Miris dan sedih rasanya ketika mendengar ada siswa meninggal dunia diduga akibat kekerasan yang dialami di sekolah pada saat mengikuti MPLS atau MOS. Sebagai orang tua saya bisa merasakan betapa pedih, sakit hati, marah dan "gak bisa menerima" kehilangan anak terlebih lagi akibat dari proses yang disebut "proses pendidikan" di lembaga yang berlabel "sekolah".Â
Sebagai seorang guru, saya pun tidak habis pikir mengapa hal seperti ini masih saja terjadi. Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah atau Masa Orientansi Sekolah yang sesungguhnya "hanya" sebagai tahap pengenalan yang seharusnya mambangun kesan "membanggakan" justru sering menjadi masa yang menakutkan bagi anak-anak baru.Â
Apapun karakteristik sekolah, entah itu semi militer ataupun umum. Praktek MPLS seharusnya taat berpedoman pada ketentuan yang ada. Pedoman MPLS adalah Permendikbud Tahun 2016 Nomor 18 yang kemudian diturunkan kedalam Juknis/Pedoman MPLS/MOS tahun 2019/2020. Salah satu tujuan MPLS adalah menumbuhkan perilaku positif, untuk mewujudkan siswa yang memiliki nilai integritas, etos kerja, dan semangat gotong royong
Peristiwa kekerasan yang terjadi dilingkungan sekolah pada saat MPLS jelas bertolak belakang dengan tujuan MPLS itu sendiri. Terjadi kontradiksi secara inheren. Kontrakdiksi seperti ini akan terus hidup dalam proses selanjutnya. Sesungguhnya apa yang terjadi dan dilakukan selama MPLS menjadi cerminan proses pendidikan yang akan berlangsung di sekolah tersebut.
Para siswa tidak lagi mengenakan atribut yang bertentangan dengan budaya humanis. Sebaliknya, para siswa diarahkan, dituntun dan dibimbing cara berpakaian yang mencerminkan budaya humanis. Tidak hanya cara berpakaian, cara berjalan, cara berdiri dan cara duduk pun dilatih agar mencerminkan budaya humanis. Berjalan seperti angin, berdiri seperti cemara dan duduk seperti lonceng.
Agar budaya humanis menjadi perhatian pokok bagi para sisswa dan terus dihidupi dalam hidup keseharian, mereka kami ajak melihat, dan merasakan sejarah Cinta Kasih Tzu Chi yang dibawa oleh Master Cheng Yen ke bumi nusantara. Tujuannya agar para siswa terinspirasi dan terpesona dengan apa yang dilakukan Master Cheng Yen, yang membaktikan hidupnya untuk membantu orang-orang yang menderita. Man/Woman for others dipelajari dan direfleksikan dalam bentuk kegiatan menapaki jalan welas asih yang dilakukan Master.
Segala bentuk kekerasan baik itu fisik maupun verbal, baik itu asksesoris maupun retoris yang bertentangan dengan budaya humanis jelas kami tolak. Kami mencintai kehidupan dan pendidikan, pengembangan dan kehormatan setiap insan. Â
Karena itu kami melaksanakan MPLS berbasis pada budaya humanis. Semoga melalui pendidikan yang humanis di sekolah, para siswa bisa menjadi agent of change dalam masyarakat sehingga keharmonisan makin kuat menjadi cita-cita dan gerakan bersama. Semua itu dimulai dari sekolah. (Purwanto-kepsek SMA Cinta Kasih Tzu Chi)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H