Mohon tunggu...
Bima Satriani
Bima Satriani Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pemaknaan Perjuangan yang Semakin Memudar

17 Agustus 2017   00:51 Diperbarui: 17 Agustus 2017   10:24 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Tanyakan arti perjuangan pada para pemuda Maospati, Madiun, Caruban yang pada malam tanggal 9 November 1945 nekat jalan kaki ke Surabaya melewati hutan yang masih lebat, hanya karena truk yang ada tidak mencukupi untuk mengangkut mereka semua. Seperti yang kita ketahui keesokan hari dari tanggal diatas dan selama 3 minggu berikutnya puluhan ribu pemuda dibantai dengan alat-alat perang dari raja penjajahan, Inggris. Bila sekarang kita takjub dan simpati saat menyaksikan film Dunkirk, itu akan sirna bila mengetahui fakta kalau tentara yang hampir sekarat di film itu juga turut berperan atas pembantaian saudara-saudara kita di Surabaya 5 tahun setelahnya. Kembali ke pemuda pejalan kaki tadi, mungkin bagi sebagian dari mereka seperti menjemput ajal mereka sendiri, bayangkan saja sudah susah payah, sukarela, menghadapi kematian pula.

Ditarik ke depan, jauh sekali menembus 7 dekade kemudian di pelosok desa-desa tanah air, tak terkecuali di daerah asal pejuang pejalan kaki diatas, ratusan bahkan ribuan anak remaja berani mengancam orang tua mereka untuk tidak bersekolah kecuali permintaan mereka dipenuhi : Motor dan HP, tidak itu saja lantas mereka minta tambah uang untuk jajan, eh rokok maksud saya, bukankah sudah tidak asing lagi kalau sekarang kita melihat anak usia 13, 12 atau bahkan 7 tahun merokok di tempat umum secara terang-terangan? ironisnya mereka itu sudah mengancam, minta tambah uang, nilai pelajarannya tidak sedap dipandang pula, lalu salahkan bila saya bertanya: apa mereka tahu arti perjuangan? Berjuang memenuhi kewajiban saja tidak becus, apalagi kalau dihadapkan pada perjuangan membela negara?

Adakalanya perjuangan tidak selalu identik dengan slogan bondo nekat (modal nekat), berjuang dengan materi yang dipunyai pun bisa saja dilakukan, rakyat pada masa perjuangan yang tidak mampu ikut serta mengangkat senjata pun menyumbangkan apapun yang mereka punya. Lagi-lagi persitiwa 10 November mencerminkan perjuangan di semua aspek, malam hari 9 November seusai Gubernur Suryo menerima usul para tokoh untuk melawan Inggris segera saat itu juga Surabaya meminta bantuan dari berbagai penjuru Nusantara terutama daerah Jawa, diantaranya pemuda Jogjakarta, mereka tidak berpikir panjang untuk ikut mengirimkan personel berikut logistic yang dapat diangkut menggunakan kereta api malam itu juga. 

Melewati rute utara mereka menggunakan sebanyak mungkin kereta yang tersedia milik Jawatan Kereta Api, tanpa diduga kereta kehabisan bahan bakar yang digunakan untuk mendidihkan air di ketel uap, kereta saat itu sudah sampai di daerah sekitar Bojonegoro timur, rakyat yang mengetahui hal tersebut tak pikir panjang, mereka mengangkut semua kayu bakar yang terdapat di rumahnya untuk digunakan sebagai bahan bakar, tidak hanya kayu bakar bahkan rakyat juga merelakan mebel perabotan rumahnya untuk disertakan agar kereta dapat melaju hingga Surabaya, pada saat itu mungkin mebel merupakan harta paling berharga bagi mereka disamping perhiasan, tidak tanggung-tanggung kayunya pun dari kayu jati yang terkenal dari wilayah pegunungan dari jawa timur yang apabila dikurskan pada jaman sekarang harganya mencapai puluhan juta rupiah. Tidak hanya itu, di jalan-jalan menuju Surabaya penduduk ramai menawarkan apapun yang mereka punya, karung beras, air, tempe, tahu, ketela, baju, selimut, telur, ayam hidup, kambing, nasi bungkus, dan lain-lain, mereka ikhlas, jalanan hiruk pikuk hingga pagi mengantar para pahlawan.

Ada cerita lagi terjadi di daerah sekitar Purbalingga ketika Divisi Siliwangi long march kembali ke Jawa Barat pasca Agresi Militer Belanda kedua, rakyat yang kesusahan karena panen tidak begitu melimpah, juga karena keadaan yang tidak kondusif saat masa perjuangan, membuat mereka tidak mempunyai apapun termasuk cadangan makanan. Pada saat itu Divisi Siliwangi melewati suatu desa, seketika kepala desa setempat menanyakan apa yang penduduk desa tersebut dapat bantu untuk para tentara dan keluarganya, mereka sudah tidak mempunyai apapun, kecuali ketela yang digunakan sebagai cadangan makanan terakhir agar tidak kelaparan, dengan keikhlasan hati para penduduk desa mereka merelakan ketela tersebut untuk digunakan sebagai perbekalan para tentara yang berjalan kaki ratusan kilometer untuk kembali ke Jawa Barat, dengan resiko keluarga mereka kelaparan karena tidak ada cadangan makanan lagi.

Atas berbagai peristiwa diatas, tidakkah kita malu, untuk merayakan ulang tahun kemerdekaan bangsa sendiri saja banyak masyarakat yang tidak acuh, motor di rumah 3, ternak sapi 2, rumah atas nama sendiri, anak setiap hari dikasih uang saku puluhan ribu, HP jutaan, namun ditarik iuran karang taruna seikhlasnya untuk perayaan kecil-kecilan di tingkat RW saja sampai mengumpat tidak karuan. Yang paling parah lagi banyak yang pada saat agustusan Cuma mempunyai satu bendera yang tidak tahu kapan dibelinya atau dibuatnya dan tega memasangnya setiap tahun hingga warnanya bukan lagi merah putih, tapi oranye kuning, tentu juga bukan menyerupai warna oranye dan kuning yang indah.

Hingga akhirnya saya menarik kesimpulan berdasar fenomena-fenomena diatas, wajar saja pada masa perjuangan banyak pengkhianat bangsa yang membocorkan info kepada Belanda, mereka tidak mengetahui arti perjuangan itu sendiri, mereka hanya menginginkan kehidupan nyaman walaupun berada dibawah kaki penjajah, mereka tidak kuat menjalani perjuangan dalam membela kebenaran, mereka hanya mengutamakan nafsu dan hasrat, hingga mungkin sifat-sifat seperti itu menjadi turun temurun ke generasi sekarang yang seakan kehilangan kesadaran akan jiwa nasionalisme karena tidak memaknai arti perjuangan itu sendiri, tidak heran bila ditemui generas-generasi muda masa kini yang mempermalukan bangsa ini dan semakin terpuruk.

Saya teringat teguran Bapak-Ibu guru pada masa SD dulu yang mengingatkan saya agar tidak ramai saat upacara bendera 17 Agustus, "malu tuh sama veteran yang kakek-kakek namun masih tegap hormat kepada sang saka!". Mungkin Ibu-Bapak guru sekarang tidak perlu lagi repot-repot menegur, toh muridnya sudah tidak lagi ramai saat upacara, kan muridnya tidak ikut upacara, mereka sibuk berargumen kenapa harus upacara di tanggal merah...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun