Pengalaman ini saya peroleh saat saya mendampingi sekelompok pelajar mengadakan latihan dasar kepemipinan (LDK). Kami berada di sebuah lembah di daerah Sukabumi, Jawa Barat. Seorang peserta ditengah lembah berteriak memanggil nama kelompoknya. Suara anak tersebut bergema; memantul kembali kepadanya. Nah, hidup ini ibarat gema. Ketika kita berteriak di lembah, apa yang akan kita teriakkan akan kembali kepada kita. Demikian pula dalam hidup ini, ketika kita menyatakan hal negative mengenai orang lain, segala hal negative itu akan kembali kepada kita. Apa yang kita teriakkan, itulah yang akan kita terima. Bukan hanya itu. dalam banyak kasus apa yang kita ungkapkan, yang ditujukan kepada orang lain adalah menceriminkan diri kita sendiri. Dalam psikologi ini yang disebut proyeksi diri. kita memproyeksikan diri kita dengan cara mengarahkan itu kepada orang lain. Seolah-olah orang lain itu seperti apa yang kita gambarkan. Padahal itu adalah gambaran diri kita sendiri. Hal lain yang perlu kita waspadai adalah efek gema itu sendiri. Dalam pengalaman sehari-hari sering kita menjumpai peristiwa negative terjadi pada diri orang-orang yang suka menceritakan keburukan orang lain. Justru keburukan yang ia ceritakan kepada orang lain, persis seperti itulah yang menimpa dirinya. Ini adalah efek/akibat dari tindakan kita. Efek ini terjadi karena apa yang sering kita katakan hal-hal negative mengenai orang lain menjadi sebuah kebiasaan yang masuk kedalam alam bawah sadar. Kita tahu bahwa apa yang terjadi dan dialami diri kita sebagian besar dikendalikan oleh alam bawah sadar.
Ini adalah cermin bagi kita semua, sekaligus menyadarkan agar kita hidup dengan kejujuran dan ketulusan. “Semangkuk sayur dengan kejujuran akan jauh lebih bernilai daripada satu porsi sup iga dengan tipu muslihat”. Para bijak menasihatkan model hidup seperti ini sebagai cara membangun kebahagiaan diri yang benar. “lakukanlah kepada orang lain apa yang ingin orang lain lakukan untuk dirimu”; Paulus menasihatkan supaya kita berlomba-lomba dalam memberi hormat. Nasihat yang sangat indah dalam pembentukan hidup social bersama orang lain. Sebuah nasihat indah dalam upaya membangun kehidupan social yang harmoni. Namun, kita sering berbuat sebaliknya; bukan berlomba memberi hormat kepada orang lain. Melainkan berlomba mencari hormat supaya pamor diri kita naik dan dengan demikian status social kita meningkat. Kita lupa bahwa status social seseorang terbentuk bukan dari hormat yang diberikan orang lain kepada kita melainkan sebaliknya. Hormat yang kita berikan kepada orang lainlah yang membuat status social kita miningkat. Hormatilah setiap orang yang bersingnggungan dengan anda niscaya status social anda akan meningkat.
Bijaksana dan berhati-hatilah dalam bertutur kata. Orang menghargai kita bukan melalu karena apa yang kita katakan atau apa yang kita gunakan, tetapi dari apa yang mereka alami dan rasakan saat bersama-sama dengan kita. Kenyamanan orang ketika bersama dengan kita menjadi ukuran kualitas diri kita. Orang menghormati kita bukan karena takut melainkan karena nyaman, tidak perlu menjadi orang lain. Orang percaya kepada kita sebagai pribadi yang layak dihormati karena kehadiran kita selalu membuat dirinya berharga. Orang lain tidak takut menyatakan diri apa adanya karena ia tahu bahwa kita tidak akan pernah menceritakan, apalagi mewartakan keburukan dan kelemahan dirinya. (Sebuah Refleksi Dalam Dialog Hati)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H