Cukup maraknya wacana tentang kegiatan Pemberdayaan Masyarakat kedepan, tidak terlepas dari berakhirnya peran program PNPM-Mandiri Perdesaan pada penghujung tahun 2014. Meskipun UU no.06/2014 tentang Desa maupun peraturan pendukungnya sudah tersosialisasi cukup lama, hal tersebut tidak serta merta menghentikan derap persepsi yang berkembang. Khususnya di kalangan mantan fasilitator maupun segenap pemerhati kegiatan pemberdayaan.
Secara substantif, Pemberdayaan Masyarakatadalah suatu proses yang membangun manusia atau masyarakat melalui pengembangan kemampuan masyarakat, perubahan perilaku masyarakat, dan pengorganisasian masyarakat. Jadi cukup jelas bahwa subyeknya adalah masyarakat.
Menengok sedikit kebelakang tentang PNPM-Mandiri Perdesaan, bahwa apa yang sudah dilaksanakan dan diwariskan oleh program banyak mendapatkan pujian dari banyak pihak (kalau boleh klaim). Meskipun juga tidak bisa dipungkiri, cukup banyak kritik tajam yang ditujukan. Hal tersebut tentu masih bisa diperdebatkan karena tidak berdasar pada hasil jajak pendapat yang akuntabel.
Kalau mau jujur, klaim keberhasilan boleh dikedepankan jika pelestarian aset dan norma yang sudah dibangun berhasil dikembangkan pasca program. Minimal dipertahankan kualitasnya. Bagaimana jika tidak..??. Jangan pernah berbangga, bertepuk dada atau bahkan meminta prioritas untuk diistimewakan dalam pengawalan selanjutnya.
Fasilitasi dalam pembaruan tata kelola desa bukanlah sesuatu yang mudah dilakukan hanya dengan kualitas pendamping yang pas-2an. Cukup banyak hal terkait dengan pendampingan selama ini yang harus ditelaah ulang, dipahami dan ditingkatkan kualitasnya agar kembali on the track. Khususnya keahlian (skill), komitmen, pola pendampingan dan pengetahuan pendamping (fasilitator). Kredo pendamping harus dipahami dengan benar dan dipraktekkan secara sungguh-2.
Masalah pertanahan (terkait pelestarian aset), pengalihan pengelolaan hutan oleh Desa (sudah ada PP-nya), ekonomi kerakyatan sampai dengan pemerintahan desa yang bersih (Good Governance) hanyalah segelintir isu strategis. Dan sekaligus tantangan yang harus terfasilitasi dengan baik, jika masuk dalam dokumen Perencanaan maupun pendampingan pembaruan tata kelola pemerintahan desa sesuai dengan amanat UU no.6/2014.
Berbicara tentang sistem maupun tolok ukur keberhasilanpun harus hati-2. Jangan hanya karena terbebani oleh Standar Kinerja tertentu, maka hal-hal yang sifatnya substantif jadi ditinggalkan. Demikian pula halnya dengan beban kerja pendamping, semua harus seimbang dan proporsional. Itu kalau mau disebut Profesional..!!
Standar ganda yang diterapkan selama ini dalam menilai keberhasilan pendampingan, cenderung sudah mulai menggeser ruh pemberdayaan menjadi sebuah kegiatan Project belaka. Bukan berarti kuantitas tidak perlu (terkait capaian kegiatan), tapi juga naif jika kualitas jadi dikorbankan.
Early Warning System yang digembar-gemborkan selama ini ternyata tidak bisa berjalan efektif. Penghentian program secara mendadak, tanpa didahului masa transisi terlebih dahulu adalah contoh riil tidak berjalannya sistem. Sehingga akhirnya lapisan masyarakat dibawah kelabakan dan menjadi korban. Ciri khas kegiatan Project jelas sangat mencolok mata disini.
Demikian pula halnyadengan keberlanjutan pendampingan kedepan. Masih belum jelasnya aturan main yang akan diterapkan, membuat segenap pihak menjadi resah. Kondisi ini cukup wajar mengingat masih belum jelasnya pengelolaan pendampingan Desa oleh Kementerian terkait.
Tarik menarik kepentingan antara Kementerian Dalam Negeri dan Kementerian Desa, PDT dan Transmigrasi terhadap kewenangan pengelolaan pendampingan, hanya salah satu diantaranya. Kalaupun semua itu sudah diatur dalam bentuk regulasi (Perpres no. 11 & 12 tahun 2015) dan nomenklaturnyapun sudah ada, bukti implementatif di lapangan masih belum terwujud. Ujung-ujungnya beredar isu penggalangan pendamping dari berbagai organisasi hanya untuk sekedar mengamankan posisi.
Keadaan menjadi runyam tatkala mayoritas kepentingan tertentu ikut mengambil alih peran didalamnya. Tanpa disadari, bisa saja penggalangan yang telah dilakukan sudah masuk ke ranah kepentingan politis. Hal ini sah-sah saja, mengingat pendamping eks PNPM-Mandiri Perdesaan yang jumlahnya mencapai puluhan ribu orang adalah basis kekuatan yang patut diperhitungkan. Bila tidak berhati-hati melangkah, maka fasilitator pendamping bisa mempunyai warna tertentu dan tidak lagi netral.
Pemangku kebijakan di Pusat, mudah-mudahan menyadari bahwa kegiatan tugas pendampingan kepada masyarakat yang bersifat nasional dan bersumber dari dana Negara seyogyanya tidak dipolitisasi. Apalagi sampai berlabel partai tertentu meskipun ada upaya untuk menyamarkan penampakannya. Sehingga mempercepat kejelasan dan keberadaannya dalam waktu dekat.
Dengan demikian diharapkan Rekonfigurasi pembaruan pendampingan masyarakat dan Desa yang berkualitas, bebas dari kepentingan elite politik tertentu, mampu menciptakan Good Governance serta betul-betul dirasakan manfaatnya oleh masyarakat bisa terwujud. Dan itu bukan tidak ada solusinya. SALAM PEMBERDAYAAN..!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H