Siang ini saya dihenyakan oleh peristiwa kemarahan orang tua murid. Pasalnya, jawaban ulangan anaknya yang baru kela 4 SD diberi NOL oleh gurunya. Jawaban dari pertanyaan “Apakah arti peribahasa guru kencing berdiri, murid kencing berlari?” adalah “anak-anak lebih hebat daripada gurunya. Guru hanya bisa kencing berdiri, tapi muridnya bisa kencing sambil lari”. “Hahaha…dasar koplak tuh anak”. Jawaban yang benar dari pertanyaan itu menurut guru adalah “perilaku guru akan dicontoh oleh siswa bulat-bulat. Maka guru sebaiknya jangan memberi contoh yang buruk”.
Jawaban anak itu terus menggnggu pikiranku. Aku analisa jawaban yang diberi nilai NOL itu. Logikaku berteriak “BENAR” atas jawaban si Anak. Anak itu sangat kreatif. Brilyan. Imajinasinya sangat hebat. Dia menjawab berdasarkan pemahaman instingnya; berdasarkan imajinasi. Jujur saja, anak-anak sekarang jauh lebih cepat belajar daripada gurunya. Anak-anak belajar dari banyak sumber diinternet. Ingat, diinternet banyak situs pengetahuan yang sangat bagus. Selain itu, anak-anak sekarang cepat menguasai teknologi dan ketrampilan. Misalnya anak saya dalam banyak hal lebih tahu mengenai fitur smartphone daripada saya, juga program yang ada dikomputer. Sedangkan guru-termasuk kita orang tua-mengartikannya berdasarkan teks buku. Guru meneruskan apa yang diketahui dari sumber sebelumnya. Sumber yang dimiliki guru, ya diktat lama, terbitan era Sutan Takdir Alisjahbana. Sedangkan sumber pengetahuan anak sekarang terbitan mbah Google.
Peristiwa itu terus menggelitik pikiran saya. Saya pun meluncur mencari arti peribahasa tersebut dengan bertanya kepada para teman melalui grop di FB, tumblr, twitter. Saya juga mencari diWikipedia, hingga situs Badan Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Kementeriaan Pendidikan dan Kebudayaan. Jawaban yang saya temukan tidak jauh beda dari jawaban guru tersebut.
Penelusuran saya menemukan titik pemberhentian bahwa peribahasa “guru kencing berdiri, murid kencing berlari” merupakan produk dari masyarakat tertentu, dengan budaya tertentu, dan pada masa tertentu-waktu itu, entah kapan dibentuk tetapi sudah lama sekali. Budaya saat itu mengajarkan kepada masyarakat kalau kencing berdiri itu tabu, apalagi jika itu dilakukan oleh guru, sosok yang pantas digugu dan ditiru. Maka jika gurunya berbuat tabu, murid akan berlaku lebih tabu lagi. Perilaku guru PASTI diteladani oleh murid. Itulah kurang lebih budaya masyarakat saat itu. Seorang pemimpin perilakunya harus menjadi contoh bagi bawahannya. Tuntutan akan keteladanan iseorang pemimpin itulah yang kemudian digambarkan dengan pribahasa “guru kencing berdiri murid kencing berlari”
Jaman Berubah, Nilai Berubah
Jaman telah berubah. Nilai-nilai lama pun mengalami pergeseran, dan tranformasi disetiap masa transisi. Perilaku manusia yang dikatakan tabu pun kriterianya berubah. Sekarang ini kencing berdiri sudah menjadi jamak. Dimana-mana toilet dirancang penggunaannya dengan berdiri, kecuali toilet wanita. Bahkan, saya sering jumpai orang enak saja kencing berdiri di pinggir jalan karena ia sadar akan akibat yang buruk bagi kesehatan jika menahan kencing. Dj Jawa wanita bersiul sangat tidak sopan, tetapi saat ini malah ada lomba bersiul.
Dari peristiwa ini saya menarik beberapa pelajaran bermakna:
Pertama, pengetahuan itu, sesuai sifatnya yang akumulatif, berkembang – dalam arti mengalami perubahan- yang makin disempurnakan. Kebenarannya tidak mutlak berlaku sepanjang segala abad. Sejarah ini telah dibuktikan oleh Galileo Galilei dengan teorinya yang menyatakan peredaran bumi yang mengelilingi matahari dan matahari sebagai system tata surya. Akibat teorinya, ia dinyatakan salah dan menyesatkan. Ia dihukum mati. Padahal pandangan inilah yang benar. So, sebaiknya guru, dan kita orang tua, jangan pernah merasa paling benar. Jangan mengukur kebenaran dari pengetahuan yang kita miliki saja.
Kedua, Perhatikan konteks. Untuk memperhatikan konteks dibutuhkan kerelaan mendengarkan penjelasan orang lain. Kebenaran arti/makna peribahasa dipengaruhi oleh konteks lingkungan budaya tertentu. Andaikan guru memahami konteks munculnya peribahasa itu, tentu saja akan lebih arif dalam memberi penilaian. Anak jaman sekarang kehilangan konteks awal munculnya peribahasa tersebut. Konteksnya sudah berubah, dan malah ganti 180 derajat. Artinya pun bisa berubah, dan menurut saya bisa bermakna baru karena konteks yang baru.
Ketiga, substansi penilaian disekolah bukan menghakimi tetapi menghargai. Jika saja semangat menghargai itu ada pada guru itu, pasti dia akan memberi poin sekalipun jawaban siswa berbeda 180 derajat dari informasi/data yang dimiliki. Perhatikan usaha anak bukan hasilnya semata. Jadi ingat apa yang pernah dikatakan orang bijak, “Tuhan tidak melihat hasil yang kita peroleh tetapi Tuhan meilihat usaha yang telah kita lakukan”