Mohon tunggu...
Purwanto (Mas Pung)
Purwanto (Mas Pung) Mohon Tunggu... Guru - Pricipal SMA Cinta Kasih Tzu Chi (Sekolah Penggerak Angkatan II) | Nara Sumber Berbagi Praktik Baik | Writer

Kepala SMA Cinta Kasih Tzu Chi | Sekolah Penggerak Angkatan 2 | Narasumber Berbagi Praktik Baik | Kepala Sekolah Inspiratif Tahun 2022 Kategori Kepala SMA | GTK Berprestasi dan Inspirasi dari Kemenag 2023 I Penyuluh Agama Katolik Non PNS Teladan Nasional ke-2 tahun 2021 I Writer | Pengajar K3S KAJ | IG: masguspung | Chanel YT: Purwanto (Mas Pung) | Linkedln: purwanto, M.Pd | Twitter: @masguspung | email: bimabela@yahoo I agustinusp134@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kalau Bisa Kaya, Kenapa Harus Miskin?

3 September 2016   13:24 Diperbarui: 3 September 2016   13:34 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Setiap bulan minimal satu kali saya memberi pendidikan dasar perkoperasian kepada anggota baru. Periode Januari-Juli 2016 anggota baru yang telah mendapatkan pendidikan dasar sebanyak 524 anggota. Mengawali sesi pendidikan, saya selalu membuat survey kecil. Survey ini untuk melihat alasan mereka bergabung menjadi anggota koperasi sampan pinjam atau Credit Union dan memotret tingakt social ekonomi mereka. Rata-rata 96% atau 503 orang menjadi anggota kopdit karena alasan ekonomi, yaitu ingin lebih sejahtera. Sementara persebaran tingkat social ekonomi mereka lebih dari 97% atau 508 orang berasal dari lapisan masyarakat ekonomi menengah kebawah.  Tidaklah berlebihan kalau kemudian saya menyimpulkan mereka yang menjadi anggota kopdit adalah orang yang pingin lepas dari kemiskinan alias pingin menjadi kaya. Refleksi ini kemudian membawa saya pada pertanyaan, “Kalau bisa kaya, kenapa harus miskin?” Data ini menyadarkan saya untuk merubah pola dan materi pendidikan dasar sehingga setelah mereka menjadi anggota kopdit mereka mengetahui apa yang harus mereka lakukan.

Mengubah Cara Berpikir yang Keliru

Pertama yang saya lakukan adalah memasuki cara berpikir yang menyebabkan orang menjadi miskin. Mengawali sesi ini saya melontarkan pertanyaan refleksi kepada mereka, “mengapa orang miskin (kita) itu miskin?” Jawaban mereka bermacam-macam. Kebanyakan mereka menjawab “karena malas”. Ada yang menjawab, “karena tidak memiliki modal, abisnya dilahirkan dalam keluarga miskin jadi tidak punya warisan”, “karena diperlakukan tidak adil oleh pemerintah”, “karena tidak memiliki ketrampilan sehingga kalah waktu melamar kerja”. Sebagian besar mereka setuju dengan alasan-alasan tersebut. Jawaban itu mengungkapkan cara berpikir mereka. Mereka memikirkan bahwa kemiskinan itu penyebabnya diluar diri mereka, yaitu warisan kemiskinan.berasal dari keluarga miskin, tidak memiliki modal, kalah bersaing, malah ada yang berpikir karena pemerintah tidak adil. Malah ada yang meyakini kalau kemiskinan itu kodrat dari Tuhan yang harus diterima dengan ikhlas. Tentu ini berbahaya sekali.  

Cara berpikir ini perlu diubah karena realitas miskin itu justru hasil dari cara berpikir yang keliru seperti itu. Karena itulah terjadi didalam masyarakat bahwa orang yang miskin makin miskin dan yang kaya makin kaya. Karena cara berpikir orang miskin yang keliru terus dibiarkan keliru maka kondisinya makin parah; sementara orang kaya cara cara berpikirnya lurus sehingga makin kaya. Untuk memperkuat asumsi ini, Brian Tracy menghasilkan dalam kajiannya bahwa orang miskin selalu memenuhi pikiran mereka dengan berbagai atribut kemkiskinan, keterbatasan diri, kelemahan, kekurangan dan ketidakmampuan. Atribut-atribut itu makin memperkokoh keyakinan diri dan konsep dirinya yang miskin sehingga mereka makin terpuruk. Percaya dirinya makin lemah sehingga makin tersisih dalam kehidupan social. Akses social ekonomi semakin kecil.

Para tokoh sukses selalu memberi kesaksian bahwa apa yang diyakini seseorang itulah yang bakal terjadi. Para filsuf pun merefleksikan secara filosofis, pikiran manusia menjadi pengendali tindakannya. Kalau pikirannya dipenuhi dengan kekurangan dan ketidakmampuan pasti yang dilakukan juga selalu kurang dan cenderung tidak produktif. Bahkan Nabi Isa pun dalam setiap pengadaan mukjizat selalu mengatakan, “keyakinan (iman) mu telah menyelamatkan engkau”. Nabi Muhammad juga mengatakan, “Allah tidak akan menyelamatkan hamba-Nya kalau hamba itu tidak mau mengubah dirinya” Yang dimaksud oleh Nabi Isa dengan keyakinan adalah cara berpikir, dan yang dimaksud Nabi Muhammad “dirinya sendiri”. Berdasarkan pemikiran itu, peserta diajak untuk menyadari bahwa miskin dan kaya itu hasil dari cara berpikir. Karena itu menjadi anggota kopdit pertama-tama diajak untuk berpikir menjadi kaya. Kaya disini tentu dalam arti kaya materi, kaya pikiran positif, dan kaya spiritual.

Mengubah Pola Bertindak Menjadi Produktif

Langkah kedua saya mengajak peserta merubah pola bertindak menjadi produktif. Orang miskin perilaku dan tindakannya itu cenderung konsumtif. Hal ini dibuktikan oleh data dari BPS bahwa konsumsi rokok orang miskin jauh lebih besar dibandingkan orang kaya. Konsumsi rokok oleh orang miskin mencapai 70%. Ini adalah pola bertindak yang konsumtif. Gambaran pola bertindak orang miskin: bekerja membanting tulang mendapat uang kemudian belanja; Sedangkan pola bertindak orang kaya: bekerja mendapatkan uang kemudian membangun asset. Perbedaan pola bertindak inilah yang menyebabkan orang miskin makin miskin dan orang kaya makin kaya. Tiba-tiba ada seorang peserta menyela tidak setuju. Menurutnya orang kaya gajinya besar sehingga bisa menabung sedangkan orang miskin gajinya kecil bahkan sebelum akhir bulan harus utang untuk makan. Nah, pola pikir seperti ini selalu menjadi penghalang menjadi kaya. Seorang financial planner pernah mengatakan, “kebutuhan kita akan bertambah seiring dengan pertambahan gaji” karena itu besar kecilnya gaji tidak menentukan seseorang bisa menabung atau tidak (membangun asset)

Pada sesi ini memberi strategi cara membangun asset sebagai anggota kopdit. Setiap anggota diberi penjelasan cara meminjam untuk membangun asset bukan untuk belanja/konsumtif.

Saya menyadari sungguh, bahwa mengubah pola pikir dan pola perilaku membutuhkan komitmen yang besar dari orang yang bersangkutan. Perubahan ini membutukan edukasi yang berkelanjutan. Disinilah pentingnya pilar pendidikan untuk melepaskan mereka dari kemiskinan. Pendidikan yang saya maksudkan bukan pertama-tama pendidikan formal, melainkan pendidikan penyadaran melek financial (financial literacy) untuk membangun asset. Kopdit harus membawa perubahan dalam diri anggota menjadi lebih sejahtera, dan untuk itu tidak mungkin hanya memberi pinjaman. Lebih penting dari tindakan meminjam adalah merubah pola pikir dan pola perilaku bertindak produktif sehingga setiap aktivitas meminjam selalu terarah pada menambahan asset anggota. Dengan demikian kopdit mengangkat harkat hidup masyarakat menjadi lebih bermartabat sesuai dengan kodratnya. “Kalau bisa kaya, kenapa harus miskin?”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun