Mohon tunggu...
Purwanto (Mas Pung)
Purwanto (Mas Pung) Mohon Tunggu... Guru - Pricipal SMA Cinta Kasih Tzu Chi (Sekolah Penggerak Angkatan II) | Nara Sumber Berbagi Praktik Baik | Writer

Kepala SMA Cinta Kasih Tzu Chi | Sekolah Penggerak Angkatan 2 | Narasumber Berbagi Praktik Baik | Kepala Sekolah Inspiratif Tahun 2022 Kategori Kepala SMA | GTK Berprestasi dan Inspirasi dari Kemenag 2023 I Penyuluh Agama Katolik Non PNS Teladan Nasional ke-2 tahun 2021 I Writer | Pengajar K3S KAJ | IG: masguspung | Chanel YT: Purwanto (Mas Pung) | Linkedln: purwanto, M.Pd | Twitter: @masguspung | email: bimabela@yahoo I agustinusp134@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Tata Kelola Sekolah Swasta (Banyak) Payah?

15 April 2024   13:51 Diperbarui: 15 April 2024   13:56 390
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gambar: Belajar, Berlatih dan Refleksi pada Pelatihan Kepala Skolah da Calon Kepsek (Dok. Pri)

Kemampuan memetakan masalah adalah awal dari keberhasilan karena membidik persoalan memungkinkan kita ambil solusi yang tepat. Prinsip ini berlaku dalam semua bidang kehidupan dan profesi. Karena itu, sebelum saya menentukan praktik baik sebagai solusi terlebih dahulu saya mendeskripsikan kondisi riil negatif.

Belum lama ini saya diminta berbagi ide dan praktik baik model tata kelola sekolah swasta. Tentu ini tidak mudah. Bagi saya yang tidak mudah adalah tantangan untuk kreatif.

Langkah pertama saya mengumpulkan data dari sekolah tersebut terkait dengan kondisi yang mereka alami. Partisipan berasal dari pengelola tingkat pelaksana harian yayasan dan kepala sekolah. Begini lebih kurang kondisi negatif yang mereka alami

Kepala sekolah cenderung reaktif. Mereka bertindak ketika ada masalah. Tambal sulam menjadi kebiasaan dominan. Sangat memprihatinkan (menurut pelaksana harian) karena kepala sekolah kurang koordinasi dengan yayasan dalam mengambil keputusan. Cenderung menyalahkan yayasan.  Apatisme pun tidak dihindari. Keadaan seperti ini jangan bilang tidak mempengaruhi kinerja guru.
Guru mengajar monoton dan membosankan. Pembelajaran tidak membangun pengalaman belajar peserta didik. Inilah yang disebut pembelajaran yang tidak bermakna.

Dari pihak kepala sekolah dan guru melihat sumber persoalan ada di pihak yayasan. Yayasan tidak memahami dunia pendidikan sehingga keputusannya tidak berpihak pada guru. (disini ada sedikit yang harus diluruskan. Bukan berpihak pada guru tetapi pada nilai pendidikan) Karena itu mereka mengambil keputusan tanpa koordinasi dengan yayasan.

Itu kondisi bukan sumber masalah. Sumber masalah ada di dalam cara berpikir atau mindset manusianya. Menurut Arbinger cara berpikir yang menjadi sumber masalah itu disebut Mindset Inward. Yaitu mindset yang memunculkan perilaku membela diri dan mendahulukan diri sendiri dengan segala turunnya. Gejala yang dimunculkan pada mindset ini antara lain kinerja buruk, kurangnya komitmen atau keterlibatan, menyalahkan, kurang inisiatif, kurang inovasi, kepemimpinan yang buruk dan konflik. Perilaku dengan semua gejalanya itulah yang saya sebut kondisi riil. Tapi sumber masalahnya adalah mindset.

Mindset sebagai sumber masalah berarti solusi yang disentuh juga mindset. Arbinger menyebut Mindset Outward. Mindset outward menghasilkan perilaku yang mendahulukan hasil bersama. Gejala-gejala yang muncul dari cara berpikir ini antara lain kinerja unggul, komitmen dan keterlibatan yang sangat tinggi dan seterusnya yang menjadi kebalikan dari kondisi negatif mindset inward.

Nah lalu bagaimana pelatihan bagi pengelola (kepala sekolah/calon kepala sekolah dah harusnya juga pelaksana harian yayasan) dilaksanakan? Di sinilah narasumber harus kreatif mendesain pelatihan yang objektifnya mengubah paradigma dari mindset inward ke mindset outward. (ini juga menjadi projek pembelajaran yang sedang saya dalami)

Pada sharing berbagi praktik baik dengan topik model tata kelola sekolah Swasta saya mengajak peserta belajar, berlatih dan berefleksi mengelola sekolah. Pada setiap pelatihan ketercapaian tujuan sangat ditentukan oleh keterlibatan aktif peserta dalam membangun semangat belajar, berlatih dan berefleksi secara jujur dan sungguh-sungguh.

Tahap pertama, peserta secara bersama-sama menyusun satu peta yang sangat penting dan menentukan langkah berikutnya, yaitu menyusun profil tamatan yang sekolah. Inspirasi dari tahap ini peserta belajar dari kompetensi abad 21, kurikulum merdeka dan visi-misi sekolah/yayasan. Tahap ini tidak semudah yang dibayangkan. "Perumusan (profil) kualitas masa depan membutuhkan kontemplasi" kata seorang bijak.  

Tahap kedua, peserta merefleksikan model kepemimpinan kepala sekolah. Model ini menjadi rujukan kemendikbud ristek sebagai model kepemimpinan kepala sekolah sesuai dengan Peraturan Dirjen GTK No. 6565/B/GT/2020 Tentang Model Kompetensi dalam Pengembangan Profesi Guru

Ada 4 kompetensi yang harus dimiliki kepala sekolah era digital saat ini.

1. Pengembangan diri sendiri dan orang lain

2. Pengembangan kepemimpinan pembelajaran

3. Pengembangan kepemimpinan manajemen sekolah

4. Pengembangan sekolah

Tiap kompetensi tersebut memiliki sub indikator-sub indikator yang lebih spesifik untuk dipelajari, dilatih dan direfleksikan

Tahap ketiga, peserta didik menyusun program kerja (kegiatan) untuk mewujudkan profil tamatan yang sudah dirumuskan pada tahap pertama. Penyusunan program ini berbasis pada data yang terdapat di dalam rapor pendidikan, evaluasi program tahunan, masukan warga sekolah dan analisis SWOT yang telah disusun sebelumnya

Gambar: Belajar, Berlatih dan Refleksi pada Pelatihan Kepala Skolah da Calon Kepsek (Dok. Pri)
Gambar: Belajar, Berlatih dan Refleksi pada Pelatihan Kepala Skolah da Calon Kepsek (Dok. Pri)

Memperhatikan tiga tahap yang sangat luas dan dalam tersebut, pelatihan akan sangat ideal jika dilakukan dalam paket dua malam tiga hari atau dua hari satu malam dengan agenda yang bisa ditinjau ulang. Pengembangan kualitas SDM baik itu tingkat pengelola atau pendidik merupakan kebutuhan yang sangat penting. Namun jika diperhatikan secara jujur, pengembangan kualitas SDM justru kurang mendapatkan porsi dalam pendanaan sekolah. Sedangkan pada sisi kebutuhan, saat ini sekolah membutuhkan SDM yang berkualitas hampir dalam semua bidang. SDM pendidik dituntut seperti malaikat yang punya kemampuan membangun pelajar merdeka sesuai dengan kodratnya tetapi fasilitas dan lingkungan yang diberikan kepada pendidik jauh dari harapan. Butuh keberanian pada level pengambil keputusan untuk mengkondisikan pengembangan guru. Tentu dalam semua aspek. "Untuk sukses butuh keberanian" kata Jocelyn Davis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun