya tikar dengan bolong dimana-mana, sebiji kursi, dan sebuah meja yang kaki-kakinya tak lagi rata dimakan rayap. Tudung saji diatasnya jadi tak berguna. Tak ada yang ditudungi. Mungkin hanya debu dan beberapa butir kotoran cicak.

Bocah itu menangis lagi. Mungkin lapar, tafsir Ibu. Disingkap kain penutup dadanya, dibiarkan sebelah dadanya yang mulai kendor bergelayut dipermainkan bibir mungil si bocah. Ibu tersenyum. Dari wajah tirusnya seperti terpancar cahaya hijau keemasan. Layaknya hampir semua Ibu di dunia, dia bahagia buah hatinya sudah lahir. Dia bahagia telah berhasil mencapai kesempurnaan yang selalu didambakan seorang wanita, menjadi Ibu. Tapi, bagi si bocah, kasih sayang seorang Ibu tidaklah cukup. Mungkin sekarang cukup dengan ASI. Tapi bagaimana besok, setelah dua belas bulan berlalu? Bocah itu butuh asupan yang lebih dari sekedar ASI. Butuh nutrisi, vitamin, protein, dan segala jenis gizi yang tersedia. Semua itu tidak gratis tentunya. Tak ada yang gratis. Ibu tahu, maka dari itu pancaran sinarnya tak terlihat lagi.

Ibu murung sambil meneteki si bocah. Sementara Ayah sedang keluar. Cari orang yang bersedia beli motornya. Untuk biaya hidup keluarga, terutama si bocah. Wajar, kerjanya cuma buruh bangunan. Penghasilannya tak banyak. Itu pun harus dibagi rata dengan lima kawannya yang juga punya keluarga untuk dihidupi. Padahal, bukan setiap hari ada orang yang minta rumahnya direnovasi. Belum tentu sebulan sekali, bahkan setahun sekali.

Ayah berkeliling kota dari pagi menuju sore. Hampir tanpa hasil. Motor kepunyaan Ayah motor tanggung. Tua bukan, baru apalagi. Motor Ayah keluaran tahun 2000, usianya baru sekitar tiga belas tahun kurang sedikit. Jadi belum bisa dibilang motor antik. Dan jelas harganya tak akan tinggi. Dua juta saja sudah lumayan untuk ukuran motor yang hampir tak terjamah servis rutin.

Angka itu yang ditawarkan oleh seorang Engkoh pemilik bengkel motor. Disela sore yang kesenjaan, sempat terjadi alotnya tawar menawar. Ayah bilang dua juta terlalu sedikit. Tapi Engkoh bilang, untuk motor yang tak pernah dirawat, dua juta sebenarnya terlalu tinggi. Akhirnya, mereka berjabat. Disaksikan bulan yang baru setengah muncul, motor itu berpindah tangan. Bertukar tempat dengan gepokan uang yang sekarang masih terlihat banyak. Tapi, entah nanti.

Pintu diketuk. Kerecitan itu terdengar lagi. Tapi bukan hawa lapuk yang menyambut, melainkan hawa hangat. Khas bayi yang baru rampung mandi. Dirumah tetangga bocah itu dimandikan. Sekalian diusapi bedak dan minyak pengusir angin. Sekarang bocah itu tertidur. Pulas diatas helai-helai kain yang ditumpuk. Supaya hangat, juga empuk. Ayah dan Ibu tak punya kasur. Cuma itu yang bisa mereka berikan.

Ibu tersenyum menyambut Ayah pulang. Di sodorkannya segelas air putih yang terlihat sedikit agak keruh. Ayah lelah, sudah tentu haus. Pasti lapar juga. Tapi tak ada uang untuk beli nasi beserta  lauknya. Dua juta itu harus mereka hemat betul. Kalau bisa dijadikan modal usaha. Karena si bocah pun punya masa depan.

Ayah menggenggam kantong kresek hitam. Isinya dua pasang baju bayi yang ia beli di pasar loak. Baju yang pernah dipakai entah oleh bayi milik siapa. Lucu. Yang satu bergambar kelinci warna biru dengan gigi tongos dan mata besar. Yang satu bermotif hati. Hati-hati yang bertebaran warna merah muda. Ayah bilang, baju ini untuk sang anak. Supaya bajunya tak hanya satu yang itu-itu saja. Supaya tak perlu pakai baju lembab. Supaya hangat, supaya sehat.

Isi kresek hitam itu rupanya tak cuma baju bayi. Ada juga sehelai gaun. Untuk Ibu. Gaun yang terlihat lubang di bagian ketiaknya. Ayah bilang itu yang paling bagus. Banyak yang tidak sobek, tapi tak ada yang sebagus itu. Maka dibelilah gaun yang sobek ketiaknya. Ibu tersenyum. Teringat masa-masa pacaran dulu. Tak apa, kata Ibu. Kan bisa dijahit. Kan bisa ditambal.

Ayah dan Ibu berpelukan. Diselubung bayangan si bocah yang akan segera tumbuh dewasa.

SINARKU berkedap-kedip. Mulai sulit mengendalikan nyalanya.

Di harinya yang hampir ke enam puluh, si bocah seperti tak berselera mengisap puting susu Ibu. Hanya sebentar, dan sedikit. Akhir-akhir ini selalu begitu. Tak pernah lama si bocah menyusu pada Ibu. Barang beberapa isapan aja, sudah itu berhenti. Tak mau lagi menyusu.

Dahi si bocah basah. Bintul-bintul keringat terlihat menyembul dari lubang kecil pori-porinya. Engahan nafasnya terdengar jelas. Padahal, menyusu seharusnya tidak begitu melelahkan. Ibu khawatir. Ayah juga. Pikir mereka, apa anak ini sakit? Sakit apa? Sakit yang mereka tahu cuma flu, demam, pilek, batuk, dan kawan-kawannya. Tapak legam Ayah mengusap dahi si bocah, mengusir keringat. Dan merasakan suhunya. Memang agak hangat. Pasti demam, pikir Ayah. Ibu minta diantar ke puskesmas. Walau sebetulnya tanpa diminta pun Ayah sudah pasti akan mengantar. Di puskesmas mereka bisa berobat gratis. Cukup dengan kartu jaminan kesehatan.

Dokter bilang ini gejala tiphus, atawa tipes. Harus banyak istirahat. Jangan dibiasakan mandi dengan air dingin. Harus dijaga agar tetap berada dalam keadaan hangat. Nasihat yang diberikan bukan hanya untuk si bocah, Ibu juga. Asupan nutrisi tak boleh kurang, harus banyak-banyak minum susu dan makan makanan yang bergizi. Kata dokter lagi, Ibu butuh lebih banyak vitamin D, vitamin B-6, vitamin B-12, asam folat, dan zinc, untuk menjaga kualitas ASI. Juga kesehatan Ibu dan si bocah.

Ibu memandang Ayah. Seperti tak mengerti pada kata-kata dokter barusan. Bertanya, apa bisa? Ayah bingung. Harus mengangguk atau menggeleng. Di hadapan Ibu ia mengangguk pelan. Di belakang Ibu berkali-kali ia menggeleng, sambil menepuk-nepuk dahi keriputnya.

Tabungan yang ada dua juta itu, kini sisa tujuh ratus ribu. Untuk membeli nasihat dokter. Nutrisi ini, nutrisi itu. Vitamin ini, vitamin itu. Mahalnya bukan main. Belum lagi untuk beli bak mandi, kompor, dan gas 3 kg yang harus diisi ulang tiap bulannya. Seperti kata dokter, mandi air hangat untuk mencegah datang penyakit. Betul memang berobatnya gratis, tapi nasihat yang mau tidak mau harus dituruti tak pernah ada yang gratis. Bingung? Tidak juga. Tak pernah mudah memang merawat anak di bawah sekat sosial yang paling bawah.

Waktu terus mengangsur, dan kondisi si bocah tak jua membaik. Malah tambah parah kelihatannya. Ayah tak tahu apa matanya yang salah atau bukan, tapi ia melihat anaknya mulai kebiru-biruan. Biru di mulut. Biru di lidah. Juga biru di ujung jemari-jemarinya. Tidak, mata Ayah tidak salah. Karena Ibu pun melihat hal yang sama. Biru pada si bocah, pertanda apa?

Tidak hanya biru, napas si bocah pun kini tak lagi terengah-engah. Melainkan berkerejap tak karuan. Sesak sepertinya, sulit bernapas. Khawatirnya Ibu dan Ayah tak terhadang. Dengan motor pinjaman tetangga, mereka kabur lagi ke puskesmas. Dokter bilang ini penyakit biasa. Lumrah dialami bocah usia dua sampai tiga bulan. Ayah tidak percaya. Didebatnya si dokter. Tapi dokter itu cerdas, seperti banyak dokter lainnya. Ia pandai menutupi ketidak bisaannya dengan argumen-argumen kelas tinggi. Argumen kaum intelek yang sampai kapanpun tak akan pernah terjangkau alam pikiran seorang buruh bangunan.

Ayah masih tak percaya. Indra ke-Ayah-annya tak bisa dibohongi. Tapi ia sudah tak kuasa lagi mendebat. Mereka pulang, dengan segenggam obat yang Ayah tahu tak akan bisa menyembuhkan. Dan memang benar, seminggu berlalu tanpa perkembangan. Ibu mengajak ke puskesmas lagi. Ayah menolak. Ia tak mau lagi dikibuli. Mentang-mentang tidak dibayar dengan uang cash, apa bisa seenaknya saja memperlakukan pasien? Begitu kecamuk pikiran Ayah.

Ibu tanya, lalu bagaimana? Si bocah sakit, butuh pengobatan. Uang mereka tidak banyak. Jadi perlu pengobatan yang murah pula. Dan puskesmaslah tempatnya. Tapi Ayah tetap kekeuh. Tak mau lagi injakkan kaki di puskesmas. Ayah akan cari tempat lain yang bisa obati si bocah. Mungkin tidak gratis, tapi setidaknya agak murah. Dimana? Tanya Ibu. Entahlah, jawab Ayah.

Sore di keesokan hari, Ayah pulang sumringah. Bawa kabar baik. Katanya, menurut tutur seorang karib, ada sebuah saung pengobatan tradisional tidak jauh di pinggir kota. Bisa sembuhkan 1001 macam penyakit. Biayanya pun cukup terjangkau. Cukup lima puluh ribu. Tak mau menunggu besok, kembali dengan motor pinjaman tetangga, mereka bawa si bocah ke saung itu.

Serius Pak Mantri memeriksa keadaan si bocah. Dirabanya si bocah, dari ujung kepala turun terus ke bawah. Dan tangan Pak Mantri berhenti tepat di dada. Ada getaran yang tak biasa, menurutnya. Lama betul tangannya menyapu seluruh permukaan dada si bocah. Dan bilang, ini tak bisa disembuhkan disini. Ada masalah di jantungnya. Harus ke Rumah Sakit. Penyakit jantung tidak masuk hitungan 1001 penyakit yang dapat disembuhkan.

Tak bisa mengobati bukan berarti gratis. Biaya konsultasi tetap harus dibayar. Cash, lima puluh ribu, Pak Mantri tak mau terima kartu jaminan apapun. Ibu bersikeras tidak mau bayar. Tapi Ayah tak keberatan membayar. Sebagai ucapan terimakasih telah mendeteksi penyakit berbahaya yang ada di jantung anaknya. Ibu curiga. Apa jangan-jangan mereka dibohongi lagi? Tidak. Indra ke-Ayah-an Ayah bilang kali ini mereka tidak dibohongi. Benar ada yang tidak beres dengan jantung anaknya.

Ayah dan Ibu melangkah keluar dari pintu saung dengan jantung yang mendebarkan banyak tanya. Apa masih bisa sembuh? Bagaimana cara menyembuhkannya? Apa biayanya murah? Atau mahal? Atau mahal sekali, sampai mereka tak bisa menanggungnya? Kalau tak segera diobati bagaimana? Apa fatal? Mungkinkah berobatnya nanti-nanti saja setelah dapat banyak uang? Tapi kapan dapatnya? Ah, Ayah dan Ibu sama-sama tak tahu. Sementara si bocah tampak semakin biru. Dengan bising yang memenuhi selaput jantungnya.

SINARKU semakin redup. Kedipannya semakin sering. Bahkan sesekali padam.

Ini Rumah Sakit ke tiga. Setelah bolak-balik di rujuk ke sana-sini, Rumah Sakit inilah yang katanya punya peralatan paling memadai untuk tindakan operasi. Karena memang tidak ada jalan lain untuk menyembuhkan jantung si bocah selain melalui operasi. Ayah serahkan kartu saktinya ke resepsionis. Berharap anaknya bisa segera mendapat pemeriksaan dan jadwal operasi. Tapi apa? Kata wanita manis penjaga resepsionis, kartu itu tak berguna. Limit saldonya hanya seratus juta. Itupun sudah terpakai untuk biaya melahirkan dan berobat ke puskesmas. Sementara biaya operasi sebesar seratus lima puluh juta.

Ayah bingung kepalang-palang. Ibu menangis, seperti biasa. Tak bisa operasi, hanya bisa dirawat inap. Tak apalah, pikir Ayah. Siapa tahu bisa sembuh. Pertanyaannya adalah, sampai kapan? Ya sampai seratus juta itu habis. Tapi bukan berarti mereka benar-benar terbebas dari biaya. Mereka tetap butuh makan. Yang diawet-awet, sehari cukup dua kali, bahkan sekali. Itupun sederhana betul. Beli di warteg, nasi diguyur kuah semur dengan sedikit sambal. Murah dan mengenyangkan. Sehat? Sedikit.

Belum lagi biaya obat-obatan buat si bocah. Wanita manis di resepsionis bilang kalau pihak Rumah Sakit tak bisa menanggung pembelian obat. Jadi untuk suplai obat buat si bocah tetap harus dibeli dengan duit sendiri. Bukan dengan duit pemerintah seperti yang pernah dijanjikan.

Ayah lupa tepatnya jumlah uang simpanan yang tersisa. Yang jelas, setelah barusan dibelinya beberapa tabung cairan kental, uang dalam genggamannya hanya sisa dua puluh tiga ribu lima ratus rupiah. Tak mungkin bertambah, tapi pasti akan berkurang. Hari itu Ibu belum makan. Padahal ia perlu makan agar ASInya terproduksi dengan baik. Ya, warteg sebelah Rumah Sakit sudah menunggu. Ayah menyelipkan selembar dua ribuan di kantong kemeja kumalnya. Untuk beli sebungkus nasi dengan guyuran kuah semur dan sedikit sambal. Atau mungkin kalau Simbok penjaga warteg berbaik hati, akan diselipkannya selembar ikan asin di tengah nasi yang menggunduk.

Dan hari-hari terlalui dengan berat. Si bocah semakin biru. Ibu dan Ayah semakin kurus. Juga semakin khawatir, jelas. Berulang kali dokter menjadwalkan operasi. Berulang kali pula pihak Rumah Sakit menolaknya. Karena Ayah dan Ibu tak mampu memberi jaminan apa-apa. Bising di jantung si bocah semakin kencang mengiang tiap kali dokter menempelkan chestpiece stetoskopnya di dada si bocah. Dokter bilang, kalau tak cepat-cepat dioperasi, Peri-Peri itu akan segera datang menjemput si bocah. Ibu menangis, lagi-lagi. Ayah tersenyum pahit, getir. Sambil membentur-benturkan kepalanya ke dinding Rumah Sakit yang putih, bersih. Maka putih yang kelihatan tak ternoda itu, kini membercak merah. Darah.

SINARKU padam. Benar-benar padam. Doaku tak dikabul. Kata Tuhan masa tugasku sudah berakhir. Bersamaan dengan berakhirnya nafas si bocah.

Malam tadi aku hinggap di sebatang dahan tak jauh dari jendela kamar inap si bocah. Saat perlahan-lahan kurasakan dingin yang menjalari tubuhku. Dan padamnya sinar hijau keemasan yang kuharap akan lama nyalanya. Seperti dulu, berawal dari ujung sungut sampai ujung bokong, Tuhan jelmakan aku jadi asap. Asap putih yang terbang menggumpal-gumpal. Gumpalannya makin besar. Menutupi bulatan bulan. Dan di air selokan yang mampat tak mengalir, tak dapat kukenali wujudku. Aku jadi manusia. Manusia bersayap yang bisa terbang. Manusia bersayap dengan wajah tanpa ekspresi. Dingin saja. Tak bisa senyum. Karena tiap kali kupaksakan untuk tersenyum, bibir ini terasa perih bukan main.

Kulihat lagi, ada sekuntum bunga raksasa yang tumbuh di dada kiriku. Bunga berkelopak merah, dengan sulur-sulur hijau didalamnya. Bunga yang sekali waktu kurasakan degupannya. Akulah sang Peri penjemput! Kiriman Tuhan untuk menjemput si bocah. Menelanjanginya, dan membawanya ke ruang tunggu.

Aku tak tega. Kulihat Ibu menangis keras. Keras sekali. Menggeraung memenuhi dingin udara malam. Ayah tak beda jauh, ia menangis berteriak-teriak. Sambil memukuli tembok putih untuk kembali memberikannya bercak merah. Bocah itu diam saat kutelanjangi. Kulepas dari bedongan Ibu. Kukupas dari baju loakan pemberian Ayah. Sekali lagi, aku tak tega. Ayah dan Ibu saling merangkul. Sama-sama menangis. Sementara dokter dan dua orang suster didekatnya hanya bisa saling bertukar pandang. Bagaimana dengan wanita manis di meja resepsionis? Oh, dia sibuk menghaluskan kukunya yang habis dipangkas. Lalu bagaimana dengan mereka? Mereka siapa? Siapapun mereka tak ada yang peduli.

Hanya aku dan si bocah. Terbang melintasi ruang-ruang waktu menuju ruang tunggu. Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, langit dipenuhi Peri-Peri penjemput yang beterbangan. Si bocah menatap padaku. Dengan suara cadelnya ia bertanya, mau dibawa kemana? Ke ruang tunggu, jawabku.

Angin terasa runcing menusuki sayapku saat kembali si bocah bertanya, kenapa para Peri cepat sekali dikirmkan untuk menjemput? Sempat bingung, dan aku teringat jawaban Tuhan waktu aku menanyakan pertanyaan yang sama. Kunang-kunangmu sudah padam, sebab itu kami datang menjemput. Jawabku dengan wajah yang masih dingin, masih tanpa ekspresi. Walau sebetulnya ingin aku tersenyum pada polos wajah suci yang kini ada dalam gendonganku ini. Si bocah diam. Mungkin ia sudah mengerti.

Kami hampir sampai. Aroma ruang tunggu itu tak dapat kulupa. Dan kurasakan semakin kuat mencengkeram udara. Si bocah tetap diam. Sampai sebelum tanganku sempat memutar pegangan pintu, suara cadelnya terdengar lagi. Apa hanya sebab kunang-kunang? Apa hanya sebab itu? Apa tak ada sebab lainnya? Oh Tuhan, aku harus jawab apa. Kulihat mata mungilnya mengerjap-ngerjap sambil memandangiku. Aku coba tersenyum padanya. Walaupun perih. Walaupun jelek.

Bocah itu balas senyumanku. Sambil menggumamkan beberapa kalimat. Katanya, mungkin karena kami memang terlahir untuk mati. Masih sambil memaksakan senyuman, aku bilang, kau telah temukan jawabannya. Selamat bergabung dengan kami. Kami yang terlahir untuk mati. Kami yang kunang-kunangnya tak akan pernah menyala lagi.

Bimo Logo Pribadianto

Bekasi, Februari 2013

* Cerpen ini sudah pernah dimuat dalam antologi cerpen "Dari Jendela Yang Terbuka" terbitan Edukasi Press

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun