Mohon tunggu...
Bimo E. Ardhianto
Bimo E. Ardhianto Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa jurusan Madiun-Surabaya. Pemalu tapi (kayaknya) ndak memalukan. Suka dengan pemandangan alam, tapi tidak suka travelling. Salah satu anggota komisi fiktif penggiat kampanye masyarakat ideal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bunga-bunga yang Menari

20 Juli 2014   04:46 Diperbarui: 18 Juni 2015   05:50 12
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Sudah kau temukan?”

Lelaki itu hanya terdiam. Dia hanya melihat dengan tatapan kosong, tak ada lagi gairah hidup terlihat dari kedua bola matanya. Hanya bayang-bayang kesedihan, kalau bukan rasa iba yang terpancar dari tubuhnya. Tangannya masih terus bergerak, di antara tumpukan-tumpukan batu dan besi-besi bangunan yang roboh, ia mencari-cari. Mencari-cari sisa kehidupan. Tak ia hiraukan luka-luka yang timbul di kedua tangan dan tubuhnya. Tak ia pedulikan lagi semua itu.

Adakah dirimu? Adalah! Kumohon!

“Sebentar lagi kita harus segera pergi. Mereka akan datang. Jika sepuluh menit lagi belum juga kau temukan, kita tetap akan pergi!”

Lagi, laki-laki itu seolah tak mendengar. Ia masih saja terus mencari di antara puing-puing yang ia lihat. Dia tak lagi tahu apa yang seharusnya dilakukan. Pikirannya sudah terlalu lelah, begitu pun dengan tubuhnya. Tapi laki-laki itu tak tahu, mengapa ia masih saja terus mencari di antara puing-puing ini. Dia tak tahu mengapa masih belum juga dia menyerah. Tubuhnya terus saja bergerak, tanpa tahu dari mana tenaganya berasal.

“Sudah cukup! Kita pergi dari sini!”

Tangannya diraih oleh seorang manusia yang sedari tadi berbicara namun tak ia dengar. Seketika, laki-laki itu tersadar.

“Sudah berapa lama? Berapa yang kita temukan?”

Orang yang dia tanya tak menjawab. Tak memandang wajahnya pula. Genggaman laki-laki itu di tangannya terasa begitu kuat. Seolah-olah bisa hancur tulang-tulang tangannya jika laki-laki itu terus saja mencengkeram tangannya. Tanpa kata-kata, laki-laki itu menariknya keluar dari bangunan tempat mereka mempertaruhkan waktu. Laki-laki itu terus saja menarik tangannya, mencari jalan keluar. Dengan terengah, mereka berdua memandang reruntuhan itu sebelum pergi.

Jadi, tak ada lagi yang kami temukan?

----

“Sekitar 1 jam lagi kita akan sampai. Istirahatlah dulu. Biar aku yang menyetir.”

“Baik, Mas.”

Kedua laki-laki itu sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Yusuf, yang lebih tua dan lebih dewasa, sepintar apapun dia menyembunyikan kekhawatirannya, tetap saja gurat-gurat kekhawatiran itu terlihat di wajahnya. Mengendarai mobil menjadi cara baginya untuk bisa lebih tenang. Dia bisa berpikir dengan nyaman jika sedang berkendara. Mantan pembalap mobil ini memang lebih banyak menghabiskan waktu  dengan kendaraan roda empat yang disayanginya. Yusuf dengan kendaraannya tak bisa dipisahkan. Bak sepasang merpati, mereka saling melengkapi. Menjadi pembalap, dulu merupakan cita-citanya. Tapi entah bagaimana, dia justru terdampar di tempat ini bersama dengan Anwar dan yang lain. Jalanan terik yang ia lewati saat ini memberikannya waktu untuk melamun. Dia menggigit-gigit kuku jempol tangan kanannya, tanda kalau ia sedang berpikir sesuatu. Sementara itu, Anwar, pemuda kurus dengan wajah sendu itu melihat keluar jendela tempat duduknya. Dia memandang tanah-tanah gersang tak bertuan yang terhampar luas di hadapannya. Meskipun begitu, pikirannya entah berada di mana. Mereka berdua dalam kondisi yang sama. Lelah dan kesal, sedih dan iba. Dua orang itu memang jarang bernasib baik, entah kalau mereka memang selalu bernasib buruk.  Tak ada yang tahu.

