John Stuart Mill (1806 – 1873), On Liberty (1859).
“ First, if any opinion is compelled to silence, that opinion may, for aught we can certainly know, be true. To deny this is to assume our own infallibility. Secondly, though the silenced opinion be an error, it may, and very commonly does, contain a portion of truth; and since the general or prevailing opinion on any subject is rarely or never the whole truth, it is only by the collision of adverse opinions that the remainder of the truth has any chance of being supplied. Thirdly, even if the received opinion be not only true, but the whole truth; unless it is suffered to be, and actually is, vigorously and earnestly contested, it will, by most of those who receive it, be held in the manner of a prejudice, with little comprehension or feeling of its rational grounds. And not only this, but, fourthly, the meaning of the doctrine itself will be in danger of being lost, or enfeebled, and deprived of its vital effect on the character and conduct: the dogma becoming a mere formal profession, inefficacious for good, but cumbering the ground, and preventing the growth of any real and heartfelt conviction, from reason or personal experience. “
John Stuart Mill (1806 – 1873) menjelaskan pentingnya kebebasan berbicara dalam karya klasiknya, On Liberty (1859).
Kebebasan berbicara merupakan bidang kebebasan manusia yang tepat. Bidang ini, pertama-tama terdiri dari bidang kesadaran batin, yang menuntut adanya kebebasan kata hati dalam artian yang paling sempurna, kebebasan pemikiran dan perasaan, kebebasan mengungkapkan pendapat dan perasaan terhadap semua hal, yang bersifat praktis atau spekulatif, keilmuan, moral, atau teologi. Kebebasan mengungkapkan atau mempublikasikan pendapat tampaknya dapat digolongkan dalam prinsip yang berbeda, karena hal itu termasuk dalam bagian perilaku individu yang memikirkan orang lain, tetapi karena hampir sama pentingnya dengan kebebasan berpikir itu sendiri dan cenderung berlandaskan pada alasan yang sama, maka secara praktis ia tidak dapat dipisahkan darinya
Bagi Mill, pikiran membutuhkan kebebasan untuk mengeluakan pendapat secara lisan dan tertulis. Pencarian kebenaran menuntut bahwa tantangan perdebatan dan perbedaan pendapat dimungkinkan. Mill mengemukakan hal ini dari empat sudut pandang yang berbeda:
Pertama, apabila sesuatu pendapat dipaksa untuk diam, kita dapat mengetahuinya dengan pasti bahwa pendapat itu mungkin benar. Menyangkal hal ini berarti kita berasumsi bahwa kita tidak mungkin salah.
Kedua, meskipun pendapat yang dipasung itu boleh jadi salah, hal itu mungkin, dan setidak-tidaknya seringkali mengandung kebenaran dan karena pendapat umum atau yang tersebar luas tentang suatu hal jarang atau tidak pernah benar seluruhnya, maka hanya dengan mengawinkan berbagai pendapat yang berbeda kita dapat memperoleh kebenaran.
Ketiga, sekalipun pendapat yang diterima mungkin tidak hanya benar, tetapi benar dalam artian menyeluruh, jika hal itu ditindas dan kenyataannya memang demikian, serta ditentang keras dan gigih, pendapat itu akan dianut dengan prasangka oleh hampir semua orang tanpa benar-benar memahami dan merasakan landasan nalarnya.
Keempat, ternyata tidak hanya itu, tetapi arti doktrin itu sendiri akan terancam hilang atau ditafsirkan secara keliru dan tidak memiliki arti persepsi fomal, tidak ampuh bagi kemanfaatan, sebaliknya merusak landasan dan menghambat pertumbuhan setiap kenyakinan yang sesungguhnya dan dirasakan penuh, yang timbul dari penalaran atau pengalaman pribadi.
Tanpa kebebasan berbicara kebenaran akan hilang, tidak pernah ditemukan atau melemah. Dengan mengasumsikan bahwa kebenaran dapat ditemukan, kebebasan berbicara adalah penting, sekalipun tidak ada kebenaran yang harus ditemukan kebebasan berbicara tetap masih penting sebagai satu-satunya alat yang tersedia untuk memilih yang terbaik dari yang terburuk.
Pendapat secara umum diartikan sebagai buah gagasan atau buah pikiran. Mengemukakan pendapat berarti mengemukakan gagasan atau mengeluarkan pikiran. Dalam kehidupan negara Indonesia, seseorang yang mengemukakan pendapatnya atau mengeluarkan pikirannya dijamin secara konstitusional. Menyampaikan pendapat di muka umum merupakan salah satu hak asasi manuasia yang dijamin dalam Pasal 28 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 menentukan “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang”.
Kemerdekaan menyampaikan pendapat tersebut sejalan dengan Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia yang menjelaskan: “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat dengan tidak mendapat gangguan dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan dan pendapat dengan cara apa pun juga dan dengan tidak memandang batas-batas”.
Perwujudan kehendak agar seluruh tatanan sosial dan kelembagaan baik infrastruktur maupun suprastruktur tetap terbebas dari penyimpangan atau pelanggaran hukum yang bertentangan dengan maksud, tujuan dan arah dari proses keterbukaan dalam pembentukan dan penegakan hukum sehingga tidak menciptakan disintegrasi sosial, tetapi justru harus dapat menjamin rasa aman dalam kehidupan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H