Mohon tunggu...
Purwanto (Mas Pung)
Purwanto (Mas Pung) Mohon Tunggu... Guru - Pricipal SMA Cinta Kasih Tzu Chi (Sekolah Penggerak Angkatan II) | Nara Sumber Berbagi Praktik Baik | Writer

Kepala SMA Cinta Kasih Tzu Chi | Sekolah Penggerak Angkatan 2 | Narasumber Berbagi Praktik Baik | Kepala Sekolah Inspiratif Tahun 2022 Kategori Kepala SMA | GTK Berprestasi dan Inspirasi dari Kemenag 2023 I Penyuluh Agama Katolik Non PNS Teladan Nasional ke-2 tahun 2021 I Writer | Pengajar K3S KAJ | IG: masguspung | Chanel YT: Purwanto (Mas Pung) | Linkedln: purwanto, M.Pd | Twitter: @masguspung | email: bimabela@yahoo I agustinusp134@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Haruskah Anak Pintar Semua Pelajaran?

3 Desember 2015   19:31 Diperbarui: 3 Desember 2015   19:39 365
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari itu saya duduk di ruang tunggu sekolah. Para orang tua-yang hampir semua ibu-ibu- sedang menunggu anaknya keluar sekolah. Terdengar obrolan seru tentang prestasi anakn di sekolah. Seorang dengan bangga menceritakan anaknya yang selalu mendapatkan juara pertama sejak kelas 1 hingga sekarang kelas 5. Dengan antusias ibu tersebut menceritkan kegiatan belajar dan berbagai les yang diberikan kepada anaknya. Sejak pulang sekolah sampai malam hari, tiada waktu santai bagi sang anak. Semua terisi dengan agenda belajar dan les. Bahkan minggu sore pun dipakai untuk belajar. Alhasil semua pelajaran mendapatkan nilai tertinggi di kelas.

“Bangga” itulah perasaan sang ibu. Sebagai orang tua, saya bisa merasakan rasa bangga ketika anak mencapai prestasi terbaik dibidang akademik. Saya pun mengalami itu ketika anak saya juara 2 nilai tertinggi pada hasil USBD (Ujian Sekolah Berstandar Daerah). Pencapaian itu bukan tanpa perjuangan. Anak saya belajar dengan keras ketika hendak ulangan atau ujian. Saya tahu tidak ada sebuah prestasi yang diperoleh dari sebuah kebetulan atau nasib baik. Selalu ada harga yang harus dibayar untuk prestasi.

Setelah sampai rumah, angan dan pikiran saya terbayang oleh anak dari ibu yang tadi bercerita di ruang tunggu sekolah. Saya membayangkan anak betapa anak itu sangat sibuk, dan tidak memiliki waktu lagi untuk bermain. Padahal usia sekolah dasar adalah masa yang paling membahagiakan untuk bereksplorasi bersama teman-teman sebayanya. Dunia anak, adalah dunia main. Anak itu telah kehilangan dunianya, yakni dunia bermain. Keseharian waktunya telah habis untuk belajar, dan berbagai les.

Saya memandang anak saya, yang berbeda dengan anak itu. Anak saya memiliki jadual  belajar di rumah. Dia tidak les bimbingan belajar diluar rumah. Satu-satunya les yang saya berikan adalah les piano, sebagai cara untuk mengasah emosi dan kelenturan bergaul.

Sebagai orangtua, saya tidak mau anak saya kehilangan masa kanak-kanaknya dengan berbagai kegiatan yang merampok kesukaanya dimasa kanak-kanak. Saya barangkali tidak bisa mewariskan harta benda berlimpah, tetapi kami mau memberikan apa yang terbaik bagi dirinya sesuai usianya. Yang terbaik saat ini adalah focus pada belajar dengan tetap memberikan “masa” kanak-kanaknya. Saya percaya ketika anak mendapatkan apa yang terbaik pada setiap tahap perkembangannya, ia akan tumbuh sebagai pribadi yang matang.

Setiap orang tua akan bangga pada prestasi akademik anaknya yang cemerlang; tetapi saya sadar bahwa prestasi anak tidak bisa saya pakai untuk memuaskan rasa haus saya akan kebanggaan. Saya selalu katakan kepada kedua anak saya, “Papa tidak menuntut Kakak dan Dede selalu mendapatkan nilai 100 saat ulangan; papa hanya ingin Kakak dan Dede senang belajar. Kakak dan Dede harus menikmati sekolah”. Bagi saya tidak harus mendapatkan nilai sempurna, dan tidak perlu pintar semua pelajaran. Istriku juga seorang guru, dan dia juga sepaham dengan saya dalam hal ini.

Setiap anak telah diberi talenta masing-masing oleh Tuhan. Talenta itu sebagian adalah warisan biologis dari kita sebagai orang tua. Menyadari hal itu, saya mau realistic memandang anak saya sebagai pribadi yang tidak harus menguasai semua pelajaran. Dan tidak harus seorang anak pintar semua pelajaran. Juara kelas tidak menjamin prestasi bagi masa depan mereka. Yang memberi jaminan prestasi bagi masa depan anak adalah bahagia yang dia rasakan pada setiap tahap perkembangan hidupnya. Ketika dia merasa bahagia maka dia akan menikmati apa yang dia lakukan; dan sebaliknya ketika dia menikmati apa yang dia lakukan maka dia akan bahagia. Bagi saya itulah prestasi.

Saya memang bukan orang tua yang sempurna, tetapi saya mencintai anak-anak saya. Saya ingin selama anak saya bersama saya, saya mau memberikan kebahagiaan kepadanya. Itulah yang terbaik dalam hidupku dan hidupnya. Semoga semua anak mendapatkan bahagia sesuai masa dan tahap perkembangannya. Semoga keinginan orang tua untuk memberikan yang terbaik kepada anak-anaknya tidak menjadi alasan untuk “memaksa” anak menjadi orang dewasa yang bertubuh anak-anak.

Apapun kondisi, dan pencapaian yang dicapai anak kita, dia tetaplah yang terbaik bagi dirinya; walau terkadang itu bukan yang terbaik untuk kita sebagai orang tua. Biarlah anak menjadi dirinya sendiri dengan segala keunikannya sesuai dengan rancangan Sang Pencipta bukan sesuai rancangan orang tua. “Fiat voluntas Tua” (Semoga terjadi sesuai kehendak Tuhan)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun