Mohon tunggu...
Bima Nawandana Putra
Bima Nawandana Putra Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Mahasiswa di Universite Rennes 2, bidang musikologi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Rumput Nusantara dari Halaman Tetangga

1 Oktober 2015   21:34 Diperbarui: 1 Oktober 2015   22:05 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Airvault, France"][/caption][caption caption="Airvault, France"][/caption]Nasionalisme, kata yang berat kelihatannya. Ada yang bilang terlalu tinggi, ribet ah. Mungkin, dari itu banyak dari kita menjadi apatis terhadap bangsanya sendiri. Padahal secara etimologis kata nasio berasal dari bahasa latin nascio atau natio yang berarti lahir. Lahir, kan? Oke kalau begitu nasionalisme bisa kita artikan dari dan sebagai bangsa apa kita terlahir, lalu jadilah sebaik-baiknya bangsa itu. Bicara Indonesia, bangsa Indonesia itu terdiri bangsa yang beragam. Sekarang, ketika seseorang membanggakan suku dan bangsa asalnya kita cenderung menganggap dia itu primordialisme, etnosentris, nggak nasionalis. Padahal Indonesia adalah kesepakatan kita untuk ber-bhineka tunggal ika.

Begitu terlahir sebagai seorang Jawa, maka menurut saya, sebaik-baiknya nasionalisme saya kepada Indonesia adalah menjadi seorang Jawa yang baik, itulah nasionalisme. Begitupun seharusnya untuk seorang Sunda, Ambon, Batak, Bugis, Dayak, Manado. Dengan dasar pemahaman ini semestinya kita tak perlu memaksakan diri menjadi seorang barat, karena memang wagu alias tidak cocok. Terbukti Salon Tanning atau pusat menggelapkan kulit di Indonesia bersambut laris. Aneh rasanya, ketika kita tahu matahari di khatulistiwa bersinar 12 jam perhari sepanjang tahun, lalu apa lagi yang dikehendaki? Sudahlah bisa panjang membahasnya.

Alasan paling kuat untuk fenomena seperti ini adalah peribahasa yang berbunyi 'rumput tetangga lebih hijau daripada rumput sendiri'. Akan tetapi jika kita berada di halaman tetangga, justru rumput sendiri terlihat lebih hijau. Walaupun ada beberapa orang yang sudah di halaman tetangga, masih saja tetap tak pandang rumput sendiri lebih hijau. Ada pula yang lupa bahwa ada rumput di rumahnya, bahkan menolehpun tidak. Lebih dari itu ada pula yang kagetan, gumunan, gandrung atau bahasa lainnya terlalu mudah jatuh cinta hingga merasa layaknya tuan rumah di halaman tetangga  terlebih ingin menjadi si tetangga dengan meniru-niru gaya hidupnya. Itupun yasudahlah, karena tak akan habis dibahas.

Namun apa tak nampak bahwa rumput Nusantara memang ijo royo-royo? Begitu banyak dan begitu dalamnya budaya yang ada di Nusantara. Bahtera Nabi Nuh yang berisikan ragam jenis makhluk hidup berdampingan dan tersusun rapi, puluhan bahkan ratusan spesies burung terdapat di pulau berbentuk burung, Papua. Di Eropa matahari dan bulan sering berebut singgasana, di Tanah Air mereka berbagi peran dengan adil. Memiliki musik yang mewakili makhluk bumi untuk diperdengarkan di angkasa luar oleh NASA, Gamelan Jawa tepatnya repertoar Ketawang Puspawarna, hingga musik-musik dari zaman megalitikum yang lestari, misalnya musik vokal Ho dari Nias. Tak habis disebutkan satu persatu kekayaannya. Tetapi rumput itu tak mungkin hijau dan indah begitu saja, harus dirawat dan dijaga bersama.

Andai doa semua anak bangsa di luar negri berbunyi "Tuhan, gunakanlah aku untuk bangsa, negara, dan saudara-saudaraku" tanpa mensyaratkan punya ini-itu terlebih dahulu, pasti rumput Nusantara tampak lebih hijau, indah dan cantik walau tak dari halaman tetangga.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun