Mohon tunggu...
Bima S. Ariyo
Bima S. Ariyo Mohon Tunggu... -

seorang guru yang berharap bisa diGUgu dan ditiRU, bukan hanya di geGUyu dan di tinggal tuRU....\r\nMaju terus pendidikan Indonesia!!!

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Pengalaman Belajar Bersama PLN

26 Mei 2015   17:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:34 2407
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari lalu, tepatnya Sabtu dan minggu, tanggal 23 – 24 Mei 2015, rumah orang tua saya gelap gulita. Bukan karena pemadaman dari PLN melainkan karena rekening token diblokir oleh PLN. Ketika hari jumat token berbunyi pertanda kuota listrik akan habis. Ibundaku pun bergegas menuju warung pembelian pulsa token listrik. Namun ketika nomor rekening diinput yang keluar adalah notifikasi berbunyi : Nomor token anda telah diblokir, silahkan hubungi PLN. Ibundaku yang sudah tergolong nenek-nenek itu pun bergegas menuju ke rumahku, karena kebetulan Ayahku belum pulang dari kantor. Mengetahui hal itu akupun bergegas menghubungi nomor layanan gangguan milik PLN 123 lewat ponsel.

Ajaib nomor PLN 123 dapat diakses, akupun terharu, ini untuk kali pertama aku berhasil menghubungi 123. Semenjak punya telepon tahun 2006 jika PLN memadamkan listrik nomor keramat ini tak pernah bisa dihubungi. Padahal kami, pelangan yang menghubungi nomor 123 ini saat listrik padam, paling-paling bertanya sebab musababnya atau menanyakan kapan listrik bisa menyala kembali. Sembilan tahun saya coba menelepon 123 dan baru kali ini berhasil, bayangkan bagaimana terharunya saya.

(pelajaran nomor 1 : PLN 123 itu adalah nomor sakti, seperti Avatar Aang. “Saat semua orang membutuhkannya (misalnya saat listrik padam) ia menghilang”…tapi kali ini secara ajaib bisa diakses manakala hanya saya membutuhkannya. Ini kemajuan pesat untuk PLN)

Setelah nomor 123 bisa saya akses akhirnya saya dipertemukan ke salah satu operator nomor 123. Kira-kira inti pembicaraannya adalah nomor token diblokir karena belum melakukan registrasi saat dahulu mengajukan “permohonan” token. Nah! Ini point penting yang perlu digaris bawahi, dicetak italic, lalu dibold, diberi “tanda kutip”, ataupun diperbesar hingga 1000% font size. Kata dimana PLN menggunakan diksi “permohonan” terkait pengajuan token.

Ingatan saya pun terbang ke awal tahun 2011 manakala pertama kali pakai token. Keluarga saya pakai token bukan karena memohon-mohon atau mengaju-ajukan permohonan kepada PLN. Kami bukan MEMOHON melainkan DIPAKSA. Mengapa bisa dipaksa? Bisa anda bayangkan anda punya rekening listrik namun saat anda ingin membayar tagihan listrik, tagihan listrik tidak bisa di print oleh loket pembayaran PLN dengan alasan rekening anda diblokir (sama kisahnya seperti saat ini). Rekening listrik diblokir kemudian PLN hanya bisa memberi solusi : saya harus menunggu atau beralih ke token. Gila gak tuh?! Saya punya uang tapi saya tidak bisa membayar listrik karena PLN tidak mau menerima uang saya. Saya dan keluarga bersikukuh tidak ingin pakai token karena curiga jangan-jangan ini program abal-abal karena untuk registrasi saja harus pakai cara kotor model begini. Padahal 15 tahun saya tinggal di rumah ini tak pernah sebulan pun terlambat membayar tagihan listrik pasca bayar.

Kemudian Februari 2011, aliran listrik rumah kami hendak diputus, alasannya kami tidak membayar tunggakan listrik. Gila gak tuh?! Saya mau bayar tidak boleh dan sekarang listrik hendak diputus. Alasannya kalau mau pakai listrik saya harus patuh, manut, nurut, bersembah sujud kepada PLN untuk pakai token. Begitu kiranya waktu lima orang berbadan gempal bin gembul yang bertopi dan seragam PLN menyatroni rumah saya dan memaksa kami menggunakan token sambil tolak pinggang, mirip seperti teko untuk menghidangkan teh poci. Pada saat itu saya bingung bukan kepalang, sebenarnya saya ini pelanggan PLN apa jajahannya PLN. Kok sekejam itu punya produk tak memberi pilihan. Akhirnya dengan berlapang dada sampai dada saya rata sangat seperti papan karambol, Saya dan keluarga pun pindah ke token.

Pakai token ternyata lebih mudah, mudah menghabiskan uang gaji bulanan saya maksudnya. Bayangkan, semula tagihan listrik Rp80.000/bulan semenjak memakai token dengan pemakaian yang sama berubah menjadi Rp200.000 perbulan. Kalau sapi tambah gendut kita untung, lha ini ongkos listrik naik 250% kita bingung. Padahal gaji dalam empat tahun ini pun tak bisa naik sampai 250% macam ongkos listrik itu.

(Pelajaran nomor 2 : Produk yang dipromosikan secara menarik saja kadang kualitasnya abal-abal, apalagi yang dipromosikan dengan cara kotor macam begini pastinya akan merugikan anda)

Kembali ke masa sekarang, tahun 2011 ketika saya pakai token PLN memberikannya dengan gratis alias cuma-cuma. Mengapa cuma-cuma? Lha kalau bayar siapa yang mau pakai. Biaya pasang token itu pada saat itu Rp800.000. Ayah saya yang PNS saja gaji pokoknya Cuma Rp1.200.000/bulan, uang dari mana untuk pasang token. Dan sekarang saya ditagih uang registrasi. Ini sudah empat tahun berlalu bung, ini tahun 2015. Saya pun protes melalui nomor ajaib 123 tadi. PLN kemudian meralat bahwa uang yang harus dibayarkan sebagai registrasi adalah tunggakan listrik pasca bayar saya bulan Februari 2011, tepat sebulan sebelum saya pakai token. Tunggakan tersebut sebesar Rp120.000 dan harus dibayarkan melalui rekening non tagihan listrik melalui nomor registrasi yang diberikan kepada saya. Sesudah diberikan nomor registrasi tersebut, dengan sejuta gondok dan sebal dihati saya bergegas menuju ATM. Setelah memasukkan nomor registrasi yang diberikan oleh PLN saya pun menekan enter di mesin ATM, muncul tulisan “nomor registrasi sudah kadaluarsa, silahkan hubungi PLN”.

Dalam hati, ya jelaslah kadaluwarsa. Itu tagihan empat tahun lalu yang mana disebabkan kelakuan PLN juga dan saya harus menanggung akibatnya sekarang. Saya hubungi lagi ke 123, yang terjadi adalah pembicaraan mulai dari awal lagi dan ujung-ujungnya diberi nomor registrasi yang sudah kadaluarsa tadi. Panjang lebar kali operator ini bicara, dia pikir saya buta akan mesin ATM apa. Saya pun bilang itu sudah kadaluarsa. Sang operator bingung dan menyuruh saya menunggu 3 menitan. Kemudian sesudah 3 menit sang operator juga tak punya solusi, ia hanya bilang nanti akan menghubungi kantor cabang PLN. Saya tunggu hingga 12 jam, 24 jam, sampai hari minggu tak kunjung ada berita. Sementara rumah sudah gelap gulita. Selama itu pula saya berkali-kali menghubungi nomor PLN 123, dan tak pernah ada solusi. Mengirim orang pun tidak. Hanya kumpulan nama operator bingung yang saya koleksi.

Saya pun bertekad hari senin akan melabrak kantor PLN, lagi-lagi istri saya melerai, menyuruh sabar dan tetap lapang dada, meskipun dada sudah lapang seperti talenan. Akhirnya diputuskan Ibu dan Bapak saya yang ke kantor PLN.

Kisah ini adalah lanjutan dari kisah pertama dimana saya dirugikan oleh pemblokiran sepihak oleh PLN terhadap token listrik yang saya miliki tanpa pemberitahuan dan tanpa solusi bagaimana cara menyelesaikan pemblokiran tersebut. Hingga rumah gelap gulita selama dua hari karena saya tidak diizinkan membeli pulsa oleh pihak PLN sementara ketika ditanya solusi penyelesaiannya PLN tidak dapat memberi solusi konkrit. Hanya memberikan prosedur menyetorkan sejumlah uang ke rekening non tagihan listrik yang ternyata juga sudah kadaluarsa.

Setelah dua hari dalam kegelapan. Hari senin Ayah dan Ibu saya bersilaturahim ke kantor PLN bermaksud menyelesaikan masalah pemblokiran token listrik yang diakibatkan oleh ulah PLN dan tidak bisa diatasi oleh PLN itu sendiri. Sampai kantor PLN ternyata ada beberapa orang yang bernasib sama dengan kami. Rekening token terblokir, dan PLN tidak memberi solusi yang jelas hanya menunggu dan menunggu hingga semua orang memutuskan menyatroni eh bersilaturahmi ke kantor PLN. Setelah mendapat giliran marah-marah, maksudnya nomor antrian (karena banyak yang dipanggil nomor antriannya juga membawa rasa kesal dan amarah). Ibu saya pun meluapkan kekesalannya. Petugas PLN yang jadi tumbal cipratan air liur pelanggan yang marah-marah karena dikecewakan oleh pelayanan PLN pun memberikan nomor registrasi yang baru, agar Ibunda saya segera menyetorkan lewat ATM terdekat. Anda tau? Ibu saya sudah nenek-nenek. Boro-boro faham menggunakan ATM. Ibu saya meledak lagi amarahnya, “Saya ini sudah tua, kemarin bolak-balik telepon PLN tak dikasih solusi sampai saya, anak saya, dan suami saya habis pulsa Rp80.000 lebih. Dan sekarang sampai dikantor saya disuruh susah payah nyari-nyari ATM. Memang disini tidak bisa?!” Mejapun digebrak, semua tersentak, petugas PLN itu megap-megap khawatir dikunyah oleh ibu saya.

(Pelajaran nomor 3: kalian tau, hot line 123 milik PLN itu tidak bebas pulsa. Perusahaan sebesar ini tak punya telepon bebas pulsa. Kalau memang pasang telepon bebas pulsa saja tak mampu, saran saya dirut PLN pakai sandal jepit dan sarung saja ke kantornya. Tak usah pakai sepatu, jas, apalagi celana. Nanti saya sumbang deh sandal jepit dan sarungnya. Jadi dirut dan manajer PLN itu gajinya besar, tapi telepon bebas pulsa untuk pelanggan saja tak bisa mereka realisasikan)

Setelah disemprot oleh ibu saya, petugas PLN pun mengiyakan ternyata bisa membayar langsung dikantor PLN. Hal ini sesuai dengan azas birokrasi pada UUD (Ujung-Ujungnya Duit) Republik Indonesia. Kalau bisa mempersulit rakyat kenapa harus kita permudah layanan masyarakat itu. Sesudah membayar tagihan di kantor PLN, ibu saya mendapat notifikasi bahwa ibu baru bisa beli pulsa token 30 menit sampai 1 jam setelah pembayaran untuk membuka pemblokiran. Jadi ibu saya dipersilahkan pulang dan membeli dirumah saja.

Lagi-lagi ibu saya murka “Ini kantor PLN! masak beli pulsa token saja harus nunggu 1 jam! Saya mau beli sekarang juga! Kalau tidak bisa, panggil manajermu. Tinggal pencet tombol saja harus tunggu 1 jam. Buang-buang waktu saja!!” Lagi-lagi meja digebrak. Petugas pun kalap. Ada nenek-nenek murka di dalam kantor mau ketemu manajer. Setelah berpidato ala Bung Tomo, akhirnya Ibu saya dituntun untuk ke lantai 2 menemui petugas yang lebih berkompeten. Ternyata tinggal masukkan nomor saja (tak lebih dari 1 menit), pemblokiran terbuka. Petugasnya juga cuma ngopi dan ngobrol di lantai 2, tidak sedang sibuk. Lagi lagi sesuai dengan azas birokrasi pada UUD (Ujung-Ujungnya Duit) Republik Indonesia. Kalau bisa mempersulit rakyat kenapa harus kita permudah layanan masyarakat itu. Walaupun hanya butuh waktu kurang dari satu menit, untuk melayani masyarakat kalau perlu kita suruh mereka tunggu berjam-jam. Anda perlu tahu tetangga saya yang juga mengalami pemblokiran seperti ini dan harus menunggu 1 jam untuk bisa membeli pulsa token, sampai tulisan ini saya ketik belum juga bisa membeli pulsa token. Lihat betapa cerdasnya ibunda saya yang lulusan SMP bisa memberi pelajaran petugas PLN itu.

(Pelajaran nomor 4 : Di Indonesia banyak hal yang serba palsu, ponsel palsu, beras palsu, janji palsu, sampai waktu tunggu layanan masyarakat sebenarnya juga palsu. Kita tak perlu menunggu tapi diharuskan menunggu. Jangan mudah percaya, karena percayalah hanya pada Sang Pencipta Alam Semesta)

Kini listrik rumah saya sudah menyala kembali. Terima kasih PLN, melalui peristiwa ini banyak pelajaran yang bisa saya ambil. Saya harap PLN juga mau belajar seperti saya. Karena kalau tidak mau belajar, kapan PLN bisa lebih pintar dalam melayani masyarakat? Saya yakin petugas PLN dari dirut, manajer, staff, bahkan karyawan kontrak sekalipun pernah sekolah dan pernah mencicipi rasanya belajar. Saya juga mengapresiasi bahwa nomor 123 sudah dapat saya akses. Artinya ini sebuah kemajuan yang berarti bagi PLN.

Itulah sekelumit kisah hidup saya bersama PLN. PLN (Perusahaan Listrik Negara) merupakan salah satu BUMN paling vital di negeri ini. Sebagai perusahaan yang menjalankan sistem monopoli di bidang listrik, sudah selayaknyalah PLN menjadi salah satu perusahaan yang memiliki sistem layanan konsumen dengan kualitas tinggi. Layanan tersebut mencakup informasi rinci tentang setiap produk PLN, peningkatan kualitas setiap produk PLN, prima dalam layanan pengaduan konsumen, serta aksi cepat tanggap terhadap setiap masalah yang terjadi di masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun