Pada akhir bulan Nopember 2017 saya memberi pendampingan retreat kepada para siswa kelas 12 sekolah swasta di Jakarta Barat.Â
Saya memiliki pengalaman- yang jika saya tarik benang merahnya hampir terjadi dan dialami oleh semua anak remaja urban-yakni "Remaja rentan oleh luka batin yang justru disebabkan oleh orang terdekat mereka" Sebelum mengulas kesimpulan tentative ini, ada baiknya saya ulas sedikit apa itu retreat.
Retreat jika ditilik dari etimologisya dari kata "re" yang berarti "kembali", dan "treat" artinya "memperlakukan". Kandungan makna yang terdapat didalam kata "retreat" yaitu tindakan memperlakukan dalam arti mencari makna (meaning) dari setiap tindakan (perkataan atau perbuatan) yang telah dilakukan sebelumnya.Â
Karena itulah retreat sering dilakukan di tempat yang jauh dari keramain. Retreat dilakukan sebagai salah satu kegiatan pengembangan hidup (pribadi, social, spiritual). Retreat sebagai model pengembangan diri sudah biasa dilaksanakan oleh sekolah-sekolah swasta. Paling tidak itu sekolah-sekolah swasta yang paling sering saya bantu menjankan program ini.
Remaja yang luka akan menjadi generasi rapuh
Saya sangat meyakini, bahwa bahagia itu kunci kesuksesan seseorang. Bukan sebaliknya "kesuksesan yang menyebabkan bahagia". Seseorang yang tidak bahagia cenderung memproyeksikan ketidakbahagiaan dirinya dalam tindakan dan perkataan yang menyakiti orang lain. Teori proyeksi diri telah lama dikembangkan oleh psikoanalisanya Freud.Â
Ketidakbahagiaan itu sangat dominan saya jumpai pada remaja perkotaan, pada saat saat saya mendampingi retreat. Segala persoalan yang terjadi didalam keluarga sampai dengan disekolah menjadi penyebab mereka tidak bahagia.Â
Luka-luka yang menggores dalam emosi menjadi permanen luka batin. Dari sharing diantara mereka, dan juga konseling pribadi (yang kami lakukan setelah sesi malam hari) keluarga dan sekolah justru menjadi tempat yang sering melukai hati mereka.Â
Didalam keluarga, perilaku orang tua yang sering menyebabkan mereka sakit hati adalah perkataan orang tua yang kasar dan emosi kemarahan yang megnhakimi. Pertengkaran orang tua didepan anak membekas menjadi luka yang meyakitkan. Keadaan rumah seperti itu bagai api disiram minyak ketika sampai di sekolah mereka menjumpai guru yang "arogan" dalam memberi instruksi.Â
Saya sempat terkejut bahwa ada peserta yang merasa sakit hati ketika ada guru memberi instruksi. "Ngebosi banget" keluhnya. Marah di depan kelas menempati urutan teratas tindakan guru yang sangat dibenci para siswa.Â
Tindakan-tindakan yang mereka benci baik di rumah maupun disekolah mereka duplikasi kemudian terwujud dalam tindakan relasional dengan sesama teman. Pengakuan ini sangat nyata jelas saat para perserta retreat mensharingkan beberapa tindakan merusak dalam diri mereka, yang kami bahas dalam sebuah tema "monster dalam diri"