Sebuah telepon genggam berdering, milik Yusuf. Dengan tangan kanannya dia meraih telepon genggam yang ia letakkan di saku celananya. “Halo?”

Sementara Yusuf sibuk dengan telepon genggamnya, Anwar masih saja asyik dalam lamunannya. Pikirannya terbawa pada kejadian beberapa bulan yang lalu. Keputusannya untuk datang di tempatnya berada sekarang memang menuai kontroversi, kalau tak bisa dibilang banyak yang tidak mengizinkan. Keluarganya banyak yang tak mendukung. Kritik akrab di telinganya. Habis manis sepah dibuang, mungkin begitu dirinya.

Kamu mau membuang begitu saja kesempatan untuk mendapat kerja?!

Mau jadi apa kamu di sana?!

Biarlah orang-orang itu saja yang datang ke sana, kamu jangan ikut-ikutan!

Wajah-wajah mereka yang mengutuk kepergiannya kembali terbayang. Ketika dia menutup kelopak matanya, bukannya menghilang, bayang-bayang itu justru semakin jelas. Dia menghembuskan nafasnya, mencoba mengusir wajah-wajah itu. Tapi tetap saja, tak ada yang berubah.

Biarlah.

Lamunannya buyar ketika sebuah benda menyentuh pundaknya.

“Kopi?”

Dia meraih botol yang disodorkan oleh Yusuf itu. Botol itu terasa hangat, entah dari mana kehangatan itu berasal. Anwar memegang botol itu dengan kedua tangannya. Tubuhnya gemetar.

“Minumlah.”

Dia pun meminum kopi yang ada di botol itu. Berapa pun yang ia minum, lidahnya tetap hambar. Tak ada rasa yang masuk ke sarafnya. Seakan sistem sarafnya sudah mati untuk merasa. Tak ada kata yang tepat untuk melukiskan apa yang ia rasa dan pikirkan. Kata-kata tak lagi bisa mewakili.

“Tidurlah. Anak muda seperti dirimu lebih baik banyak tidur. Tubuhmu terlalu kurus, jangan sampai kau sakit karena terlalu banyak berpikir.”

Anwar mengangguk pelan. Meski, untuk tidur pun, ia tak punya hasrat.

----

Pria berambut cepak dan berbadan besar itu duduk sambil menikmati pemandangan gurun pasir di hadapannya. Diam-diam dia berharap yang dia lihat bukanlah sebatas fatamorgana. Tangan kanannya meremas-remas gelas plastik tempat minumnya. Ada rasa gelisah yang tersembunyi dari tiap hembus nafasnya. Sekarang sudah ia habiskan kopi pahit yang selalu menjadi teman setia di tempat ini. Pakaiannya terlihat kotor, begitu pula dengan wajahnya. Tapi, justru itu yang menjadi bukti keberadaannya. Yusuf menghampirinya dari kejauhan. Pria itu memandang Yusuf yang mendekat dengan tatapan kekhawatiran.

Semoga bukan kabar buruk yang kau bawa...

“Pak, bagaimana?”

Yusuf duduk di sampingnya. Mengikuti pria itu memandang gurun pasir yang terbentang luas.

“Apanya?”

Keheningan hadir di tengah pembicaraan mereka. Seolah kesunyian sudah mewakili isi hati dari dua orang pria yang sudah lama hidup dalam elegi ini. Kalau bukan karena suara hati, mungkin mereka sudah pergi.

“Saya rasa Bapak sudah tahu ke mana arah pembicaraan kita.”

