Dalam dunia pariwisata, aktivitasnya memberikan gambaran kedamaian, ketenangan, dan keterbukaan suatu tempat tertentu. Oleh sebab itu, pada umumnya orang menganggap bepergian ke luar negeri sebagai kesempatan untuk menemukan kebersamaan dan kesadaran budaya dalam suasana yang baru. Namun, bagaimana bisa gambaran indah ini, dibayang-bayangi rasa kuawatir adanya konflik yang dapat menentukan nasib hidup banyak orang atas ancaman nuklir Korea Utara yang dapat terjadi sewaktu - waktu. Tujuan Artikel ini adalah untuk mengkaji bagaimana pembukaan pariwisata di Korea Utara bisa berdampak pada perdamaian dunia, dari sudut pandang diplomasi dan ancaman nuklir.
Sejarah Program Nuklir Korea Utara
Program nuklir Korea Utara telah berkembang secara bertahap sejak akhir 1950-an dan terus menjadi sumber ketegangan internasional. Tepat ditahun 1990-an terjadi ketegangan yang menghasilkan suatu perjanjian dalam hal pengembangan nuklir. Namun  di tahun 1993 Korea Utara menarik diri dari Perjanjian Non-Proliferasi Nuklir (NPT) dan memicu krisis internasional. Hal ini mengundang perhatian dunia dan menyebabkan perundingan intensif. Ditahun 1994 dibuat sebuah Kesepakatan Kerangka (Agreed Framework) ditandatangani dengan AS yang berisi komitmen Korea Utara untuk membekukan program nuklirnya sebagai imbalan atas bantuan energi dari Negara Barat. Namun, perjanjian ini kemudian gagal pada awal 2000-an karena ketegangan yang meningkat terkait dugaan pelanggaran oleh Korea Utara. Ketegarangan terus terjadi dalam rentang tahun 2000-an hingga 2023 Korea Utara melakukan pengembangan Lanjutan senjata nuklir dan memperkuat Eskalasi persenjataan balistik. Jika dikaji secara keseluruhan, ancaman militer Korea Utara telah memberikan ketegangan terutama di semenanjung korea yang menyebabkan peningkatan ketegangan dunia internasional dan memberikan sanksi tambahan oleh PBB serta negara-negara besar.
Kajian dalam perspektif Korea Utara dalam pengembangan dan serangkaian uji coba senjata nuklir merupakan bagian dari pusat strategi keamanan nasional Korea Utara. Alasan utama Korea Utara menganggap senjata nuklir sebagai alat pertahanan utama adalah untuk mempertahankan kedaulatan dan rezimnya di bawah ancaman eksternal terutama Amerika Serikat, Jepang dan Korea Selatan. Dalam Konsep Pencegahan atau Deterrence pandangan korea utara terhadap senjata nuklir adalah untuk mencegah adanya ancaman berupa invasi negara-negara besar terutama Amerika Serikat dan Korea Selatan. Adanya kekuatan nuklir memungkinkan Korea Utara untuk mengancam serangan balasan yang menghancurkan jika mereka diserang terlebih dahulu, sehingga negara lain berpikir dua kali sebelum melakukan tindakan militer. Selain itu, sebagai negara diktator tentunya Rezim Korea Utara yang berkuasa, di bawah kepemimpinan keluarga Kim, menganggap senjata nuklir sebagai jaminan utama untuk keberlangsungan kekuasaan. Dengan memiliki senjata nuklir, Korea Utara dapat menegosiasikan posisinya dengan lebih kuat dalam diplomasi internasional. Hal ini juga berfungsi sebagai cara untuk mencegah skenario perubahan rezim yang dapat terjadi akibat dorongan oleh kekuatan eksternal.
Adanya sanksi yang diberikan memberikan dampak secara signifikan terhadap berbagai sektor seperti  Penurunan Pendapatan Devisa melalui Larangan ekspor berbagai komoditas utama Korea Utara sehingga menimbulkan kesulitan membiayai impor barang-barang esensial, termasuk bahan bakar dan makanan. Selain itu, Krisis Energi juga dialami akibat pembatasan impor minyak dan bahan bakar berkepanjangan di negara tersebut. Produksi listrik dan transportasi sering terganggu, menghambat perkembangan ekonomi. Peningkatan nilai Inflasi dan kekurangan bahan pangan semakin memperburuk kondisi pangan di Korea Utara, yang sudah rentan. Produksi pangan domestik tidak mencukupi, dan sanksi impor memperburuk situasi kekurangan makanan hingga ke berbagai wilayah disana.
Pariwisata sebagai Sumber Devisa Alternatif
Sanksi terhahap Korea Utara dalam pengembangan senjata nuklir dan balistik tentunya menjadikan negara ini dalam kondisi terjepit oleh sanksi, Pariwisata adalah salah satu sektor yang relatif tidak terlalu terkena dampak sanksi. Pembukaan kembali pariwisata diharapkan menjadi salah satu cara untuk menghasilkan devisa yang diperlukan. Dengan menarik wisatawan, terutama dari China dan Rusia, langkah Korea Utara dapat meningkatkan pendapatan ekonominya meski terisolasi dari pasar global. Pembukaan sektor pariwisata Korea Utara tentunya menjadi kajian menarik terhadap isu tersebut. Hal ini menimbulkan pertanyaan mengenai niat sebenarnya di balik langkah ini. Pada satu sisi, pariwisata tampaknya menjadi peluang untuk memperbaiki citra internasionalnya, tetapi di sisi lain, itu bisa saja merupakan strategi pragmatis untuk memperoleh sumber daya yang akan digunakan untuk memperkuat angkatan militernya.
Jika dilihat pada pendekatan sebagai Upaya Memperbaiki Citra melalui pendekatan Diplomasi Lunak tentunya pembukaan pariwisata pada Desember 2024 bisa dianggap sebagai upaya diplomasi lunak yang bertujuan untuk memperbaiki citra Korea Utara di mata dunia. Dengan memperkenalkan wisatawan asing pada budaya, alam, dan masyarakat Korea Utara, negara ini berpotensi memperhalus persepsi global yang selama ini didominasi oleh narasi tentang agresi militer dan pelanggaran hak asasi manusia. Beberapa alasan mengapa pembukaan pariwisata dapat diartikan sebagai langkah untuk memperbaiki citra meliputi meningkatkan interaksi dengan dunia luar; mengurangi ketegangan regional dan meredakan tekanan internasional. Namun jika dikaji dalam pendekatan Taktik Ekonomi untuk Memperkuat Militer pembukaan pariwisata lebih mengarah pada taktik ekonomi pragmatis yang bertujuan untuk menghasilkan devisa yang diperlukan guna memperkuat militer, khususnya program nuklir. Pendapatan dari pariwisata bisa digunakan untuk mendanai proyek-proyek strategis lainnya yang mendukung pengembangan rudal balistik dan kemampuan pertahanan. Beberapa alasan untuk munculnya  pandangan ini meliputi adanya sanksi internasional dan isolasi, meningkatkan prioritas militer yang konsisten, dan pengalihan fokus Internasional.
Pendekatan yang terjadi dari pembukaan pariwisata yang dilakukan Korea Utara tentunya menimbulkan kontradiksi yang sulit karena meskipun Korea Utara membuka pariwisata sebagai upaya diplomasi lunak, ancaman nuklir yang mereka hadirkan tetap dianggap sebagai suatu hal yang bertentangan dengan pesan keterbukaan dan niat baik yang mungkin ingin mereka sampaikan. Hal ini terjadi karena adanya potensi ancaman keamanan regional terutama bagi tetangganya, termasuk Korea Selatan dan Jepang. Negara-negara ini mungkin enggan meningkatkan hubungan pariwisata atau kerjasama ekonomi selama ancaman nuklir masih ada. Selain itu, kepercayaan Internasional yang rendah membuat banyak negara, terutama negara-negara Barat, memandang langkah pariwisata ini dengan kecurigaan. Mereka melihatnya sebagai usaha untuk menghindari sanksi sambil tetap menjalankan agenda militer yang agresif. Tanpa langkah nyata untuk mengurangi atau menghentikan program nuklir, dunia internasional mungkin akan terus memandang upaya ini dengan skeptis.
Analisis adanya kecurigaan terhadap rencana korea utara dalam pembukaan pariwisata tentunya memiliki potensi positif. Interaksi yang terjadi antara Korea Utara dengan dunia luar tentu akan menurunkan ketegangan yang kedepanya  pariwisata bisa menjadi jalan masuk bagi diplomasi internasional. Jika dilihat pada karakteristik Korea Utara dalam situasi ekonomi yang sulit terutama akibat adanya sanksi Internasional tentu potensi perubahan internal di Korea Utara yang dapat dipicu oleh interaksi langsung dengan wisatawan asing. Keterbukaan ini memiliki potensi bisa mempengaruhi persepsi masyarakat lokal dan tekanan terhadap kebijakan nuklir. Selain itu, momentum pembukaan pariwisata ini untuk mendorong dialog diplomatik. Misalnya, negara-negara bisa menawarkan dukungan ekonomi yang lebih besar dengan syarat Korea Utara mulai mengurangi program nuklirnya dapat menjadi bagian dari mengurangi ancaman konflik yang dapat timbul terutama di kawasan semenanjung korea. Tentu dalam mewujudkannya perlu adanya mekanisme pengawasan dan kerjasama terutama yang mengatur secara langsung pembatasan penggunaan sumber daya ekonomi untuk tujuan militer.
Sehingga jika disimpulkan Pembukaan pariwisata Korea Utara pada Desember 2024 bisa dilihat sebagai upaya ganda. Di satu sisi, hal ini merupakan upaya diplomasi lunak untuk memperbaiki citra internasional dan mungkin meredakan sebagian tekanan sanksi. Namun, di sisi lain, ada kemungkinan besar bahwa hasil ekonomi dari sektor pariwisata ini akan digunakan untuk memperkuat militer, termasuk program nuklir mereka. Taktik ini mencerminkan dilema bukan hanya bagi Korea Utara namun terhadap perdamaian Internasional. Namun tentunya Korea Utara berusaha mencari jalan keluar dari tekanan ekonomi sambil tetap mempertahankan strategi keamanan berbasis kekuatan nuklir. "Apakah dunia terkhusus Indonesia siap menyambut Korea Utara yang membuka pintu pariwisata, atau justru bersiap menghadapi ancaman yang lebih besar?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H