"Me Too ", adalah dua kata yang mungkin tidak pernah dibayangkan oleh seorang pun bisa membawa perubahan besar di berbagai belahan dunia. Kata yang sangat sederhana, bahakan tidak memiliki arti yang menggemparkan jika ditafsir dari segi harfiah.Â
Namun, siapa sangka dua kata tersebut berhasil menjadi pelopor keberanian bagi para korban kekerasan seksual untuk tampil dan menyuarakan apa yang telah mereka alami, pelecehan-pelecehan yang menjadikan korbannya takut untuk bersuara karena tekanan mental dan lain sebagainya, kini tidak lagi menghalangi mereka untuk bersuara dan menuntut para predator-predator seks yang berkeliaran di luar sana.
Dan "Me Too " memiliki andil besar dalam menjadi pelopor keberania para korban kekerasan seksual tersebut.Â
   Kata "Me Too" viral atau mencuat pada tahun 2017 setelah aktris Hollywood, Alyssa Milano menggunakan kata tersebut sebagai tagar pada cuitannya di media sosial Twitter. Hal ini sejalan dengan dugaan pelecehan seksual yang dilakukan oleh seorang produser Hollywood, Harvey Weinstein.Â
Cuitan twiter Allyssa yang mengajak para korban kekerasan seksual untuk berbagai cerita dan mulai bersuara di media sosial dengan menggunkan #Metoo menjadi viral, dan tidak butuh waktu lama banyak bermunculan kisah-kisah kekerasan seksual yang mncul di berbagai media sosial. Bahkan menurut laporan dari The New York Times, dalam waktu 24 jam tagar tersebut telah di bagikan oleh 12 juta lebih pengguna media sosial.Â
   Namun demikian, sesungguhnya gerkan Me Too ini bukan lah dipelopori oleh Alyssa, melainkan seorang aktivis Amerika Serikat yang bernama Tarana J Burke. Ia adalah sosok perempuan yang mendedikasikan hidupnya untuk berfokus pada kegiatan-kegiatan sosial.Â
Yang kemudian Tara mendirikan sebuah organisasi nirlaba yang bernama Just Be inc. Dimana dia kemudian mendedikasikan organisasi tersebut sebagai sarana untuk menbantu para korban kekerasan sosial yang tidak memandang Ras. Dan gerakan yang diinisiasi oleg Tarana bersama organisasinya diberi nama Me Too.
   Pada dasarnya baik Tarana dan Alyssa merupakan sosok yang hadir sebagai pintu terbukanya gerakan Me Too tersebut. Adanya dua sosok ini yang kemudian membuat para korban kekerasan seksual tidak lagi merasa takut untuk hanya sekedar bercerita atau bersuara.Â
Sebagaimana diketahui bahwa, ada tekanan mental bagi para korban kekerasan seksual yang memicu rasa takut, malu, stres, dan depresi sehingga tak jarang mereka memilih untuk diam. Namun sosok Alyssa dengan kampanye menggunakan #Metoo nya membuat banyak korban menjadi berani bersuara meski dimulai dari media sosial.Â
Kemudian hal tersebut di dukung oleh Tarana dengan organisasi nya sebagai bentuk fisik nyata akan gerakan #Metoo ini. Yang kemudian banyak orang di saat sekarang, tidak hanya membuat #Metoo menjadi sebuah tagar di media sosial, namun sudah menjadi akar untuk memulai atau menginisiasi gerakan sosial yang berfokus pada kekerasan seksual secara nyata.Â
   Hal tersebut cukup berpengaruh bagi negara-negara dengan tingkat pelecehan atau kekerasan seksual yang tinggi, seperti India. Di India gerakan Me Too terbukti berhasi mengurangi angka korban pelecehan atau kekerasan seksual pada 2018.Â