Lagi, kesunyian datang. Bukan salah mereka berdua, memang harus seperti ini.

“Mereka sudah semakin gila...”

Yusuf melihat tangan pria itu meremas gelas plastik yang dibawanya dengan keras. Hancur sudah riwayat gelas itu di tangan pria ini.

“Mereka juga menganggap kita ini orang gila, Pak...”

Angin yang berhembus membuat kata-kata yang mereka ucapkan tak terdengar oleh orang lain yang ada di sekitar mereka. Termasuk mereka yang sedang merintih, menitikkan air mata, atau mereka yang sedang sibuk menggerakkan tangannya di antara perban-perban. Semuanya sibuk dengan urusan masing-masing.

“Memang begitu, karena yang gila sudah jadi umum. Kita yang waras akhirnya justru dianggap gila. Gendheng...”

“Saya rasa kita memang sudah gila Pak. Masak tiap hari sibuk mengurusi kehidupan orang? Hahaha...”

“Justru itu yang jadi bukti kalau kita masih manusia. Nggak seperti kebo di luar sana yang hidup mengenyangkan perut sendiri. Seneng seneng dhewe, nggak pernah memikirkan orang lain...”

“Bapak ini Jawanya terlalu kentara. Saya kadang malah nggak paham Pak...”

Dua pria itu mengistirahatkan pikiran mereka yang lelah dengan bercerita, selalu begitu. Dengan bercerita, beban yang ada dalam pundak mereka seolah berkurang, karena ada orang lain yang ikut membantu menanggungnya, seperti saat ini. Mereka yang hanya bisa minum kopi atau teh, kalau tidak air putih ini tidak pernah merasa butuh pergi ke tempat-tempat mewah untuk sekedar menyegarkan pikiran.

“Tadi pagi ada yang mengalami pendarahan hebat Yus. Tangan kirinya penuh darah. Kasihan, padahal masih seumuran anakku.”

Yusuf yang di ajak berbicara terlihat sedikit kaget. Berita semacam ini memang sudah sering terdengar olehnya, namun tetap saja setiap kali ada kabar seperti ini, hati kecilnya selalu terusik.

“Sekarang bagaimana Pak?”

“Lumayan, sudah agak mendingan. Tapi kasihan, dia terus menangis. Indri sejak tadi menemaninya, tapi terakhir kali kulihat, justru Indri malah ikut menangis...”

“Saya rasa kalau saya yang menemani dia, saya juga pasti ikut menangis Pak...”

“Heh, jangankan kau, aku saja juga pasti mbrebes mili. Tampangku memang preman, tapi jiwaku manusia...”

“Bagaimana Pak dengan saya? Apa jiwa saya?”

“Ya ndak tahu saya. Coba tanya saja sama dirimu sendiri, siapa tahu kau berjiwa kebo. Hahaha!”

Mereka berdua tertawa, menertawakan guyonan yang diucapkan oleh pria berbadan besar itu.

“Bagaimana temanmu itu? Sudah melewati kaget belum?”

Yusuf meminum minumannya terlebih dulu, sebelum kemudian menjawab pertanyaan itu.

“Butuh lebih lama lagi, Pak.”

----

Anwar duduk di sebuah batu yang ia susun sedemikian rupa. Kakinya diluruskan, memberi waktu istirahat bagi otot-otot kaki yang sudah sedari tadi menjerit. Jari-jarinya saling berpegangan, seolah kedinginan di tengah panas tanah tempatnya sekarang berada. Pandangannya tertuju pada sesosok gadis kecil yang sedang bermain pasir. Sesekali tersenyum, bermain dengan imajinasi miliknya sendiri. Entah apa salahnya, hingga dia harus hidup di bawah bayang-bayang amukan penguasa. Anwar terus memandanginya.

“Namanya Aisha.”

Seorang gadis berusia lebih tua darinya, tiba-tiba datang dan duduk sedikit jauh di sampingnya. Di wajahnya, walau tak terlihat jelas, terdapat bercak merah, darah. Anwar tahu, itu bukan darahnya.

Aisha?

“Apakah dia baru, Mbak?”

Wanita itu tak langsung menjawab pertanyaannya. Dia menghela nafas panjang. Memandang ke angkasa, seolah bertanya pada dirinya sendiri.

Apakah harus kuceritakan?

“Iya. Tadi pagi ketika kau dan Yusuf pergi mencari ‘mereka’, dia ditemukan oleh Pak Burhan. Kasihan, orang tuanya sudah tak ada. Dia sendirian menyeberang dari utara. Sedih aku melihatnya An, tak kuasa aku menahan air mata ketika melihatnya berjalan tertatih membawa barang-barangnya. Wajahnya penuh debu, kurus sekali dia... Begitu kita temukan, kau tahu apa yang ia ucapkan pertama kali pada kita?”

Angin nakal mengganggu pembicaraan mereka, wanita itu terpaksa harus berhenti sesaat sebelum meneruskan kata-katanya.

“’Bapak, tolong saya...’, katanya.”

Anwar memandang gadis kecil itu lagi. Matanya berkaca-kaca, sesaat.

Debu-debu sialan.

Setelah itu, topik pembicaraan mereka berubah.

“Kapan kau akan kembali ke negaramu, A’an?”

Panggilan itu lagi, dasar Mbak Indri...

“Mungkin beberapa bulan ke depan, Mbak.”

Kalau tidak beberapa tahun lagi...

“Apakah kau rindu dengan keluargamu? Dengan teman-temanmu di sana?”

Rindu?

“Aku hanya ingin berada di sini untuk beberapa waktu ke depan, Mbak.”

Perempuan itu bisa melihat kesungguhan dari kedua matanya. Dia tersenyum mendengar kata-katanya.

“Sangat jarang ada anak muda seperti dirimu di negara itu. Kudengar, negaramu sudah ‘hancur’ ya?”

“Kurasa hancur bukan kata yang tepat, Mbak. ‘Rusak’, mungkin lebih pas.”

“Apa bedanya?”

“Apakah harus kujawab, Mbak?”

Wanita itu tersenyum, mengiakan pertanyaannya.

“Kalau hancur, aku hanya perlu ‘mencari yang baru’. Kalau rusak, aku perlu memperbaikinya. Sedikit-sedikit, menghilangkan racun yang merusaknya. Kemudian kubuat jadi baik kembali.”

“Mahasiswa memang masih punya otak yang hebat!”

Wanita yang bernama Indri itu tertawa. Sementara Anwar hanya tersenyum sedikit, menyembunyikan sudut bibirnya.

Tidak semuanya, Mbak.

----

“Bagaimana keadaanmu sekarang?”

Pertanyaan dari lelaki yang hampir seharian bersamanya itu membuat Anwar terbangun dari lamunannya. Malam ini, Anwar menghabiskan waktu di tempat yang sama. Seperti hari-hari yang lain.

“Sudah mendingan, Mas...”

Lelaki itu tersenyum, kemudian tertawa. Menunjukkan gigi-gigi putihnya yang terawat, bersih.

“Sudah kubilang dia akan baikan setelah beberapa saat sendirian, bukan begitu A’an?”

Seorang gadis ikut meramaikan pembicaraan.

Tidak bisakah nama panggilan itu kau ganti, Mbak?

Anwar meringis mendengar kata-kata dari perempuan itu. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal, menyembunyikan rasa malunya.

“Iya Mbak Indri, iya... Kenapa tidak kau saja yang menjadi partner-nya saja? Kau ‘kan sangat mengerti dia?”

Pernyataan dari Yusuf itu seketika membuat perempuan yang ditanya hanya tertawa. Tertawa lepas, seolah tak ada beban. Dan memang pada waktu-waktu seperti inilah mereka bisa tertawa lepas, setelah orang-orang yang mereka khawatirkan tertidur pulas.

“Bisa-bisa dia ke ge-eran nanti kalau aku yang menemaninya. Bisa jadi aku jadi cinta monyetnya lagi?”

Tiba-tiba, suara seorang pria yang lebih tua dari Yusuf terdengar keras dari belakang mereka.

“Kalau sampai Indri jadi cinta monyetnya, jangan-jangan Yusuf jadi cinta gorilanya ya?!”

Suara dari pria besar itu, membuat malam ini seperti malam-malam yang lain, penuh kehangatan dan kebahagiaan yang sederhana. Kebahagiaan yang tidak memerlukan tumpukan uang dan perhiasan.

“Wah wah, Pak Burhan ini, mentang-mentang sudah beristri seenaknya saja mengejek saya yang perjaka tua ini?”

“Atau jangan-jangan, diam-diam kau sudah punya calon ya Yus? Siapa? Indah dari kelompok sebelah ya?”

“Hei! Jangan keras-keras! Nanti kalau dia dengar gimana? Bisa-bisa rencanaku untuk melamarnya diam-diam jadi batal tahu!”

Anwar hanya tersenyum mendengar pembicaraan orang-orang yang beberapa bulan terakhir ini menjadi keluarganya. Guyonan tentang cinta dan pernikahan yang selalu menjadi topik utama di antara mereka memang sudah menjadi kewajaran. Mereka memang sudah tak lagi muda. Dan di antara anggota kelompok di mana dia menjadi bagian di dalamnya sekarang ini, hanya Pak Burhan dan beberapa anggota lainnya yang sudah berkeluarga. Kebanyakan dari mereka sibuk memikirkan kehidupan orang lain. “Apa yang nanti mereka makan?”, “Bagaimana hidup mereka ke depannya?”, “Siapa nanti yang akan menghidupi anak-anak yang jadi korban ini?”, dan beberapa pertanyaan lain, sibuk berjalan dalam angan pikiran mereka. Masa muda mereka habiskan untuk berpikir dan membantu orang lain, sampai masa itu habis dan sekarang setelah masa itu berakhir, mereka baru menyadari bahwa pasangan pun mereka tak punya. Jangankan pasangan, kisah cinta monyet pun mereka tak punya. Guyonan tentang cinta dan pasangan menjadi akrab di tengah mereka, bukan untuk menyesali masa yang telah mereka habiskan selama ini, tapi justru menjadi semangat untuk terus melakukan apa yang selama ini mereka perjuangkan, idealisme dan kemanusiaan.

Justru kalau melamar perempuan nanti gampang meyakinkan kalau kita ini orang baik-baik. Bagaimana tidak baik, di masa muda kita saja tak pernah yang namanya main hati?!

Kita ini jadi orang dengan harga yang tinggi, sampai tua bahkan hanya ada satu orang yang berhasil menguasai kita!

Guyonan senada dengan apa yang Anwar bayangkan sudah akrab di telinganya. Entah mengapa, Anwar merasa sangat bahagia bisa berada di tengah mereka.

“Oh ya, malam ini giliranmu yang menjaga dari kelompok kita A’an... Apa kau siap?”

Pertanyaan itu menyadarkan Anwar kembali. Dia melihat wajah ketiga orang yang dari tadi berbicara penuh kehangatan itu sudah mulai terlihat tanda-tanda kelelahan. Mereka butuh tidur segera, sepertinya.

“Siap, Mbak. Silahkan kalau Mbak Indri, Mas Yusuf, dan Pak Burhan ingin tidur, biar saya yang menjaga malam ini...”

“Oke bos, kami bertiga pergi dulu. Hati-hati bos...”

“Iya A’an, hati-hati ya...”

“Jaga pandangan dan kewaspadaanmu, kalau ada apa-apa jangan sungkan bangunkan komandan ya!”

Anwar tersenyum melihat ketiga orang itu melangkah menuju tempat istirahat mereka masing-masing. Dia harus berjaga malam ini, sampai esok hari tiba.

Malam ini, Anwar kembali menghabiskan waktunya dengan merenung, memikirkan apa yang menurutnya pantas ia pikirkan. Sudah beberapa bulan ini, hampir 5 bulan mungkin, dia menghabiskan waktunya di tengah tangis dan ironi. Hampir setiap hari dia menghabiskan waktu membantu membalut luka, mengobati rasa sakit mereka yang telah lama hidup dalam penderitaan dengan beberapa botol obat antiseptik dan obat luka luar. Anwar tahu, kerja kerasnya, dan juga kerja keras teman-temannya yang lain, hanya bisa menyembuhkan luka di tubuh mereka. Namun, sakit yang ada di dalam hati mereka, tak akan bisa sembuh jika tanpa waktu yang panjang. Anwar ingin meneteskan air matanya lagi, tapi dengan cepat ia segera menyekanya. Memang, tangis dan air mata bukan tanda kelemahan di tempat ini. Justru mereka menjadi bukti kalau manusia itu masih hidup sebagai manusia. Sering Anwar melihat Pak Burhan yang berbadan besar itu menitikkan air mata ketika sendirian, begitu ia tanya mengapa menangis, dengan suara yang lembut, Pak Burhan menjawab pertanyaannya itu.

Aku ingat akan Ridwan, bocah kecil berkaki satu yang meninggal di pelukanku...

Anwar terus saja merenung. Melompat-lompat antara satu ingatan menuju ingatan yang lain, antara satu kenangan menuju kenangan yang lain, begitu seterusnya. Cahaya bintang dan rembulan semakin membuatnya betah untuk terus merenung, walau suhu malam ini cukup dingin. Tapi dinginnya malam ini tak membuat tubuhnya menyerah, dia masih kuat terjaga. Tiba-tiba, dia melihat seorang gadis yang berjalan mendekatinya dari kejauhan. Lama-lama sosok itu semakin jelas terlihat.

Aisha?

“Aisha? Ada apa?”

Gadis kecil itu melihat Anwar dengan tatapan yang dalam, ada banyak cerita yang tersimpan dari tatapan matanya. Anwar mendekati gadis kecil itu, merendahkan tubuhnya agar dia dan gadis itu bisa berdekatan, tidak terpisah dengan tinggi yang lumayan jauh.

“Tidak tidur? Aisha nggak ngantuk?”

Gadis kecil itu mengangguk pelan. Anwar tersenyum melihat tingkahnya...

“Mau menemani kakak?”

Gadis kecil itu mengangguk, lagi.

Sambil tersenyum, Anwar mengajak gadis itu menuju tempatnya merenung tadi. Aisha duduk di sampingnya. Tangan kanan Anwar memeluk tubuhnya yang kecil untuk membuatnya lebih hangat. Dia pasti kedinginan.

“Aisha umur berapa sekarang?”

Anwar bertanya pada gadis kecil itu. Gadis yang ditanya tampak memejamkan mata sebentar, sebelum menjawab pertanyaannya.

“Enam tahun, Kak...”

Anwar tersenyum mendengarnya. Akan tetapi, ada pula rasa sendu yang hinggap di lubuk hatinya. Baru

Baru enam tahun, ya?

Anwar tak lagi bertanya pada gadis kecil itu. Dia bingung, apa yang harus dia tanyakan lagi padanya. Namun, gadis itu rupanya juga ingin bertanya padanya.

“Kak, apa kakak punya ayah?”

Ayah?

“Ayah? Kakak punya, Aisha...”

“Kalau ibu?”

Ibu?

“Ibu? Kakak juga punya, Aisha... Ada apa Aisha?”

Anwar melihat gadis itu tampak memainkan bajunya dengan jari-jemarinya.

