Anak saya yang baru kelas 5 sekolah dasar bertanya, “Pa, mengapa sih kasus ini dibilang papa minta saham? Ramai banget acaranya di televisi. Tadi padi ibu guru juga ngomongi masalah ini”, ungkap anak saya.
Sangat sulit bagi saya menjelaskan makna sebenarnya dari kalimat itu. Untuk menjelaskannya saya menggunakan analogi kasus yang sama dimana beberapa minggu sebelumnya polisi berhasil menangkap sekawanan panjahat yang melakukan penipuan dengan modus “papa minta pulsa”. Mendengarkan penjelasan saya, tampaknya anak saya sedikit paham, lalu bertanya lebih lanjut “kalao begitu ketua DPR kita telah melakukan penipuan dong?” Kemudian saya menjawabnya, “nah itu masih dalam pembuktian”
Masalah Moral Bukan Masalah Politk
Kasus Setya Novanto (SN) telah menyita perhatian publik dengan luar biasa. Menjadi topik obrolan dari warung kopi dipojokan tungkang ojek sampai acara prime time di televisi. Masalah pencatutan nama presiden yang dilakukan SN merupakan cermin betapa persoalan moral telah dikemas menjadi komoditi yang bernilai dolar bukan lagi bernilai untuk keluhuruan martabat manusia.
Bahkan, sidang MKD yang mengundang menteri ESDM dan Dirut PT. Freeport Indonesia, tidak menampakkan kehormatan dan kewibawaan para palaku didalamnya. Saya secara pribadi merasa miris mengikuti proses sidang yang lebih didominasi kekuatan untuk “memukul mati” saksi dan pelapor. Tidak ada semangat yang mau menegakkan keluhuran moralitas bangsa. Yang lebih menonjol adalah upaya untuk menegakkan “kehormatan” –yang sebenarnya malah menjadi tidak terhormat- dari kekuatan kelompok politik tertentu. Bagi saya kasus SN adalah masalah moral bukan masalah politik.
Pendidikan Moral Semakin Sulit
Melihat perilaku orang-orang “hebat” yang berperilaku “tidak pantas” sebagaimana dipertontonkan melalui rekaman percakapan yang di putar saat sidang MKD dan perilaku para anggota MKD menjadi tantangan berat pendidikan moral dalam dunia pendidikan dan dalam keluarga. Setiap keluarga akan sangat sulit menjelaskan kepada anak-anak betapa kejujuran itu adalah maha penting penting. Dalam kasus SN dan rentetannya telah dipertontonkan bahwa kejujuran seolah tidak ada artinya. Yang lebih berarti adalah harga diri yang dihargai dari seberapa besar dolar yang diterima. Sidang MKD menampilkan sebuah adegan dahsyat bahwa yang memiliki uang berlimpah-limpah lebih berkuasa daripada KEJUJURAN.
Faktor lain yang mempersulit pendidikan moral kepada anak-anak yaitu hilangnya keteladanan dari para tokoh panutan. Seorang yang berjabat sebagai ketua Dewan Perwakilan Rakyat telah terjerumus pada praktek “pencatutan” ( dalam KBBI artinya “menipu”) untuk kepentingan pribadi. Hal ini diperparah oleh komentar para kolega SN yang seolah tindakan ini sangat biasa, tidak lebih dari sekadar “obrolan diwarung kopi” seperti diungkapkan oleh sobat karibnya SN. Waduh…ampun deh…. Padahal guru saya dulu sering berpesan “ jangan membela teman kalau dia benar-benar salah”. Bagaimana mungkin orang-orang seperti ini akan berjuang memperbaiki nasib bangsa, berjuang memperbaiki mutu pendidikan untuk tersedianya sumber daya manusia Indonesia yang kuat.
Ingtlah, para orang “hebat” entah itu Anda sebagai anggota DPR yang adalah wakil rakyat maupun Anda sebagai pejabat dalam perusahaan besar. Nama-nama Anda dan lembaga Anda tercatat didalam buku pelajaran anak-anak sekolah. Anda adalah figure yang dipelajari untuk bisa menginspirasi anak-anak menjadi anak Indonesia yang hebat. Jagalah moral Anda. Jangan pertontonkan kepada anak-anak kami adegan yang memalukan dan memilukan. Jikalau Anda tidak bisa menjadi inspirasi bagi anak-anak Indonesia, paling tidak janganlah Anda penjadi batu sandungan bagi orang tua untuk mendidik karakter anak kami. Tak patut Anda menjadi panutan kalua Anda selalu bertindak seperti badut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H