Salah satu kesimpulan sesi pleno Simposium Nasional Lembapa Pendidikan Katolik (LPK) di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta tahun 2020 yaitu pengajaran yang membosankan sebagai penyebab menurunnya minat peserta didik ke sekolah-sekolah LPK. Pembelajaran yang membosakan dan tidak menarik membuat peserta didik terasing. Pembelajaran menjadi tidak bermakna karena tidak kontekstual.
Apakah pembelajaran seperti itu telah berubah dengan bergantinya kurikulum menjadi Kurikulum Merdeka? Dengan rumusan yang berbeda, apakah ganti kurikulum mengubah kualitas pembelajaran di dalam kelas? Mengubah perilaku pendidik? Mengubah cara belajar peserta didik?
Jika Anda seorang pendidik yang jujur, Anda akan menjawab, “Tidak”. Jika Anda seorang kepala sekolah yang melaksanakan kepemimpinan pembelajaran, Anda akan menjawab “Tidak”. Jika Anda orang tua murid yang peduli (care) kepada belajar anak, Anda akan menjawab “Tidak”. Jika Anda peserta didik yang cerdas, Anda pun akan memberi jawaban yang sama, “Tidak”.
Pergantian kurikulum tidak serta merta mengubah kualitas pembelajaran. Perubahan akan mulai tumbuh ketika pendidik menjadi seorang pembelajar sejati. Platform Merdeka Mengajar (PMM) adalah teman bagi seorang pendidik pembelajar untuk sebuah perubahan mendasar dalam pembelajaran berkualitas.
Perubahan Mendasar: Pembelajaran Berkualitas
Semangat yang diusung oleh Mas Menteri dengan meluncurkan Program Merdeka Belajar adalah perubahan fundamental dalam proses membelajaran. Kita tahu, pergantian kurikulum bukan sebuah peristiwa mendadak. Ada analisis komprehensif, dan temuan atas adanya penurunan kualitas belajar (learning loss) pada para pelajar kita. Pelajar kehilangan pengetahuan dan keterampilan dalam perkembangan akademis bukan hanya karena Pandemi Covid-19 tetapi karena praktik pembelajaran di kelas dan di luar kelas yang mekanistik, istilah Paulo Freire.
Para pelajar terasing dari dunianya karena pembelajaran di kelas tidak relevan dengan kehidupan riil. Mereka terbelenggu secara fisik dan non fisik. Keterbelengguan secara fisik disebabkan oleh pembelajaran yang kaku, tidak interaktif, peserta didik tidak telibat dalam pembelajaran. Ruang gerak pelajar sangat dibatasi.
Ketebelengguan non fisik disebabkan oleh pembelajaran tidak bermakna. Artinya pelajar tidak mendapat manfaat langsung dari pembelajaran. Pesera didik tidak mengalami pengalaman belajar. Relasi antara pendidik dengan peserta didik menjadi relasi subordinasi, yaitu relasi yang tidak seimbang.
Peserta didik dibawah “kuasa” pendidik. Tidak terjadi dialog. Yang ada adalah instruksional. Model ini disebut oleh Paulo Freire sebagai pembelajaran model bank. Peserta didik dianggap sebagai tempayan yang harus diisi oleh pendidik. Pendidik dan peserta didik sama sama tidak merdeka.