Apakah engkau merindukan mereka Aisha?

“Apakah kakak masih mengingat wajah mereka?”

Apakah kau tak bisa mengingatnya, adikku?

“Masih Aisha, kakak masih bisa mengingat wajah mereka...”

Gadis itu menatap Anwar dengan tatapan yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Anwar membetulkan kerudungnya yang tampak agak kendur, terlihat jelas luka di pelipisnya. Samar-samar terlihat pula bekas luka di pipinya.

“Bagaimana wajah ayah dan ibu kakak? Apakah menyeramkan? Apakah mereka terlihat seperti monster?”

“Apa? Haha, tentu tidak Aisha. Ayah dan Ibu tidak berwajah seperti itu. Mereka sering tersenyum, juga tertawa. Seperti Pak Burhan itu, dan istrinya. Ayah dan ibu kakak seperti mereka...”

Gadis itu kembali menerawang jauh, membayangkan entah apa. Anwar tersenyum getir melihatnya.

Apakah kau pernah melihat wajah orang tuamu Aisha?

“Apakah wajah ayah dan ibu Aisha seperti itu?”

“Pasti wajah ayah dan ibu Aisha seperti itu... Kakak yakin wajah mereka tidak seperti monster...”

Anwar membelai wajahnya dengan lembut.

Kau anak yang hebat...

“Di mana kakak tinggal?”

Gadis itu memulai pembicaraan mereka kembali.

“Di sebuah tempat yang jauh Aisha... Jauh sekali dari sini....”

Sangat jauh...

“Apakah di sana ada banyak makanan kak?”

“Iya... Di sana banyak sekali makanan yang bisa di makan...”

“Kalau begitu, pasti semua orang di sana kaya ya kak? Punya banyak makanan?”

“Kau benar, mereka semua kaya Aisha... Mereka punya banyak sekali makanan, mereka juga punya banyak uang Aisha...”

Tapi...

“Apakah mereka akan datang kemari kak?”

“Kakak tidak tahu Aisha... Mereka tidak punya waktu untuk datang menjenguk Aisha...”

“Kenapa kak? Aisha hanya ingin minta sedikit makanan kak... Aisha kasihan dengan kakek Umar yang tak punya makanan di rumahnya...”

“Kakek Umar? Apakah kakek Umar itu kakek Aisha?”

“Bukan Kak. Tapi ketika berjalan dari sana...”, gadis itu menggunakan telunjuknya untuk menunjuk ke arah utara. “Kakek Umar menemani Aisha. Tapi kakek Umar di tengah jalan tertidur, dia bilang Aisha berjalan saja dulu, nanti kakek akan menyusul. Tapi sampai sekarang kakek Umar belum datang juga. Mungkin kakek Umar kelaparan kak...”

Anwar tertegun.

Jadi ada yang menemanimu dan sekarang beliau sudah tiada? Lagi?

Anwar memutuskan untuk membuka pembicaraan lagi. Kali ini, ia ingin gadis kecil ini mendengarkan sebuah cerita. Cerita sederhana yang sudah lama ia ketahui. Dia ingin gadis kecil itu mengetahuinya pula.

“Aisha, maukah Aisha mendengarkan sebuah cerita?”

“Cerita apa kak?”

“Tentang bunga-bunga yang menari... Mau mendengarnya?”

“Bunga-bunga? Apakah itu cerita yang bagus kak?”

“Kau tidak akan tahu kalau kau belum mendengarnya bukan?”

“Baiklah... Silahkan kakak bercerita, Aisha yang akan mendengarkannya!”

Anwar tersenyum, gadis itu tampak lebih bersemangat sekarang. Seiring bertambah malamnya hari itu, Anwar ingin menceritakan sebuah cerita untuk gadis kecil itu sebagai cerita pengantar tidur. Dia yakin, gadis ini pasti akan senang mendengar ceritanya.

Sebuah cerita tentang bunga-bunga yang menari...

----

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun