Setiap orang pasti pernah punya kesalahan baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap orang lain. Pemaafan menjadi sangat penting bukan hanya untuk orang lain yang bersalah kepada kita tetapi juga untuk diri kita sendiri. Malah mungkin saja pemaafan kepada orang lain atau memaafkan orang lain sebenarnya manfaat yang paling pokok untuk diri sendiri, seperti yang dikatakan oleh Paul Boese berikut. "Forgiveness does not change the past, but it does enlarge the future" (Pemaafan memang tidak mengubah masa lalu, tetapi akan memperluas jangkauan masa depan kita) Memaafkan orang lain menjadi bentuk cinta pada diri sendiri.
Kita baru saja merayakan hari raya Idul Fitri. Pada hari ini semua orang merayakan kembalinya manusia kepada fitrah, yakni kesucian hidup. Hari yang digunakan oleh umat manusia untuk saling memaafkan. Seorang pemudik melalui layar televisi saat ditanya alasan mudik mengatakan, "untuk silaturohmi; minta maaf kepada orangtua dan sanak keluarga" Orang mudik ke kampung halaman, menempuh perjalanan jauh dan membayar harga yang tidak sedikit untuk minta maaf. Hubungan kekeluargaan dan relasi sosial kembali baik (fitrah)
Ya, momen Idul Fitri adalah momen istimewa bagi manusia untuk saling meminta maaf dan memaafkan. Namun jika tidak disadari, momen ini hanya akan menjadi formalitas alias tampak indah di luar tapi keropos di dalam. Memaafkan dan minta maaf harus keluar dari lubuk hati yang terdalam sehingga menjadi pertobatan batin yang menghasilkan perilaku sosial positif kepada sesama manusia dan alam semesta.
Momen untuk minta maaf dan memaafkan bisa (seharusnya) dilakukan kapan saja, bukan hanya pada hari raya Idul Fitri, satu tahun sekali. Minta maaf dan memaafkan adalah tindakan manusiawi yang dilandasi oleh semangat keilahian karena pemaafan baik itu terhadap diri sendiri maupun kepada orang lain tidaklah mudah. Memaafkan adalah kekuatan ilahi yang diperoleh manusia-dalam konteks Idul Fitri-setelah berpuasa 30 hari lamanya.
Nah, mampukah kita memaafkan atau minta maaf kapan saja? Pertanyaan ini bisa dijawab oleh mereka yang meyakini bahwa pemaafan bukan pertama-tama untuk mengubah masa lampau melainkan untuk memperluas jangkauan masa depan kita, seperti kata Paul Boese di atas.
Banyak orang tidak bisa berkembang alias terbelenggu hidupnya karena menyimpan kesalahan yang dibuat oleh orang lain terhadap dirinya, dan atau kesalahan yang pernah dilakukannya. Hidup dalam keterbelengguan ini menyebabkan orang tidak bahagia. Dan hidup yang tidak bahagia menyebabkan ia tidak bisa berkembang atau sukses. Dalam konteks ini menjadi benar ungkapan yang sering kita dengar, "Bahagia menyebabkan orang sukses; bukan sukses yang menyebabkan orang bahagia"
Melalui artikel ini penulis mau mengajak kita semua menyadari bahwa memaafkan orang lain pertama-tama bukan untuk orang lain yang bersalah kepada kita tetapi untuk diri sendiri. Memaafkan orang lain adalah bentuk cinta dan respek terhadap diri sendiri. Hanya diri kita yang bisa membuat kita bahagia; bukan orang lain. Langkah pertama dan utama untuk bisa bahagia adalah memaafkan kesalahan orang lain dan diri sendiri. Insyallah kita akan merasakan kebahagiaan dalam mengarungi hidup bukan karena kita punya materi berlimpah tetapi karena hati kita berlimpah pemaafan kepada orang lain dan diri sendiri. Cintai dirimu dengan memaafkan orang lain
Artikel ini adalah refleksi penulis sebagai bagian pengasahan hati sekaligus menantang diri untuk berbagi kebaikan melalui tulisan dalam ajang tantangan samber thr, samber 2023 hari 29)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H