Tidak seperti ketika saya menulis artikel yang lain. Kali ini saya benar gelisah karena malu bercampur jengkel dan dongkol juga. Anda pasti baca berita yang sempat viral minggu lalu. Seorang guru di SMAN 58 Jakarta Timur larang siswa memilih pasangan calon ketua OSIS non muslim.
Kegelisahan saya terasa "sakit" karena seorang guru yang harusnya menjadi penyuluh bagi masyarakat untuk hidup saling menghargai justru bertindak sebaliknya. Rasa ini makin menggelisahkan ketika membaca pemberitaan di media bahwa yang bersangkutan mengatakan tidak bermaksud intoleren. "Niatnya hanya semata-mata untuk menerapkan kepemimpinan di kelas. Jadi tidak ada niat untuk intoleren", demikian dikutip Suara.com.
Weleh, bisa begini amat logika seorang guru SMA loh. Cermati saja logikannya ga lurus. Padahal dari chat di Whatsapp jelas banget cara berpikirnya ga patut lah. Bagi saya apa yang dilakukan guru ini adalah noda besar dunia pendidikan.
Pertama, seorang guru itu adalah orang tua di sekolah bagi semua siswa. Ingat sekolah adalah rumah kedua. Ini artinya di sekolah semua siswa mendapatkan kesederajatan yang sama.
Kedua, setiap guru dipanggil untuk membangun rasa aman dan nyaman bagi siswa. Kondisi ini sering disebut well being. Apa yang dilakukan guru ini malah menimbulkan ketidaknyamanan. Bagaimana Anda yang digaji oleh negara dari pajak semua rakyat malah memperlakukan anak rakyat demikian.
Ketiga, menodai demokrasi. Di sekolah anak-anak harus belajar bagaimana berdemokrasi. Di sekolah anak-anak harus belajar menjadi saudara bagi sesamanya. Guru yang seharusnya menjadi guru demokrasi malah sebaliknya. Lebih parah lagi dia katakan demikian, "untuk menerapkan kepemimpinan di kelas." Kepemimpinan macam apa itu?
Keempat, merobek rajutan keberagaman yang mulai menyatu. Tindakan guru ini telah merobek rajutan perbedaan yang diperjuangkan untuk dirayakan. Warga Jakarta yang belum bisa melupakan pilkada yang diwarnai oleh jualan perbedaan agama malah digosok lagi. Kali ini malah melalui generasi muda yang akan menjadi penerus bangsa ini.
Kelima, menyangkal kodrat manusia. "Perbedaan itu kodrat pak guru" Perbedaan itu harus diterima sebagai sebuah kodrat manusia. Anda kalau punya dua anak, pasti berbeda loh karakternya.
Keenam, Inonesia itu Bhineka Tunggal Ika. Indonesia, juga Jakarta itu bermacam-macam agama, suku, budaya dan lainya. Ketika kita ga bisa menghargai perbedaan artinya kita juga ga bisa memaknai Bhineka Tunggal Ika.
Saya masih bisa menambah daftar litani kenapa tindakan guru itu noda besar dunia pendidikan. Semoga saja peristiwa seperti ini tidak terjadi lagi. Memalukan.
Sekolah adalah rumah kedua bagi para siswa. Mari kita bangun rasa aman dan nyaman. Mereka beda karena kodrat. Mari kita rayakan bukan kita alphakan. (Purwanto)