Mohon tunggu...
Bimo LP
Bimo LP Mohon Tunggu... -

Jangan kau tanya siapa aku. Tanyakanlah siapa dirimu.....

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Kilasan Mata Jahannam

16 Juni 2013   09:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   11:57 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

BULDOSER meraung-raung, asapnya mengapung kemana-mana. Jerit tangis dari segala penjuru. Teriak amarah terus dilontarkan mereka-mereka yang tidak sudi tertindas. Segala cara dilakukan, semuanya dikerahkan, agar rumah dan kehidupan mereka tidak teratakan dengan tanah. Tapi kita semua tahu, ini adalah kisah klasik, dongeng sebelum tidur para Pangeran, yang selalu berakhir duka bagi manusia-manusia kerdil. Semuanya sia-sia. Percuma amarah mereka, percuma tangisan mereka, percuma semuanya. Buldoser itu terus saja menderu, melindas apapun dan siapapun didepannya. Rumah-rumah mereka rata dengan tanah, juga seorang pemuda miskin yang tubuhnya tidak lagi berbentuk tubuh, hancur lebur digilas roda-roda raksasa. Mengerikan!

Kilas kejadian itu bermain-main di layar sebuah televisi tua, dalam sepetak gubuk kumuh. Juki cilik hanya bisa melongo menyaksikan semuanya. Betapa tirani telah menguasai negerinya, betapa tidak ada tempat yang betul-betul aman untuk orang-orang kecil. Sialnya, Juki cilik harus menerima kenyataan bahwa ia pun terlahir dalam keluarga orang-orang kecil, dan tinggal di lingkungan orang-orang kecil. Apa yang bisa ia lakukan? Memaki takdir? Ah, ia masih terlalu belia untuk berpikir sampai kesitu.

“Ayah, kenapa orang-orang itu menjerit-jerit? Kenapa mereka marah? Kenapa mereka memaki orang-orang berseragam itu Yah?”

“Juki, mereka hanya mencoba untuk mempertahankan apa yang harus mereka pertahankan.”

“Lalu buldoser-buldoser itu, kenapa mereka melindasi rumah-rumah? Rumah siapa itu?”

“Mereka hanya coba menertibkan yang tidak tertib, itu saja.”

“Tapi orang-orang itu menangis Yah. Mereka marah, memaki dan memukuli orang-orang berseragam itu. Ada apa? Pasti ada yang tidak beres. Ya kan Yah?” Ayahnya tidak menjawab. Hanya tersenyum sambil menyeruput kopi yang hampir dingin.

Juki memang masih bocah. Tapi indera kebocahannya sudah bisa berbicara. Ia merasa ada yang tidak beres dengan mereka korban penggusuran, mereka yang menggusur, juga jawaban-jawaban Ayahnya.

“Kenapa rumah mereka digusur Yah?”

“Mereka menyalahi aturan, itulah hukumannya.”

“Aturan apa? Aturan membangun rumah?”

“Ya.”

“Rumah kita tidak menyalahi aturan kan Yah?”

“Tentu tidak Juki. Rumah kita berdiri pada tempatnya, tidak ada yang menyalahi aturan.”

“Aku takut Yah.”

“Apa yang harus ditakutkan?”

“Yang barusan aku tonton di televisi benar-benar mengerikan. Aku takut, suatu hari nanti, orang-orang berseragam itu akan mendatangi rumah kita dengan buldoser-bildoser mereka. Lalu mereka akan melindas rumah kita sampai roboh, remuk. Aku takut.”

“Juki, dengarkan Ayah, itu semua tidak akan terjadi.”

“Bagaimana Ayah bisa menjaminnya?”

“Entahlah, yang jelas mereka tidak akan datang kesini. Kalaupun mereka datang kesini, kita akan usir mereka! Kita akan bersatu melawan mereka, kita kalahkan mereka! Kita hancurkan buldoser-buldoser mereka!” Dan segera setelah semua percakapan itu, Ayahnya menyeruput habis kopi yang sudah benar-benar dingin sembari beranjak menuju bengkelnya yang belum dibuka.

Dalam kekalutannya, terpikir oleh Juki cilik, kalahkan mereka? Apa bisa? Jumlah mereka banyak, belum lagi buldoser-buldoser yang dapat dengan mudah meremukkan perlawanan mereka. Bersatu? Memang kalau bersatu kita bisa menang? Mereka kan juga bersatu, bersatu lawan bersatu siapa yang akan menang? Yang berseragamkah? Atau yang compang camping? Yang jelas yang benar yang akan menang. Tapi yang benar itu siapa? Mereka? Atau kami? Sudah, Juki lelah mempertanyakan semuanya, ia tertidur bersama rasa takut yang belum terjawab, dalam selimut tanda tanya.

Dalam tidurnya ia bermimpi, bercakap dengan sang Ayah.

“Ayah, buldoser-buldoser itu tidak akan datang kan Yah?”

“Tidak akan.”

“Kita ada di pihak yang benar kan Yah? Jadi tidak perlu takut kan?”

“Benar atau salah adalah sebuah ambigu. Tidak usah terlalu dipikirkan.”

Juki tidak mengerti, tapi Ayahnya sudah keburu menghilang. Sekarang ia sendirian dalam mimpinya. Mungkin hanya berteman kalut, juga takut.

Sayup-sayup terdengar, “tidurlah nak, suatu saat nanti kau akan temukan jawabannya. Jawaban dari rasa takutmu. Jawaban dari semua tanyamu.”

LANGIT mendadak merah. Api menyala-nyala. Teriakan penuh amarah menggema dimana-mana. Semua berubah mencekam. Orang-orang berseragam dengan wajah garang, menggenggam sebatang tongkat, memukuli semua orang yang halangi mereka. Anak muda, ibu-ibu, bapak-bapak, kakek-nenek, semua dihajar. Tongkat mereka berbicara, jangan halangi kami, atau rasakan akibatnya!

Juki, seragam putih merah masih melekat di tubuhnya, menyaksikan semua itu dengan mata kepala yang masih lugu, belum tahu apa-apa. Sinar mentari menuntunnya, memberikannya pemandangan paling mengerikan semenjak tarikan nafas pertamanya. Ia tidak menyangka hari ini akan tiba. Sama sekali tidak menyangka.

Ibunya menangis dalam rumun kepanikan, Juki dipeluk erat olehnya. Ayahnya, dengan wajah berlumuran darah, bersatu dengan pria-pria lainnya bersenjatakan batu, membentuk blokade untuk menghalangi empat raksasa bermesin yang akan merubuhkan kehidupan mereka. Dan Juki hanya bisa menyaksikan sambil sesekali menyeka air mata, tidak lebih.

Ya, orang-orang berseragam itu benar-benar datang. Membawa serta buldoser-buldoser mereka. Semenjak pagi-pagi sekali mereka sudah bergerumun didepan pagar seng yang sengaja dibangun para penduduk kampung untuk menghalangi penggusuran. Salah seorang dari mereka berteriak dengan corong Toa didepan congornya, mengajak beberapa perwakilan kampung untuk berdiplomasi mencari jalan yang terbaik.

Wajahnya segera melukiskan kecemasan, kecemasan seorang Ibu terhadap anaknya. Ibu Juki mencegat Juki yang sudah rapi dengan seragam putih merah, lengkap dengan dasi dan topi merah.

“Hari ini kau tidak usah sekolah. Dirumah saja.”

“Kenapa Bu?”

“Turuti saja kata Ibu!”

Juki tidak mengerti, tapi ia menurut saja. Pintu rumahnya terbuka, Ayahnya masuk dengan wajah tegang. Dan langsung terlibat pembicaraan yang nampaknya serius dengan Ibu Juki. Sekali-sekali mereka menengok dengan tatap khawatir kepada Juki. Percakapan yang tidak berlangsung lama, segera diakhiri dengan satu kecup mesra di kening Ibu Juki. Ayahnya menghampiri Juki, mengecup kedua pipi juga keningnya. Setelah itu, bersama beberapa pria lain, Ayahnya pergi.

Sementara itu diluar pagar seng, yang tidak seberapa kokoh, tiga orang berseragam dan tiga perwakilan warga kampung tampak tengah berbincang, mendiskusikan jalan keluar terbaik untuk kedua pihak. Salah seorang berseragam itu mulai membuka percakapan. Dibantah oleh seorang perwakilan warga. Seorang lagi pria berseragam menimpali, dibantah lagi oleh seorang lagi perwakilan warga. Begitu terus. Terjadi bantah membantah, adu argumen. Tidak jelas siapa benar siapa salah, yang jelas adalah kemenangan tidak berada di pihak orang-orang kerdil. Statement penutup dari seorang pria berseragam pun muncrat bersama ludah-ludahnya.

“Baik. Kami sudah berbaik hati memberikan kesempatan bapak-bapak sekalian untuk berdiplomasi. Tapi bapak-bapak sekalian sama sekali tidak tahu diuntung, tidak tahu terimakasih! Mohon maaf, tugas tetaplah tugas yang harus dijalankan. Dan kami ada disini untuk itu. Mengenai hal ini, kami sudah peringatkan sejak jauh-jauh hari kan? Segeralah tinggalkan tempat ini, kami tidak mau jatuh korban.”

Raungan buldoser mulai terdengar, menyatu bersama tangis-tangis yang mulai mekar. Batu-batu beterbangan, menyasar tengkorak orang-orang berseragam itu, tapi mereka dipersenjatai tameng, hanya tameng  fiber tapi cukup untuk melindungi dari serbu bebatuan. Batu-batu meluncur deras, menyasar buldoser-buldoser yang mulai merangsek maju. Klang, klang, begitu bunyinya, tapi tidak ada rasanya. Batu-batu itu hanya sekedar menyentuh tubuh-tubuh baja, dan jatuh menjadi batu-batu biasa tak berguna. Pagar seng yang mereka bangun mudah saja dirubuhkan.

“Tahaaan!!!” terdengar teriakan untuk bertahan agar jangan sampai orang-orang berseragam itu, apalagi buldosernya, mendekati kediaman mereka. Teriakan-teriakan pengobar semangat terus dikumandangkan kaum Bapak. Apapun yang bisa dilempar, mereka lempar kearah buldoser-buldoser yang makin mendekat.

Seorang pria, tidak terlalu tua, nekat berlari menerabas kerumunan manusia-manusia bertongkat. Ia membawa golok, diayunkan goloknya kesegala arah. Dan orang-orang berseragam itu tidak berani mendekat, apalagi menyergap si pria. Salah-salah leher mereka yang tertebas. Dia berlari, sambil terus mengayunkan goloknya, ke arah sebuah buldoser. Tidak ada yang berani mencegah saat pria itu memanjat buldoser dan menuju ke ruang kemudinya.

Si supir mencoba kabur. Terlambat! Tengkuknya sudah dalam cengkraman amarah pria itu. Dan dalam hitungan detik, terpisahlah kepala dengan tubuhnya. Juki tidak mau menyaksikan sebetulnya, tapi entah apa yang membuat matanya dengan cekatan menangkap semuanya, tanpa ada yang luput. Ibunya pingsan, sudah sedari tadi. Sekarang ia sedang dirawat oleh sesama Ibu-Ibu, yang juga bisa pingsan kapan saja.

“Allahuakbar!!!” terdengar pekikan seorang pria. “Allahuakbar!!!” dibalas pekik kaum Adam lainnya. Dan entah dari mana asalnya, tiba-tiba saja api sudah menjalari sekujur raga buldoser malang itu. Api membakarnya hingga nyaris hangus. Sementara tidak jauh dari sana, seorang pria sedang dihujani tinju dan tendangan di seluruh tubuhnya. Pria itu adalah pria bergolok tadi. Sekarang dia menerima ganjarannya, pembalasan dendam atas kematian rekan mereka. Darah dimana-mana, wajahnya nyaris tak berbentuk lagi. Tangan dan kakinya bengkok tak karuan. Dia tak bergerak, mungkin sudah tewas.

Amarah para lelaki jelas tersulut. Sudah tidak bisa lagi ini dikatakan ini adalah sebuah penggusuran. Ini adalah pertempuran. Tempat ini sudah menjadi medan perang yang akan menenggelamkan banyak korban jiwa. Maka api belum akan padam, bahkan mulai menjalar kemana-mana.

Apapun yang bisa dijadikan senjata, mereka jadikan senjata. Itu terjadi di kedua belah pihak, batu, kayu, sapu, pisau, semuanya. Saling hantam, saling tendang, saling pukul, saling tikam, saling membunuh terjadi seolah tak akan berhenti. Teriakan murka, jerit kesakitan, rintihan mereka yang tengah sekarat, semuanya melayang bersama udara.

Langit masih lah merah. Semerah mata Juki yang dari sana mengalir butiran-butiran panas. Mata yang terus tertumbuk pada sesosok lelaki yang tengah terbaring tanpa ada yang peduli, dengan wajah berlumur darah, isi perut terburai menumpahi tanah.

Pelan tapi pasti buldoser mulai mendekat. Melindas mayat lelaki itu, meratakan rumah-rumah. Tidak lagi mereka melawan. Hanya tangisan. “Ayah...” gumam Juki.

Matanya bertambah merah. Air yang mengalir semakin panas. Juki marah. Tidak sisa sama sekali rasa takut yang selama ini tertanam. Hanya angkara murka, dan nafsu membunuh! “Bajingan kalian semua! Suatu hari nanti, akan kubalaskan dendam untuk Ayahku, juga untuk mereka yang telah kalian hancurkan! Tunggu aku!! Bila telah tiba waktunya, aku, dengan tanganku sendiri, akan menjemput kalian! Satu persatu. Camkan itu!” ujar Juki. Meski hanya dalam hati, amarahnya dapat dirasakan. Panas.

Tiga buldoser terus menderu. Meratakan semua yang tersisa, untuk tidak menyisakan apapun. Tidak ada perlawanan. Sama sekali tidak ada perlawanan. Hanya tatap penuh dendam dari seorang bocah, yang tadinya, lugu.

TUBUHNYA kekar. Kumis melenting lebat dibawah hidungnya. Tangannya kokoh menggenggam sebatang tongkat hitam, menyapu kepala-kepala yang menghadang langkahnya. Ia berseragam, kemeja dan celana panjang yang sama cokelat, seperti rekan-rekan sejawat lainnya. Di bagian kanan dada pada kemejanya, terpampang sebuah nama yang terjahit rapi. Disana tertulis, Ahmad Marzuki. Kawan-kawannya memanggilnya Juki.

Wajahnya garang. Kakinya ganas memburu tapak-tapak yang keras kepala. Tangannya terus mengayunkan tongkat hitamnya. Tanpa ampun, tanpa puluh kasihan. Sesekali tangan kirinya, yang tidak memegang tongkat, diayunkan ke udara. Semacam sandi, untuk membimbing empat buah buldoser yang mulai meraung.

Dirobohkannya pagar seng yang terbangun untuk menghadangnya, juga kawan-kawannya. Dihindarinya sambitan-sambitan batu yang terus menjurus. Tadi pagi, sempat pula ia berunding dengan beberapa perwakilan warga kampung. Perundingan alot yang terpaksa diputus dengan statement penutup yang muncrat bersama ludahnya. Dan bersamaan dengan itu, maka genderang tempur telah ditabuh, gerbang peperangan dibuka lebar-lebar.

Tangisan pilu jadi melodi nan merdu. Jerit-jerit kepayahan seperti padanan nada yang harmonis dimainkan. Buldoser-buldoser semakin jauh merangsek, tongkatnya semakin mematikan saja. Beberapa pengacau dihalau, dirobohkan ke tanah, dihujani dengan pukulan, tendangan, makian, ludah, sampai tidak bergerak, mungkin mati. Seorang pria yang coba jadi pahlawan, dengan menghunus-hunuskan golok, dengan enteng disergap, dirampas goloknya, dan dipisah kepala dengan tubuhnya. Seseorang yang coba membela pun bernasib hampir sama. Kepalanya dihantam tongkat, kemudian perutnya dikoyak hingga isinya terburai tumpah ke tanah.

Juki dan kawan-kawan datang untuk melaksanakan tugas. Untuk membuat biru langit menjadi merah. Untuk mengepulkan asap-asap penderitaan. Dan genderang perang terlanjur ditabuh. Mustahil menariknya kembali.

Kisa-kisah lama mungkin akan bercerita tentang kebenaran yang selalu menang. Tapi ini adalah kisah baru, dimana benar dan salah adalah sebuah ambigu. Yang hanya bisa dimengerti oleh si pencipta ambigu itu sendiri, bukan mereka yang terjebak dalam ambiguitas.

Juki sudah tumbuh dewasa. Ia sudah mengerti makna ambigu, bahkan fasih mempraktikannya. Kini ia berdiri di seberang sungai darah, yang telah berhasil ia arungi. Sayang, tubuhnya kini ternoda lumuran darah yang bukan darahnya. Tapi Juki sama sekali tidak ingin membersihkan tubuhnya. Ia menikmati lengketnya darah yang membalur, amis yang merebaki angin, merah yang terlihat dimana-mana. Juki tertawa keras, sangat keras. “Matilah kalian semua! Mati!!!”

Juki tidak sadar, bahwa sepasang mata mungil tengah menjeratnya. Dengan tatapan yang berair, merah, panas, marah! Tatapan yang penuh dendam. Dari seorang bocah cilik, yang tadinya, lugu.

* Cerpen ini sudah pernah dimuat dalam antologi cerpen "Kleptomania" terbitan FAM Publishing.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun