[caption id="attachment_405436" align="aligncenter" width="630" caption="Ilustrasi, pencitraan bumi dari luar satelit (NASA Earth Observatory/ NOAA NGDC)"][/caption]
Ironi, baru saja Indonesia mengirimkan wakilnya untuk mengikuti Konferensi Internasional tentang dampak perubahan iklim di Peru pada bulan Desember 2014, pada bulan yang sama di Indonesia terjadi bencana tanah longsor di Banjarnegara yang menghilangkan nyawa, tanah longsor di Bogor yang memakan korban jiwa juga perlu menjadi perhatian khusus mengapa sampai terjadi hal seperti itu, belum lagi banjir yang menghantui ibukota Jakarta, kerusakan secara alamiah atau faktor manusia yang menjadi penyebabnya?
Badan PBB untuk Strategi Internasional Pengurangan Bencana(UNISDR) menyebutkan untuk tanah longsor, Indonesia menduduki peringkat pertama dari 165 negara, dengan korban manusia sebesar 197.327. Untuk banjir, Indonesia peringkat ke 6 dari 162 negara dengan jumlah 1.101.507 orang terkena dampaknya. Rendahnya kualitas pengelolaan lingkungan dan pelanggaran tata-ruang wilayah/kota disertai ancaman perubahan iklim saat ini menjadikan wilayah/kota dalam tingkat yang rentan.*
Pemanasan Global atau lebih tepatnya Gangguan Iklim Global sesunguhnya sangatlah berbahaya, WHO mencatat sejak 1960, setiap tahun angka kematian rata-rata di dunia lebih dari 60 puluh ribu jiwa. Pada tahun 2000 saja, 150 ribu jiwa melayang akibat dampak langsung perubahan iklim seperti banjir, badai dan angin topan serta kebakaran hutan yang semakin banyak terjadi.*
Dampak tak langsung seperti meningkatnya malaria dan DBD juga penyakit lain yang disebarkan oleh vektor yang berhubungan dengan kenaikan temperatur, curah hujan, kelembaban dan kepadatan populasi vektor. Akibat lain yang menyebar lewat air seperti diare, kolera, tipus, yang berhubungan dengan berkurangnya kualitas dan suplai air serta banjir dan kekeringan.
Kondisi perubahan iklim di Indonesia
Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak potensi bencana sekaligus potensi alam yang luar biasa, Diapit 2 samudera, 2 benua, dilintasi katulistiwa diikuti deretan gunung berapi mulai dari sabang sampai merauke, hutan borneo yang merupakan paru-paru dunia, plus ribuan kepulauan dengan luas lautan. Satu lagi, Indonesia punya lapisan es abadi meskipun berada di daerah tropis, Puncak Jaya namanya.
Pegunungan Puncak Jaya (4884 dpl) yang terletak di provinsi Papua merupakan lokasi satu-satunya yang terdapat gletser di wilayah ?kolam hangat? ekuatorial Samudera Pasifik. Di dalamnya terkandung informasi yang sangat berharga-perspektif klimatologi- mengenai perubahan iklim dan lingkungan di wilayah tersebut yang dipengaruhi siklus antar-tahunan El Nino-Southern Oscillation (ENSO) dan sistem monsun Austral-Asia.
Peristiwa ENSO adalah bentuk nyata proses interaksi laut dan atmosfer dalam sekala besar yang mempengaruhi iklim regional. Dampak ENSO sangat terasa di Indonesia yang secara geografis posisinya berada pada dua sisi basin Samudera Pasifik tempat berlangsungnya peristiwa ENSO.
Sayangnya, akibat perubahan iklim maka lapisan es abadi di Puncak Jaya akan segera menghilang padahal data historis es Puncak Jaya dapat dijadikan acuan data tentang laju perubahan iklim. Setidaknya data historis yang pernah diambil pada ekspedisi penelitian yang dilakukan oleh BMKG ke Puncak Jaya pada tahun 2009 berguna untuk memprediksi perubahan iklim di masa yang akan datang.
Suhu global yang meningkat setiap setengah derajat per tahun akibat perubahan iklim merupakan bencana dahsyat di dunia. Hal ini terus terjadi dengan cepat tanpa diimbangi upaya perbaikan alam yang konkrit dan serius dari negara-negara maju sebagai negara penyumbang kerusakan iklim terbesar.
Mitigasi merupakan solusi
Para Pakar yang mengikuti Konferensi Perubahan Iklim menyebutkan, ada 3 opsi untuk menghadapi gangguan global ini, Pertama MITIGASI, yaitu upaya mengurangi kecepatan dan kekuatan laju perubahan iklim global yang diakibatkan oleh kegiatan manusia. Kedua ADAPTASI, yaitu mengurangi dampak negatif pada kehidupan. Pilihan terakhir, tidak berbuat apa-apa dan menderita karena dampak negatif yang tidak dapat dihindari dengan mitigasi atau adaptasi.
Mitigasi sebagai pilihan yang diambil merupakan solusi yang bisa kita lakukan.
Banyak upaya telah di lakukan baik oleh pemerintah-meski belum maksimal-SBY sampai diberikan penghargaan dunia atas keberhasilan penghijauan. Era Jokowi, hari penanaman pohon pada bulan lalu diisi dengan pesan yang jelas, semua elemen masyarakat harus ikut menanam pohon.
Pemerhati lingkungan independen yang menyerukan Gerakan 100 juta pohon di Indonesia juga ramai dibicarakan dalam jaringan media sosial. Kabar terbaru, Gerakan menanam pohon kurma untuk Indonesia (Gema Indonesia) yang bekerjasama dengan Go Green Organizer (G2O) mengkampanyekan gerakan penghijauan dengan menanam pohon kurma.
Pohon kurma, pohon yang disebut oleh sejarah dalam Al-Quran lebih dari 10 kali, merupakan pohon penyelamat manusia dengan segala keistimewaannya.
Dalam kerangka ilmiah, pohon kurma setinggi 1 meter tersebut dapat mengubah karbon dioksida menjadi oksigen dengan volume yang cukup untuk 2,5 orang per hari. Kemampuan beradaptasi pohon kurma terhadap lingkungan sangat tinggi.**
Pohon kurma dapat tumbuh di suhu 7-40 derajat celcius, diluar suhu itu tidak mati namun tidak juga tumbuh, hibernasi. Pohon tropis tangguh ini hidup di panasnya gurun arab sekaligus bertahan saat salju turun, seperti kondisi di Iran bagian utara. Tidak hanya buahnya, batangnya bisa disodet dan cairannya dapat dijadikan minuman sirup penyegar atau bisa menjadi kayu batangan untuk industri furnitur. Daunnya dapat dijadikan atap rumah dan perluasan industri kerajinan seperti anyaman.
Tidak seperti sawit yang merusak tanah dan menghabiskan cadangan air tanah, pohon kurma malah memperkuat struktur tanah dan menyediakan cadangan air didekatnya.**
Upaya penghijauan yang dilakukan Gema Indonesia bisa menjadi solusi dari krisis yang melanda dunia termasuk bencana longsor, banjir dan kekeringan serta dampak perubahan iklim yang melanda Indonesia. Kita bisa menjadi followernya untuk mengambil langkah konkrit menyelamatkan anak cucu demi kehidupan yang lebih baik.
Pada gilirannya, langkah penghijauan menjadi solusi mitigasi dan upaya pemerintah Indonesia akan lebih siap menghadapi bencana. Dengan demikian konferensi internasional yang diikuti oleh Indonesia tentang dampak perubahan iklim di Peru ada hasilnya.
*DNPI
**FAO
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H