Pertempuran Surabaya merupakan pertempuran mengerikan yang harus dihadapi Inggris pasca kemenangan sekutu pada perang dunia ke II.
Dilansir dari historia.id, dalam surat kabar New York Times edisi 15 November 1945, para serdadu Inggris menyebutkan “Battle of Soerabaja” sebagai inferno bagi Inggris dan sekutu di timur Jawa. Pertempuran terjadi sejak kedatangan sekutu ke Surabaya di akhir Oktober 1945 dan memuncak pada 30 Oktober 1945. Ketika itu pihak Inggris harus kehilangan Jenderal besarnya yaitu, A.W.S Mallaby yang tewas terpanggang bersama mobilnya.
Kematian Mallaby membikin militer Inggris geram. Sampai pada 9 November 1945 Inggris akhirnya mengeluarkan ultimatum keras yang intinya menginstruksikan perlawanan arek-arek Surabaya dihentikan, dan menyerahkan Surabaya kepada Inggris. Tentu saja, ultimatum itu ditafsirkan sebagai penghinaan kepada Kemerdekaan Republik Indonesia oleh barisan pejuang Surabaya.
Keesokan harinya, 10 November 1945 Bung Tomo mewakili arek-arek Surabaya menjawab ultimatum Inggris dengan lantang. Dalam pidatonya yang menggelora Bung Tomo berseru;
“Selama banteng-banteng Indonesia masih mempunyai darah merah yang dapat membikin secarik kain putih merah dan putih, maka selama itu kita tidak akan mau menyerah kepada siapapun juga”. Pidato ini membakar semangat perjuangan arek Surabaya. Derap kaki diiringi teriakan “merdeka atau mati” menjadi pengiring pertempuran besar yang akan terjadi saat itu.
Menanggapi seruan itu, Inggris mulai mempersiapkan berbagai keperluan perang dengan mengirimkan kapal- kapal perang Cruiser Squadron dengan mempercayakan kepada W.R. Petterson yang ditunjuk sebagai pemimpin. Kapal-kapal perang tersebut telah berlabuh di sekitar tepi-tepi pantai di Surabaya dengan dilengkapi meriam untuk ditembakan di tengah kota Surabaya. Pasukan Inggris tidak hanya menyerang dari laut namun, mereka juga mempersiapkan jalur udara dengan menyerbu, dan berhasil menguasai lapangan terbang di Morokrembangan.
Dengan dikuasainya lapang terbang Morokrembangan membuat Inggris dapat dengan mudah melakukan penyerangan dengan menjatuhkan bom-bom dari udara. Tidak hanya itu, Inggris juga melakukan penyerangan dari jalur darat dengan menerjunkan tank-tank dan kendaraan berat untuk merangsek masuk ke pusat kota Surabaya, mendesak para pejuang untuk keluar ke pinggiran Surabaya.
Pertempuran hebat berlangsung selama dua minggu dengan Inggris yang berhasil mendesak para pejuang mundur ke pinggiran kota Surabaya. Meski demikian, perlawanan tidak mereda. Dengan menggunakan senjata pampasan perang dari tentara Jepang dan berbagai senjata tradisional kelompok pejuang berupaya mati-matian mempertahankan posisi mereka. Sampai pada awal Desember, perjuangan tetap berlangsung meski taktik sudah berubah. Para pejuang sudah tidak melancarkan perang terbuka, mereka lebih mengandalkan perang kota dan gerilya dengan taktik penyergapan.
Meski telah berhasil menguasai Surabaya, teror kematian masih saja menghantui Inggris. Penembak runduk dari pihak Republik Indonesia yang ditempatkan di pinggiran kota dan di gedung-gedung kosong sesekali berhasil menembus tempurung kepala serdadu Inggris yang sedang berpatroli. Belum lagi penyergapan dan teror-teror pembunuhan yang sering juga terjadi saat itu. Surabaya saat itu benar-benar seperti neraka.
Doulton dalam The Fighting Cock: Being the History of the 23rd Indian Division, 1942-1947 (Doulton, 2002), menuliskan bagaimana kengerian pertempuran Surabaya pada pada akhir Oktober - awal Desember 1945. “Kami seolah-olah sedang memasuki gudang senjata dengan bau menyengat mesiu yang siap meledak kapan pun”, tulis Doulton.