Mohon tunggu...
Joseph Bima
Joseph Bima Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Keprihatinan Kehidupan Pluralisme di Jakarta

8 Februari 2017   07:30 Diperbarui: 8 Februari 2017   22:36 1360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sebagai ibukota suatu negara yang bersemboyan ‘Berbeda-beda tetapi tetap satu’, Jakarta dan masyarakatnya belum bisa merefleksikan semboyan tersebut dengan aksi nyata. Pada dasarnya, masyarakat Jakarta sadar akan pluralitas, tetapi dengan kesadaran tersebut, timbulah sikap dan cara pandang yang didasarkan oleh arah pikir tiap orang yang berbeda. Cara pandang akan pluralitas merupakan hal yang penting, dan karena cara pandang ini dihasilkanlah sikap-sikap tertentu, misalnya keterbukaan, ketertutupan, hingga kebencian.

Pluralisme berarti menerima masyarakat yang tinggal di sekitar kita, menerima bahwa semua manusia pada dasarnya dilahirkan berbeda-beda, dan menghargai apa yang mereka percaya dan tidak percaya. 

Tantangan untuk hidup berpluralisme di Indonesia semakin meningkat. Tidak sedikit masyarakat yang beragama untuk agama, dimana semua masalah harus terikat dengan unsur Agama. Prinsip hidup yang terlalu agama sentris dapat menjadi pemicu perpecahan bangsa, seperti yang sekarang sedang terjadi, mengingat situasi politik menjelang PILKADA Jakarta 2017 ini. Adalah hal yang wajar jika sekelompok masyarakat memiliki sedikit bias terhadap agama atau etnis mereka, tetapi patutkah hal tersebut dijadikan sebagai senjata tajam yang pada akhirnya hanya akan menusuk mati bangsa ini?

Sebagai warga Indonesia, bukanlah suatu kejutan bahwa apa yang terjadi sekarang sangat memprihatinkan. Kita hidup di zaman modern, namun pada suatu kota metropolitan yang sekaligus merupakan ibukota negara ini, terdapat sekelompok masyarakat yang masih bersifat angkuh dan picik. Mereka tidak mau menyisihkan keangkuhan mereka demi kebaikan dan tujuan bersama, yaitu Jakarta yang maju. Hanya karena seorang kandidat Gubernur beretnis Tionghua dan beragama Kristen, masyarakat menolaknya dan masih merujuk ke pemikiran tradisional yang menuntut bahwa pemimpin harus sesorang berkepercayan Muslim, di negara yang bukan merupakan negara Muslim. 

Ya, negara ini di dominasi agama Muslim, dan 85% penduduk Jakarta adalah umat Muslim, tetapi Islam bukanlah agama negara. Hal ini dikarenakan umat Muslim masih dikelilingi umat beragama lain, dan hal ini juga dapat dipahami karena pluralisme itu ada dalam Islam sendiri. Penerimaan orang Islam terhadap Pancasila dikarenakan kesesuaiannya dengan nilai Al-Quran, dan penerimaan itu merupakan akar pluralisme Indonesia.

 Indonesia merupakan bangsa yang dibangun oleh perbedaan. Setelah 72 tahun merdeka, bangsa kita tidak pernah mengingat perjuangan pahlawan kemerdekaan atas dasar kematian orang Katolik ataupun berapa jiwa Muslim yang hilang dalam perjuangan kemeredekaan, saya rasa pahlawan akan merasa malu jika mereka tahu bahwa hal yang mereka perjuangkan sedang dirusak karena sebuah bangsa yang tidak bisa menerima perbedaan. Para pahlawan yang mempersatukan bangsa ini berhasil menghiraukan agama dan etnis mereka demi negara ini, dan pada akhirnya rela mati demi kemajuan NKRI. Tujuh puluh tahun kemudian, dimana masyarakat muda ditempatkan pada situasi yang sama, akankah masyarakat Indonesia berpikir kedepan demi Indonesia yang makmur, ataukah pola pikir masyarakat sekarang lebih picik dari pola pikir yang sudah diperjuangkan 70 tahun lalu, dan bersifat etnosentris serta agama sentris, tidak mau menyisihkan kebangaan pribadi demi kebanggaan negara?

 Sebagai bangsa muda Indonesia, marilah mulai dengan hal kecil, yaitu dengan menghilangkan stigma yang sering keluar dari mulut-mulut kita. Walaupun hal tersebut merupakan becandaan atau tidak serius, ingatlah semboyan kita “Bhineka Tunggal Ika”, dan camkanlah, karena untuk mencapai kehidupan yang pluralis, layaknya diri kita menjadi panutan untuk orang lain, dan untuk generasi yang akan datang. Mulut mu adalah harimau mu, dan semakin kita mengatakan stigma yang berbasis etinis atau agama dari mulut kita, semakin jaulah realita kehidupan pluralis di Indonesia, dan semakin dekatlah prospek Indonesia yang dikontrol dengan kebencian dan ketertutupan. Beranilah hidup pluralis, beranilah merawa perbedaan. AMDG.

Jakarta, 7 Februari 2017

Joseph Bimansyah P. Jenie, Pelajar

#BersamaMerawatPerbedaan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun