Mohon tunggu...
Bimo E. Ardhianto
Bimo E. Ardhianto Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa jurusan Madiun-Surabaya. Pemalu tapi (kayaknya) ndak memalukan. Suka dengan pemandangan alam, tapi tidak suka travelling. Salah satu anggota komisi fiktif penggiat kampanye masyarakat ideal.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Terang Bulan

12 Oktober 2014   03:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:25 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya pernah membayangkan, tidak hanya pernah sebenarnya, tapi sering sekali. Sering sekali saya membayangkan dunia ini. Dunia ideal yang menurut saya baik. Tak ada orang yang melacur, tak ada anak-anak yang mencari segepok nasi di siang atau sore hari. Semuanya begitu ideal. Baik di semua sisi-sisinya, sampai yang paling dalam sekalipun. Dan sering pula karena itu saya justru hidup dalam mimpi, tanpa pernah punya keinginan untuk terbangun.

Saya rasa saya lebih pantas dibilang pemimpi daripada pemimpin. Daripada sering berkutat dengan tugas dan pikiran, saya lebih sering membayangkan. Saya lebih suka melukis angan-angan di pikiran saya, kemudian tinta-tinta imajinasi itu saya rekatkan erat-erat dengan selotip keinginan yang berwarna transparan. Begitu mudahnya hal itu saya lakukan. Ketika ingin tidur, lukisan itu tanpa saya panggil sudah hadir kembali di samping tempat tidur saya. Begitu saya memejamkan mata, tiba-tiba lukisan diam itu bergerak dengan indahnya, seperti tinta-tinta yang tadi saya lukiskan menjadi sebuah kehidupan tersendiri. Hebat! Kagum saya dengan Tuhan yang tahu kalau saya begitu ingin melihat bagaimana kehidupan di dunia ideal yang saya lukis dengan angan-angan itu. Tapi kemudian saya tak tahu apakah Tuhan hanya ingin menghibur diri saya atau tidak. Karena ketika saya terbangun esok harinya, dunia masih tetap sama, tidak bergerak seperti tinta yang kemarin malam saya lihat dan hidup itu.

Hari-hari saya lalui dengan rasa murung dan tak bersemangat. Saya seperti tak punya gairah untuk hidup, berulang kali saya mengimajinasikan kematian saya. Apakah saya akan mati ketika berusaha melindungi seorang nenek tua yang ingin menyeberang jalan? Ah, tidak, mungkin saya akan mati ketika ingin menolong kakek tua yang rumahnya digusur orang-orang yang ingin menguasai tanahnya untuk mendirikan pabrik atau bangunan mewah pendulang uang diperkotaan. Atau mungkin, saya mati ketika berusaha menyampaikan kebenaran pada penguasa yang bermuka tiga dan bertangan empat, memukuli dan menyayat kulit-kulit saya. Tapi, saya tak tahu pasti apakah akan demikian atau tidak.

Umur saya bertambah tua dan kemudian saya telah menjelma menjadi seorang manusia dengan status sosial yang lebih tinggi, walaupun tetap saja menjadi pelajar. Tapi hidup saya bertambah buruk. Keluarga besar saya mengucilkan saya bahkan tak lagi menghiraukan apakah saya hidup atau tidak. Penyebabnya, saya tak belajar seperti yang mereka inginkan. Mereka ingin saya jadi pilot, jadi dokter, lalu jadi direktur, kemudian menjadi teknisi. Pada awalnya saya mengikuti permintaan mereka, tapi kemudian karena batin saya tersiksa, saya pun tak lagi memikirkan apa yang mereka harapkan pada saya. Saya lepas dokter sampai direktur, saya buang pilot dan teknisi. Saya kejar ilmu-ilmu kehidupan, tentang bagaimana menyuapi kakek yang terkena kanker hati, bagaimana menjahit hati anak kecil yang hidup didampingi pecut dan sapu berijuk duri-duri yang diambil dari kulit ari siluman berjubah hitam di tengah kota. Ditambah lagi saya belajar ilmu tentang menafsirkan air mata yang jatuh dari kelopak mata adik-adik saya yang hidup dalam bui yang dibuat oleh dunia yang ingin mereka lepaskan. Saya belajar hal itu, dan kemudian saya diabaikan. Memang aneh, saya pikir waktu itu. Keluarga saya bilang mereka sakit hati karena tindakan yang saya lakukan. Tapi, jauh sebelumnya, hati saya sudah terlanjur basi karena melihat keluarga menggerogoti kehidupan orang lain. Saya memang picik.

Tak hanya keluarga yang kemudian menjauh, teman-teman sayapun demikian. Mereka menghilang satu persatu setelah saya sapa dengan salam kehidupan. Saya bilang, “Jangan sering pamerlah di dunia maya, simpanlah hal itu untuk dirimu sendiri. Aku lebih suka kau menampilkan wajah orang-orang berkulit hitam cokelat yang biasa makan nasi bungkus tanpa isi di kolong jembatan di selatan kota yang sering kita hampiri.” Setelah itu mereka terusik, mungkin salah saya juga karena tak tahu kata apa yang tepat untuk menyampaikan apa yang saya maksud. Tapi setelah itu saya seperti tersadar, bahwa di dunia ini saya harus benar-benar bertahan hidup untuk mencari tempat kecil yang setidaknya sedikit sesuai dengan apa yang saya inginkan. Entah apakah tempat itu bisa saya temui atau tidak.

Semenjak itu saya sendiri. Berjalan di tengah rel kereta api yang telah lama terbengkalai di tengah pedesaan yang sawahnya telah berganti dengan bata-bata yang ditumpuk dan direkat dengan semen. Dinginnya angin malam membuat tubuh saya menggigil, mungkin kalau bukan karena jaket kulit pemberian bapak pemulung yang saya bantu memungut tubuh anaknya yang jatuh di got, saya sudah kedinginan sampai relung hati saya yang paling dalam. Bibir saya bergetar dengan kecepatan yang tak tentu, kadang cepat, tapi juga lambat. Mata saya tak bisa terpejam dengan tenang, sekuat apapun saya ingin menidurkan diri dengan membaringkan tubuh saya di rel kereta ini. Saya kembali mengingat apa yang sudah saya lihat di dunia ini. Perempuan-perempuan yang dengan bangganya mempertontonkan bagian-bagian tubuh mereka dan pria-pria yang dengan geregetan berebut untuk mengintipnya. Remaja-remaja yang hidup dalam kesenangan dalam diri mereka, keluarga yang mengusir saya, teman-teman yang meninggalkan saya, lalutak lagi memedulikan apa arti saya dalam hidup mereka. Lengkap sudah saya pikir kesendirian saya.

Dan ketika itu, untuk pertama kalinya saya merasa ada sesuatu yang hangat yang keluar dari kelopak mata saya. Ah, ini air mata, saya yakin itu. Sepertinya tubuh saya sudah tak kuat lagi menahan apa yang disembunyikan oleh jiwa saya. Hidup saya sudah semakin mendekati akhir, karena saya pernah bermimpi setelah saya menangis seperti ini seseorang dengan tangan-tangan besar akan membekap saya dan membawa saya turun ke bawah, ke dalam lapisan di bawah bumi yang katanya akan menjadi tempat saya untuk hidup berikutnya. Dalam mimpi itu saya mengikutinya dan kemudian setelah itu dia meninggalkan saya sendirian, tanpa kata-kata apapun untuk menjadi pegangan saya di tempat baru itu. Barulah setelah itu saya sadar, sepertinya hidup saya diakhiri olehnya. Tanpa meninggalkan kenangan di dunia sebelumnya.

Tapi, saya tak ingin mimpi saya itu terwujud, saya ingin mengubah akhir hidup saya itu menjadi sedikit lebih baik. Setidaknya ketika mati saya harus dalam keadaan menolong orang atau setidaknya ketika saya mati saya dibunuh oleh orang jahat yang tak ingin saya menyampaikan kebenaran. Saya ingin mati seperti itu. Dengan tubuh yang masih menggigil dan dengan sisa-sisa airmata yang masih membekas di pipi saya, jiwa saya mendorong saya untuk bangkit. Saya ikuti dorongan itu meski sebenarnya saya sudah benar-benar tak punya tenaga untuk sekedar melangkahkan kaki saya selangkah ke depan. Tapi entah dari mana datangnya tenaga itu, saya bisa menegakkan tubuh saya. Kaki saya masih menempel di tanah dan mata saya masih bisa melihat dengan jelas terang atau gelap malam ini.

Kemudian di kejauhan, saya melihat dunia itu. Saya tak percaya, benar-benar tak percaya! Itu dunia yang dulu saya lukis!

---

Ketika langit malam membisu..

Madiun, 11 Oktober, 2014.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun