Mohon tunggu...
Purwanto (Mas Pung)
Purwanto (Mas Pung) Mohon Tunggu... Guru - Pricipal SMA Cinta Kasih Tzu Chi (Sekolah Penggerak Angkatan II) | Nara Sumber Berbagi Praktik Baik | Writer

Kepala SMA Cinta Kasih Tzu Chi | Sekolah Penggerak Angkatan 2 | Narasumber Berbagi Praktik Baik | Kepala Sekolah Inspiratif Tahun 2022 Kategori Kepala SMA | GTK Berprestasi dan Inspirasi dari Kemenag 2023 I Penyuluh Agama Katolik Non PNS Teladan Nasional ke-2 tahun 2021 I Writer | Pengajar K3S KAJ | IG: masguspung | Chanel YT: Purwanto (Mas Pung) | Linkedln: purwanto, M.Pd | Twitter: @masguspung | email: bimabela@yahoo I agustinusp134@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Apakah Anak Harus Ranking di Sekolah?

21 Desember 2015   16:36 Diperbarui: 21 Desember 2015   16:36 1143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

“Pak, anak bapak ranking…. memang sih tidak ditulis” Kalimat pertama yang diucapkan wali kelas anak saya ketika saya mengambil rapor. Saya sendiri tidak memberi tanggapan soal ranking itu. Di luar kelas saya menjumpai beberapa ibu berkumpul membicarakan  rapor anak mereka masing-masing. Obrolan seputar ranking yang diperoleh di kelas. Tampak kebanggaan luar biasa saat anaknya mendapat ranking 1 atau 5 besar di kelasnya.

Siapa orang tua yang tidak senang anaknya mendapat ranking dikelas? Dari pihak anak, anak yang memperoleh rangking sebagai ganjaran karena senang belajar, tentu berbeda situasinya dengan anak yang memperoleh itu karena desakan dan paksaan belajar dari orang tua. Dari pihak orang tua layaklah kita refleksi sejenak, dorongan/paksaan belajar benarkah itu sebagai wujud mencintai anak ataukah sebenarnya keinginan mendapat ranking (tanpa disadari menjadi tuntutan) merupakan obsesi sebagai orang tua? Jangan-jangan itu hanya untuk memenuhi dahaga kepuasan sebagai orang tua.

Saya termenung, dan berpikir. Dalam perjalanan saya sebagai guru dan orang tua, tuntutan memperoleh ranking lebih sebagai beban anak daripada prestasi. Banyak anak telah direnggut masa kanak-kanak mereka, justru oleh orang tuanya. Mereka  kehilangan watu bermain diusia kanak-kanak karena mengejar ambisi  orang tua, sekolah berprestasi, ranking dikelas, dan menjadi terbaik di kelas. Pagi sampai siang, anak belajar disekolah, pulang sekolah tidak sempat istirahat anak les bimbingan belajar (bahkan disekolah-sekolah pun sudah ada bimbingan belajar setelah pulang sekolah), kemudian les Mandarin, les  melukis, les  music, les Inggris, les kumon. Seabrek kegiatan dari hari senin sampai sabtu. Di rumah masih diwajibkan belajar. Waktu sangat padat, semua agenda tersusun rapi. Melihat kegiatan anak seperti itu, saya bertanya diri, apakah itu yang disebut disiplin ataukah itu lebih tepat robot? Rutinitas anak seperti itu banyak saya jumpai diantara orang tua obsesif, meyakini rangking kelas  akan berbanding lurus dengan kesuksesan masa depan anak.

Tidak selalu demikian. Pengalaman dan pengamatan terhadap para siswa saya yang saat ini telah memasuki dunia kerja menunjukkan justru siswa yang saat disekolah kemampuan akademis biasa-biasa saja bisa memiliki kehidupan ekonomi yang progresif. Mereka adalah siswa yang menikmati masa masa sekolah dengan aktivitas social, pergaulan yang baik, emosi yang altruis dan aktif dalam organisasi. Mereka memiliki rasa percaya diri yang dibentuk dari proses pergaulan dan social. Mereka lebih realistic memandang kehidupan. Mereka lebih cerdas mencari jalan keluar saat menghadapi tantangan dan kesulitan. Mereka menikmati hidup sesuai dengan perkembangan usianya.

 

Hidup Tidak Harus Juara 1

Para siswa yang prestasinya biasa saja tapi lebih menikmati hidup sesuai masanya, lebih dinamis dalam pertahanan diri, lebih luwes dalam pergaulan, lebih rendah hati sehingga ketika masuk dunia kerja mereka berani mulai dari posisi paling bawah. Barangkali pengamatan saya ini terlalu sederhana dan terlalu dini untuk menarik kesimpulan tersebut. Tetapi jelas tidak bisa disangkal, hidup ini tidak harus menjadi juara. Kesuksesan itu bukan diukur dengan juara kelas atau rangking 1, melainkan dari sejauh mana bisa menikmati kegembiraan dalam apa yang dilakukan. Itu saja, dan itu cukup. Saya percaya, jikalau anak saya bisa menikmati kegembiaraan dalam setiap yang dilakukan –saat ini belajar dan sekolah-pasti itu sudah cukup membuatnya sukses. Sukses bukanlah hasil akhir/tujuan; sukses adalah perjalanan. Hidup itu tidak harus menjadi juara 1; tapi hidup itu harus bahagia. Dan saya mau membantu anak saya bahagia dengan sekolahnya, maka saya tidak menuntut ia juara kelas atau ranking 1. Dengan alasan itulah perkataan wali kelas anakku “Pak, anak bapak ranking….” , tidak saya tanggapi lebih lanjut; karena sekolah tidak harus juara 1; yang lebih penting adalah anak saya senang sekolah; menikmati masa sekolah dasarnya; karena masa-masa sekolah dasar tidak akan pernah bisa terulang. Bagiku itu seudah merupakan prestasi. (Agustinus Masae Purwanto)

 

.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun