Manusia sudah tentu membutuhkan pendidikan. Tidak terkecuali. Baik formal maupun informal, pendidikan harus diperoleh setiap manusia. Tentu tidak perlu ada diskriminasi, baik itu ras, kelompok, suku bangsa, dan lain-lain.
Pada masa kolonialisme Belanda permasalahan pendidikan hampir tidak tergarap atau memang sengaja tidak digarap. Sebagaimana Deventer menuliskan di majalah De Gids (1908); “Sampai pada waktu-waktu yang terakhir, hampir tidak ada kita memikirkan pendidikan kecerdasan dan penyempurnaan akal budi pekerti bangsa Bumiputera. Asal pajak dibayarkan, kewajiban rodi dan bertanam dilakukannya, asal kehidupan rakyat tidak sengsara, memadailah kita. Maka senanglah hati pemerintah.”
Pelaksanaan pendidikan pada masa politik etis ternyata masih diskriminatif. Perkembangan pengajaran dengan sistem sekolahnya mau tak mau disesuaikan dengan sifat dualistik masyarakat Hindia, baik mengenai bahasa pengantarnya maupun pelajarannya. Maka dari itu, terdapat empat katagori sekolah, (1) sekolah Eropa yang sepenuhnya memakai model sekolah Negeri Belanda; (2) sekolah bagi pribumi yang memakai bahasa Belanda sebagai bahasa pengantar; (3) sekolah bagi pribumi yang memakai bahasa daerah sebagai bahasa pengantar; (4) sekolah yang memakai seutuhnya sistem pribumi baik bahasa maupun pelajarannya.
Kedudukan sekolah dari tipe 1 dan 2 itu sudah pasti sangat strategis, dalam arti bahwa pengajaran yang diberikan menghasilkan tamatan yang siap menjalankan posisi pekerjaan/jabatan dimana bahasa Belanda menjadi bahasa pengantar. Dan sampai tahun 1900 politik etis hanya berfokus pada pendidikan tingkat rendah dengan tujuan untuk memenuhi kebutuhan pegawai rendahan atau pejabat sipil kolonial yang memiliki prestise. Di tingkat Kabupaten kebutuhan tenaga kerja yang berpendidikan dapat menempati jabatan sebagai Kliwon (juru Tulis), sedangkan di tingkat distrik tenaga terdidik biasanya menduduki jabatan Jogo Rekso (pesuruh) dan Sambong (penjaga keamanan) serta pembantu distrik.
Sebagai upaya untuk mengejar ketertinggalan pembangunan pendidikan, pemerintah kolonial pun berupaya mendirikan sekolah-sekolah. Pada 1903 di Jawa dan Madura terdapat 245 sekolah rendah negeri. Sementara untuk sekolah menengah dan sekolah tinggi baru masif di dirikan pada 1905, itu pun sulit bagi orang pribumi untuk mengikutinya, karena biaya untuk melanjutkan sekolah ke tingkat menengah dan tinggi sangat mahal. Sedangkan alokasi anggaran yang disediakan pemerintah Kolonial Belanda untuk membiayai pendidikan anak-anak pribumi sangatlah kecil.
Anggaran yang diberikan Pemerintah bagi pendidikan pada 1905, termasuk di dalamnya tunjangan-tunjangan subsidi sekolah hanya sebesar f 2 juta, sehingga kalau dihitung untuk 40 juta penduduk pada sesnsus waktu itu, hanya 5 sen biaya yang diperoleh per orang –nya. Baru pada 1918 –an anggaran pendidikan meningkat menjadi 20 sen per orang. Akan tetapi jumlah ini sangat jauh dibandingkan dengan anggaran tentara yang mencapai f 1.25 per orang.
Kesulitan pemerintah dalam mengatasi persoalan anggaran pendidikan, dari masalah ketersediaan tempat belajar sampai fasilitas belajar-mengajar pada akhirnya dapat teratasi dengan membangun sekolah-sekolah swasta yang dibantu oleh zending, missi, Muhammadiyah, Taman Siswo, dan lain-lain. Tentu saja, sekolah-sekolah tersebut mendapat pengawasan ketat serta diadakan penggolongan berdasarkan persyaratan tertentu, ada sekolah subsidi, sekolah dipersamakan (gelijkgesteld), dan sekolah diakui (erkend). Sementara sekolah yang belum mendapatkan izin berdiri secara administratif dan tidak terjangkau dari pengawasan pemerintah Kolonial Belanda masuk dalam katagori sekolah liar (wilde school).
Oleh karena biaya pendidikan menengah dan atas sangat mahal, maka hanya orang Eropa saja yang berkesempatan mengenyam pendidikan tinggi, kalau pun mungkin ada pribumi yang sekolah tinggi pastilah ia keturunan bangsawan atau setidaknya orang kaya. Pada masa politik etis ini muncul klas sosial baru, yakni klas Priayi Terpelajar. Tidak seperti sebelumnya, Priayi selalu diidentikan dengan keturunan bangsawan (ningrat/kerajaan).
Pada awal abad 20, orang biasa yang memiliki kecakapan intelektual dan mengenyam pendidikan tinggi mempunyai kesempatan untuk menjadi Priayi. Clifford Geertz sendiri membagi golongan Priayi menjadi dua lapisan, yaitu: (1) Priayi Tinggi, yaitu orang-orang yang memiliki hubungan kekerabatan dengan bangsawan kerajaan atau setidaknya ia adalah keturunan ningrat; (2) Priayi Rendah, yaitu orang-orang pribumi biasa yang kedudukannya di pengaruhi dari strata pendidikan dan jabatan administrasi pemerintah Kolonial Belanda.
Dengan kehadiran klas baru ini lah, alur pergerakan sejarah Indonesia mengalami perubahan yang cukup signifikan. Kaum Priayi Rendah yang tersadarkan nantinya ikut mengambil tongkat estafet perjuangan Pergerakan Nasional. Setidaknya, mereka bergerak dalam hal-hal kemanusian bagi penduduk pribumi di Hindia. Contohnya, organisasi Budi Utomo, Sakekat Dagang Islam, Indeche Partij, dan beberapa oraganisasi yang di dalamnya di isi oleh orang-orang berpendidikan tinggi. Mungkin inilah sesuatu hal yang positif dari pemberlakuan politik etis di bidang edukasi/pendidikan.