Dengan anggaran daerah yang terbatas, Pemprov harus membuat prioritas tanpa mengorbankan sektor penting lainnya.
Kedua, tingginya permintaan terhadap hunian strategis. Jakarta, adalah kota dengan populasi penduduk yang sangat besar. Karena itu, permintaan akan hunian strategis terus meningkat, sementara pasokan rusunawa masih sangat terbatas.
Hal ini, dapat menyebabkan antrean panjang atau sistem seleksi yang ketat untuk menentukan siapa yang berhak menghuni rusunawa.
Ketiga, stigma sosial terhadap hunian vertikal. Banyak masyarakat, termasuk generasi muda, yang masih memandang rusunawa sebagai opsi hunian kelas bawah.
Persepsi ini, tentu membuat sebagian besar pekerja muda enggan untuk pindah, meskipun lokasinya strategis dan biayanya terjangkau.
Keempat, ketidakseimbangan dalam pembangunan infrastruktur. Meskipun beberapa daerah memiliki rusunawa yang strategis, infrastruktur pendukung seperti akses transportasi publik, layanan kesehatan, atau fasilitas pendidikan masih kurang memadai.
Tanpa adanya infrastruktur ini, penghuni rusunawa tetap saja akan menghadapi kesulitan dalam keseharian mereka.
Kelima, keterbatasan dalam pengelolaan dan pemeliharaan. Rusunawa memerlukan pengelolaan yang baik supaya tetap layak dihuni.
Namun, banyak fasilitas publik yang, sering kali, diabaikan pemeliharaannya setelah selesai dibangun. Karena itu, Pemprov harus memastikan bahwa rusunawa tidak hanya tersedia, tetapi juga dikelola secara profesional supaya tetap nyaman untuk ditinggali.
Kesimpulan
Sebagai kesimpulan, fenomena "remaja jompo" adalah cerminan dari tantangan hidup di kota-kota besar seperti Jakarta.
Tingginya waktu tempuh perjalanan, kurangnya akses ke hunian strategis, dan pola hidup yang kurang aktif menjadi penyebab utama generasi muda merasa kelelahan secara fisik maupun mental.