Oleh: Syamsul Yakin dan Bilmantassya Alfatah Rahmat
Dosen dan Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dakwah dan retorika harus didasarkan pada ilmu pengetahuan, tetapi juga harus mempertimbangkan adab sebagai panduan moral. Kedua ilmu ini tidak boleh hanya mengikuti nilai-nilai ilmiah semata, namun juga terikat pada nilai-nilai adab yang bersumber dari ajaran agama dan budaya.
Retorika dakwah bukan hanya tentang efektivitas dan efisiensi dalam berdakwah, tetapi juga tentang kesopanan, keramahan, dan nilai-nilai budi pekerti yang tinggi. Ini mengingat bahwa dakwah awalnya memiliki dimensi subjektif dan dogmatik sebelum berkembang menjadi ilmu yang diakui.
Komodifikasi dakwah, yang menjadikan dakwah sebagai komoditas atau barang dagangan, harus ditolak. Sebaliknya, seorang dai yang berilmu dan beradab menekankan pentingnya menghidupkan dakwah tanpa mengkompromikan nilai-nilai moralnya.
Seorang dai harus menjadi profesional dalam pengertian yang sejati, yaitu memiliki adab dan ilmu dalam berdakwah serta beretorika, bukan hanya dalam arti populer atau finansial. Ini mencakup komitmen untuk menghayati dan mengamalkan ajaran yang disampaikan dengan integritas dan pengetahuan yang mendalam.
Profesionalisme seorang dai tidak terbatas pada pekerjaan formal sebagai dai, tetapi mencakup penghargaan terhadap nilai-nilai adab dan ilmu dalam segala aspek kehidupannya. Ini menegaskan bahwa seorang dai dapat memiliki profesi lain tanpa mengorbankan integritasnya dalam berdakwah.
Dengan menggabungkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai adab, retorika dakwah tidak hanya menjadi sarana untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah, tetapi juga menjadi panduan untuk menjaga kebenaran, kesopanan, dan moralitas dalam setiap tindakan dai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H