Mohon tunggu...
Bima Sujatmiko
Bima Sujatmiko Mohon Tunggu... Lainnya - Biasa Saja

menyelaraskan olah fikir dan suara hati

Selanjutnya

Tutup

Catatan

"selaluada" itu namaku

19 Februari 2015   20:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:53 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

selaluada itu nama email saya. Banyak orang heran mengapa selaluada yg menjadi pilihan?

Ada yang bilang lucu, aneh, bahkan mungkin diantara mereka juga ada  yang berpikir sebuah pilihan nama yang absurd. Kalau tidak berkernyit dahi, mesti tersenyum atau tertawa saat pertama kali mendengarnya. Dan selalu bertanya kembali "selaluada" seakan ingin memastikan nama email itu benar, benar yang didengarnya atau benar yang saya sampaikan.

Untuk sebagian besar orang, nama email mereka akan mengandung nama, bagian nama, atau nama panggilan mereka, hal ini dimaksudkan untuk mudah dikenali oleh teman, saudara atau klien. Saat awal membuat alamat email, sesuai standar pembuatan email gratis diseluruh website nama email yang ditawarkan otomatis mengandung nama saya dan atau ditambahkan angka dibelakang nama. Tapi saya berfikir ini terlalu biasa, dan pastinya kurang menarik. Saya ingin sebuah nama yg bisa menggambarkan apa yang ingin saya lakukan atau saya kerjakan, terlintaslah nama “selaluada”. Mengapa? Inilah sebuah kisahnya...

Akhir tahun 1999 merupakan babak baru kehidupan, menjadi pegawai baru kemudian ditempatkan di kota yang jauh dari domisili keluarga, berbeda pulau diseberang lautan membuat segalanya berbeda.

Hidup baru ini membuat saya, harus mampu menyesuaikan dengan kultur budaya setempat,  kehidupan ekonomi pegawai baru yang pas-pasan dan tidak bisa lagi bergantung pada orang tua dan lain sebagainya yang mungkin tak pernah terfikirkan saat masih menjadi mahasiswa.

Banyak belajar, dan banyak belajar, termasuk yang terpenting adalah bagaimana menghormati teman kerja yang lain. satu demi satu, hari demi hari, alhamdulillah semua bisa dilalui dengan baik, yang terindah adalah banyak mempunyai banyak teman di tempat yang baru, teman dari berbagai kalangan, pegawai senior, pegawai seangkatan dan atasan yang baik. lima tahunpun berlalu rasa percaya dan dipercaya tumbuh dengan baik.pertolongan mereka disaat saya kekurangan, hangat sikap persahabatan mereka, merupakan hal yang sangat luar biasa, tak ternilaikan dengan harta benda, tidak tergantikan dengan uang yang berlimpah.

Akhir tahun 2004, saya mendapatkan tugas baru, di ibukota. Pekerjaan baru yang saya tangani, adalah mengurus pegawai yang akan berhenti dari perusahaan baik secara normal yaitu pensiun, atau karena sebab lain. Selain tugas tersebut masih ada tugas utama lainnya yaitu berhubungan dengan masalah pembinaan pegawai. Dua tugas ini membuat saya mau tidak mau harus bersifat “care” terhadap pegawai lainnya. Berhadapan dengan para senior yang akan pensiun kita harus banyak bersabar saat melayaninya, bersedia mendengarkan keluh-kesahnya dan memberikan kabar kepada mereka setiap ada perkembangan dari proses pensiun mereka, bahkan saat sdh diluar jam kantorpun. Mungkin pepatah jawa “kebo nyusu gudel” tepat untuk menggambarkan hal ini, yang muda harus mampu ngemong para senior untuk mendapatkan hak-hak pensiunnya dengan lancar dan tepat waktu.

Satu pekerjaan lainnya ternyata membutuhkan keahlian yang nyaris sama, tugas untuk menyelesaikan masalah pembinaan pegawai, bukan sekedar bagaimana kantor menegakan disiplin pegawai atau sekedar menghukum pegawai kemudian semua masalah selesai. Proses pembinaan pegawai khusunya penyelesaian disiplin pegawai adalah sebuah proses panjang yang melelahkan mental. Bagaimana tidak melelahkan mental, pekerjaan ini membuat saya harus bersedia mendengarkan permasalahan pegawai mulai dari masalah di kantor, masalah pribadinya dengan keluarganya bahkan urusan ranjang mereka. Mencoba mencari akar permasalahan mereka, mencarikan solusi bagi permasalahan mereka sekaligus memberikan penjelasan kepada mereka mengapa akhirnya perusahaan harus mengambil langkah tegas terhadap pegawainya.

Dua tugas ini memunculkan rasa bahwa saya harus selalu siap membantu mereka, “selalu ada” untuk mereka, walaupun hanya untuk mendengarkan keluh kesah, “selalu ada” untuk memberikan solusi, “selalu ada” untuk memberikan penjelasan, “selalu ada” untuk mengayomi, selalu ada rasa syukur jika bisa membantu, rasa haru jika melihat mereka bahagia, dan seringkali muncul rasa bersalah dan sedih jika tidak dapat menyelesaikan masalah pegawai dengan happy ending.

tugas untuk membantu sesama pegawai tersebut akhirnya menjadi sebuah nama email “selaluada@.....com"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun