Ia baru kelas 6 SD. Tetapi tampak bosan sekolah. Belajar pun malas. Setiap kali dinasihati selalu tersenyum manis dan menjawab, “ya” tetapi tidak juga melakukan. Suatu kesempatan ia membuat sang guru marah karena sikapnya yang sungguh cuek dan tidak peduli. Dalam keadaan dimarah oleh guru, siswa ini masih juga menjawab dengan santai, “Sekolah kayak neraka, Pak.”
Kebetulan saya berada di ruang guru ketika anak ini dimarah guru. Setelah keadaan mereda, saya ajak si anak bicara. Saya minta dia cerita mengapa dia mengalami sekolah seperti neraka. Dia mulai menceritakan dengan sangat antusias semua kegiatan di sekolah yang tidak ada hentinya, mendengarkan dan mendengarkan. Setelah itu ujian dan ujian, ulangan dan ulangan. Belum lagi remedial dan remedial. Semua itu membuatnya bosan. Saya merenungkan perkataan siswa tadi, “Sekolah seperti neraka. Ulangan dan ulangan. Ujian dan ujian. Remedial dan remedial. Mendengarkan dan mendengarkan.”
Waduh Sebagian Besar Waktu untuk Ulangan
Saya mulai menghitung hari dan minggu efektif belajar di kalender pendidikan. Saya sungguh kaget dan terhenyak. Saya malu sekaligus bingung karena apa yang dikatakan siswa tadi adalah benar.
Minggu efektif belajar di sekolah dalam satu tahun antara 40 minggu (bahkan ada yang 36-38 minggu). Itu pun harus dikurangi 2 minggu untuk ulangan semester 1 dan 2 minggu untuk ulangan semester 2. Total tinggal 38 minggu. Jikalau sekolah mengalokasikan ulangan midsemester, masih diambil 2 minggu ulangan midsemester 1 dan 2 minggu ulangan midsemester 2. Total tinggal 36 minggu. Biasanya setelah ulangan semester masih ada pengolahan nilai masing-masing semester 1 minggu. Total tinggal 34 minggu. Apakah itu jumlah minggu efektif belajar? Belum tentu karena masih ada ulangan harian. Sebelum ulangan mid seorang guru diharuskan mengadakan ulangan harian 2 kali berarti itu 2 pertemuan. Setelah mid semester, sebelum ulangan semester, guru masih harus memiliki 2 nilai dari dua kali ulangan harian. Sehingga untuk guru yang memiliki jam mengajar 2 jam perminggu, minggu efektif dalam 1 semester hanya 12 minggu. Dan itu masih digunakan untuk pengambilan nilai tugas yang minimal harus dua nilai tugas. Untuk guru yang tidak kreatif, pengambilan nilai tugas akan dilakukan pada jam pelajaran. Dengan demikian waktu satu semester yang dipunyai tinggal 8 minggu efektif. Nah, apakah itu benar-benar efektif? Belum tentu karena kadang terbentur hari libur atau hari raya keagamaan atau kegiatan sekolah seperti rapat guru atau pelatihan guru. Efektif belajar seorang siswa di dalam kelas dalam satu semester paling banter 8 minggu atau 2 bulan. Bulan yang lain untuk apa? yaitu tadi untuk ulangan midsemester, ulangan semester, pengambilan nilai tugas.
Secara sederhana saja, ulangan harian dalam satu semester 4 kali, ditambah ulangan midsemester dan ulangan semester. Ada 6 kali ulangan atau ujian yang harus dilakukan seorang siswa. Plus tugas yang harus diselesaikan entah itu terstruktur maupun tidak terstruktur, jika tidak diselesaikan maka siswa akan mendapatkan nilai nol dalam tugas. Itu frekuensiulangan danujian serta pengembilan nilai dalam satu semester. Secara akumulasi dalam satu tahun siswa melakukan ulangan atau ujian sebanyak 12 kali dan mengerjakan tugas ternilai 8 kali. Itu untuk satu pelajaran. Jikalau Muatan Kurikulum SMP memiliki 10 mata pelajaran, itu artinya seorang siswa SMP harus melakukan ulangan dalam satu tahun (10 bulan, karena Juni dan Juli hanya setengah bulan, dan Desember juga setengah bulan) sebanyak 120 kali ulangan, dan mengerjakan tugas ternilai 80 tugas. Dengan memperhatikan padanya aktivisme ulangan seperti ini, saya bisa mengerti mengapa siswa tadi bosan, dan merasa sekolah itu seperti neraka.
Akibat sistem pendidikan seperti ini para siswa, anak kita, yang kita sayangi menjadi korban: anak mudah stres, emosinya kurang tersentuh. Anak tidak suka sekolah lebih suka bermain karena baginya sekolah tidak lebih daripada ujian dan ujian. Anak menghafal catatan dan foto kopian yang diberikan oleh guru. Dengan alokasi waktu seperti itu, tidak ada satu guru pun di bumi nusantara ini yang bisa menyelesaikan proses pembelajaran dengan tuntas dalam pemberian materi. Akibatnya, guru memberi tugas kepada siswa untuk meringkas buku. Lebih parah lagi, guru membuat daftar pertanyaan dan jawaban kemudian dikopikan dan siswa menghafal untuk ulangan. Ini dilakukan supaya nilai anak bagus, tapi ya hanya nilai yang bagus, ilmu dan serapan yang diperoleh tidak berbanding lurus dengan nilai yang diperoleh. Konsekeunsi negative lain adalah, setiap guru memberikan kisi-kisi kepada siswa sebelum ulangan mid/semeseter. Itu pun banyak siswa tidak paham karena pada dasarnya mereka belum mempelajari apa yang ada didalam kisi-kisi.
Siswa yang dihasilkan dari proses seperti itu adalah siswa yang lemah dalam karakter. Mereka lebih berjuang untuk mendapatkan nilai yang sesungguhnya tidak merepresentasi kompetensi mereka karena nilai itu diperoleh dari proses yang mekanistik. Kasihan anak-anak kita, mereka tidak menikmati masa sekolahnya.
Buat Terobosan Baru: Kurangi Ulangan, Buat Anak Bahagia
Harus ada terobosan baru, sebuah revolusi cara belajar yang lebih membuat siswa gembira ria bersorak sorai dan suka cita. Cara belajar seperti ini dapat dilakukan dengan mengurangi muatan kurikulum. Mohon dievaluasi cara mengevaluasi proses belajar, jangan membuat anak takut dan stress karena ulangan. Kurangi ulangan dan butlah model ulangan atau ujian yang lebih menyenangkan. Proses belajar di kelas agar dikurangi dan memberi ruang kepada siswa untuk belajar diluar kelas. Belajar di masyarakat secara langsung akan membuat anak menjadi bahagia dan gembira.
Proses seperti ini akan meningkatkan kemampuan social dan emosional siswa, percaya diri anak pun akan berkembang lebih baik. Banyak topik yang bisa dipelajari di luar ruang kelas ketika siswa bersama masyarakat, seperti topik lingkungan, ekonomi, sumber daya, matematika. Nilai yang dihidupi dan direfleksikan juga amat konret, nilai kerja sama, gotong royong, menghargai orang lain, sopan santun, norma social, kejujuran dan kemandirian serta tanggung jawab. Beranikah sekolah membuat terobosan agar para siswa tidak bosan belajar melainkan merasa bahagia? Mari kita renungkan kemungkinan mengurangi jumlah ulangan/ujian, dan memberi keleluasaan untuk berekspresi. Anak-anak ada untuk bahagia bukan untuk tersiksa. Berawal dari bahagia sehingga anak berkembang; bukan sebaliknya berkembang dulu baru bahagia.